in

Quo Vadis Syariah Ranah Minang?

Di banyak pojok dunia, ekonomi syariah semakin kinclong, cetar membahana. Tapi di Ranah Minang terlihat rada sepi. Bahkan kalau dilihat dari data syariah Bank Nagari, semangat syariah itu terkesan mulai mengendor. Ataukah, saya gagal paham tentang data tersebut? Entahlah!

Beberapa pengalaman menarik dalam tiga bulan belakangan mencuatkan judul di atas Quo Vadis, tak tahu mau ke mana. Ia menyeruak pada setiap ingatan ini menjelajah ke kampung halaman. Menghantam nalar yang sesungguhnya Minang, karena syariah itu menyangkut ruh Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABSSBK). Mencukil kesadaran bahwa orang Minang di mana pun mencari makan akan tetap berpikir tentang kampung halaman. Sulit menghindari bila ada protes dalam diri. Maafkan judul di atas.

Manila 20 Januari. Saya diundang partner bisnis ikut merayakan Tahun Baru China. Tahun Ayam Emas. Acara di Shangrila Hotel, Manila itu sangat meriah. Tapi ada yang menarik. Perayaan itu bak pertemuan bisnis. Yang hadir para pengusaha besar negeri barong itu bahkan dari mancanegara. 

Lalu, saya posting berita itu di Facebook. Terselip gagasan kecil agar Tahun Baru Hijriah kita buat mirip China Filipina itu. Bermunculan berbagai komentar di sosial media. Beberapa menulis menyorot bahwa orang Minang kurang berminat terhadap ekonomi syariah. Seorang anak Medan asal Minang murka dengan tertinggalnya Sumbar dari Aceh dan NTB. Waduh, merasa tertampar muka ini membacanya. Tapi, ia juga menyulut semangat syariah.

Kantor BTN Syariah, 24 Januari. Berdiskusi dengan para petinggi bank yang aset syariahnya sudah mendekati Rp 20 triliun itu. Ini sebuah kinerja rancak dari bank yang bergerak di jalan Rasulullah ini. Sepenggal bukti bahwa perbankan syariah bisa berhasil. Kami membahas ide-ide kreatif untuk memacu aset BTN termasuk kemungkinan penggunaan virtual teknology, pengembangan SDM berjiwa syariah  dan sumber dana untuk modal spin-off. 

Kantor OJK Jakarta 1 Februari. Saya berdiskusi dengan Sukro, Direktur Pengawasan Bank Syariah. Sangat menarik pandanganya tentang ketinggalannya Bank Nagari dari BPD Aceh yang sudah konversi  dan NTB yang dalam persiapan konversi. Dan Sukropun menyatakan secara nasional pertumbuhan aset perbankan syariah cukup menggembirakan. Mengapa Bank Nagari puas dan dibiarkan dengan pertumbuhan 4 bahkan 2%? Entahlah!

Kuala Lumpur, 16 Februari. Berdiskusi dengan kawan-kawan pelaku ekonomi syariah di Malaysia. Ada yang sangat menarik. Sebuah koperasi syariah (Kopsya) berjaya dengan asset triliunan. Mereka ingin lebih memacu usaha koperasi syariah itu dengan menggunakan teknologi virtual dan masuk ke ranah pertanian dan keuangan umroh dan haji. Artinya, koperasi pun bisa berjaya dalam ekonomi syariah. 

Restoran Padang Simpang Raya, Jakarta, 21 Februari. Saya diajak berdiskusi oleh pejabat ICD atau anak perusahaan Islamic Development Bank (IDB Saudi Arabia). Kami berdiskusi tentang bank syariah karena ICD baru saja memenangkan tender sebagai konsultan untuk membantu BPD NTB bermualaf menjadi syariah. 

Banda Aceh. Saya diundang Direksi Bank Aceh yang baru saja konversi ke bank syariah. Permintaan mereka agar saya membantu melakukan perubahan mindset di Bank Aceh tersebut. Ini sangat perlu jadi pelajaran bagi kita. Sulitnya mengubah mindset (pola pikir) dari konven ke syariah itu dialami oleh  bank yang konversi. Ini salah satu kelemahan utama konversi. Tak mudah memang mengubah pola pikir konven yang telah tumbuh bertahun-tahun menjadi pola pikir syariah yang sesungguhnya. 

Lalu  yang terakhir. Saya membaca tulisan wartawan Two Efly di Padang Ekspres. Bagus dan sekaligus menggelitik. Berkecamuk hati ini membacanya. Ada apa dengan Ranah Minang? Mengapa baru mulai berpikir untuk spin-off atau konversi. Mengapa tertinggal dari Jabar, Aceh dan bahkan NTB? Mengapa? Hotel Mandarin milik Chinapun sudah “syariah” di Kuala Lumpur.

Lalu tertuanglah kecamuk itu dalam judul di atas. Quo Vadis. Mau ke mana negeri ABSSBK ini? Mengapa syariah tak kunjung membumi? Two Efly menyatakan bahwa unit syariah Bank Nagari itu “berada di bawah ketiak induknya yang belum kunjung lepas”. Mengapa enggan melepas?  Benarkah anak Medan yang berkomentar pedas di FB itu? Syaihkah ketika dia berciloteh, “Menurut aku pejabat orang Minang itu alergi terhadap bank syariah”? Entahlah!

Mungkin tidak, karena dia tak menampilkan data pendukung. Mungkin tidak karena itu cuma cilotehan di sosial media. Tapi, mungkin iya karena memang tak terlihat kebersungguhan orang Minang membangun ekonomi syariah. Mungkin iya karena RUPS  Bank Nagari yang dihadiri oleh Gubernur, para Wako dan Bupati tidak merancang visi syariah bank di ranah ABS SBK itu. Tapi entahlah. 

Karakter para bankir adalah bahwa mereka terbudaya dengan pemacuan kinerja. Mereka terbiasa dengan target dan evaluasi pencapaian secara periodik. Tercapai, naik pangkat. Tak tercapai minggir. Ketika saya memimpin BI Padang, saya lakukan itu Direksi Bank Nagari yang pada tahun 2009 assetnya hanya sekitar 60 milyar, saya pacu. Lalu Bank Nagari melakukan perubahan, lebih bersungguh dengan perbankan syariah dan dalam beberapa tahun, assetnya melejit. Tapi sayangnya, menurun pula semangat itu karena berpacu sendiri.

Sekarang kelihatannya tak ada yang memacu. Syaraf syariah Bank Nagari tertidur. Agak pulas. Kalau NPM full AC, Dewan Komisaris Bank Nagari full Konven. Tak ada gebrakan syariah. BI diam dan OJK Padangpun seolah tak tertarik memacu majunya perbankan syariah di Sumbar. Pertumbuhan 2% pun dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Di manakah DPRD? OJK hanya fokus pada pengawasan dan BI pada data. Tak ada pacu memacu lagi. DPRD pun diam seribu bahasa. Mau bukti? Lihat angka pada tabel. Tuah namo ka nan manang. Tuah kayu ka rumah tuo. Semangat syariah yang melemah itu tak terbantahkan. 

Para pemegang sahampun seolah tak peduli dengan pentingnya pertumbuhan ekonomi syariah di Ranah ABSSBK ini. Entahlah. Dana Pemda pun konon dipindahkan ke bank-bank besar non-syariah hanya karena Pemda diberi sumbangan renovasi gerbang, mencat patung atau bantuan sepanduk perayaan antah barantah. Di Malaysia, dana pemerintah itu merupakan darah daging dan energizer pertumbuhan perbankan syariah. 

Rakyat Sumbar harusnya turun tangan. Tak perlu melibatkan Habib Riziek. Bank Syariah harus terlahir dari rahim ranah ABSSBK ini. Menanti lahirnya Bank Nagari Syariah memunculkan perasaan seolah menunggu anak pertama. Kapankah? Mungkinkah? Bagai judul lagu 1970-an, memang. Tapi ini harapan yang sesungguhnya Ranah Minang. Konversi atau spin-off, mari kita kaji secara bisnis. Yang penting harus ada niat dan tekad untuk melahirkan BNS. Di hati mati, di mato buto.(Tunggu bahasan berikut tentang Spin-off atau Konversi). (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Gamawan Minta Dikutuk

Kunjungi Korban Bencana dengan Motor Trail