in

Refleksi HUT ke-15 Kota Pariaman

Memahami Sejarah untuk Menyalakan Semangat

Tak terasa, hari ini 2 Juli 2017, Kota Pariaman berusia 15 tahun. Lahir dari “ibu” bernama Kabupaten Padangpariaman, dengan cikal bakal Kota Administratif (Kotif). Kota yang terletak di bibir samudera ini memiliki penduduk hampir 100 ribu jiwa, tersebar pada empat kecamatan.

Sebagai perjalanan sejarah sebuah kota, usia 15 tahun, sesungguhnya masih sangat muda. Tapi bagi kota Pariaman ada nilai-nilai historis yang tersimpan yang membuat kota ini, bagai telah menginjak dewasa. Kita bisa memaknai hakikat sebuah sejarah, antara lain, Pariaman pernah menjadi pusat pertahanan TNI Angkatan Laut pada masa Agresi Militer Belanda I dan II, pada tahun 1948 dan 1949.

Kita bisa membayangkan, bagaimana gemuruhnya kota ini, pada dasawarsa tersebut. Pada masa itu, Belanda menganggap dengan menguasai Kota Pariaman, berarti telah menguasai Sumatera Tengah. Pertempuran pun terjadi di seantero sudut kota Pariaman. Artinya, dengan ingatan demikian, kita bisa simpulkan, Pariaman telah menjadi sebuah kota penting sejak lama di republik ini.

Dalam riwayat lain, sejarah juga mencatat, seorang Muhammad Saleh Datuk Rangkayo Basa, antara tahun 1841- 1921, terkenal sebagai seorang perintis perusahaan modern pribumi nusantara di Pariaman. Dalam buku yang ditulis sejarawan DR Mestika Zed,diterbitkan LP3ES dengan pengantar Dr M Dawam Raharjo, Muhammad Saleh dilukiskan sebagai saudagar Pariaman (yang) menerjang ombak membangun maskapai.

Hingga hari ini, masyarakat kota Pariaman, khususnya masih melihat dan merasakaan peninggalan saudagar dan “orang kaya besar” Muhammad Saleh yang populer dengan panggilan Mak Saleh. Baik peninggalan dalam bentuk pertokoan di sekitar pasar Pariaman dan kampung Cina, maupun warisan dalam bentuk harta pusaka tanah, rumah gadang serta sejumlah bangunan lain diberbagai tempat.

Sukses Mak Saleh yang mendirikan Handel Maatschappij Pariaman pada awal abad ke-20 itu, merupakan representasi, sesungguhya Kota Pariaman pernah “jaya” sebagai pusat perdagangan di masa lalu. 

Mak Saleh adalah inspirasi  kisah anak bahari yang belajar segala sesuatu secara otodidak, mulai dari penjaga kedai, berjualan ikan asin, menarik pukat, menjadi nakhoda, dan berdagang dengan modal kepercayaan induk semangnya. Semua dilalui dengan semangat “berakit rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”.

Adalah Kolonel Anas Malik, sebagai pelaku sejarah lainnya yang berperan mencatatkan tinta emas di kota Pariaman. Dalam posisi sebagai Bupati Padangpariaman, Anas “bersikeras” mewujudkan kecamatan Pariaman dari tadinya dikomandoi seorang camat menjadi Kota Administratif Pariaman yang dipimpin seorang wali kota Adminsitratif. Ada dua kota yang diusulkan Pemerintah Provinsi ketika itu, Pariaman dan Batusangkar. Hanya kota Pariaman yang lolos, dan resmi  berdiri sebagai Kotif 29 Oktober 1987.

Anas Malik, hingga kini, adalah figur inspiratif bagi masyarakat kota dan kabupaten Padangpariaman. Mantan Kapendam V Jaya, yang pulang kampung jadi Bupati, melangkah dengan keikhlasan dan semangat kerja keras. Makan tangannya tidak sekadar membuka isolasi daerah tertinggal, namun lebih dari itu Anas juga seorang motivator yang mengubah perilaku dan sikap mental masyarakat dari “pemalas” menjadi pekerja keras. Anas Malik dalam bertindak tidak mengenal istilah “nanti dulu” tapi semangatnya “gebrak dulu” nanti cerita di belakang.

Tiga ilustrasi sejarah di atas, setidaknya, menurut saya masih relevan untuk dijadikan spirit dalam mendayung gerak kehidupan dan pembangunan di kota Pariaman yang hari ini dipimpin duet Mukhlis Rahman-Genius Umar. Bahwa ada semangat perang yang pernah menggelora ketika Kota Pariaman sebagai basis pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia. Lalu,  ada semangat perdagangan dari seorang Muhammad Saleh yang hanya seorang otodidak.  Mak Saleh seorang pedagang Piaman yang ulet; beliau adalah inspirasi bagi semua anak manusia dan semua generasi.

Lantas, adalah Anas Malik. Pantai Pariaman, yang hari ini, menjadi pusat perekonomian terbesar di kota Pariaman, dalam posisi sebagai destinasi wisata, adalah saksi sejarah dari kepemimpinan sang Bupati. “Membangun jembatan sebulan selesai, tetapi membangun sikap mental masyarakat, bisa bertahun-tahun,” ujar Anas Malik suatu ketika melihat pantai Pariaman yang menawan, namun ketika itu menjadi sarana buang hajat masyarakat.

Maka dibuatlah WC umum di sepanjang pantai, dibagi-bagikanlah closed duduk ke rumah rumah penduduk, tidak berhenti di situ. Dilahirkanlah Perda K-3 (Ketertiban Kebersihan dan Keindahan) di antaranya denda terhadap yang kedapatan buang hajat di pantai. Maka pantai Pariaman pun dikawal Hansip sebagai petugas  pengaman Perda. Hari ini apa yang dilakukan Bupati Anas Malik itu telah menjadi pantai Gandoriah, pantai Cermin, dan pantai Kata.

Masihkah semangat Angkatan Laut, semangat Mak Saleh dan semangat Anas Malik, penting bagi pemerintah dan masyarakat kota Pariaman?  Ada adagium; bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah, tidak pernah lupa dengan sejarah, karena pada hakekatnya kondisi hari ini, adalah perjalanan demi perjalanan dari masa lalu. Bahwa langkah seribu, tetap dimulai dengan langkah pertama.

Catatan ini, hanyalah sebuah refleksi. Bila hari ini, berbagai fasilitas pembangunan telah tersedia, kehidupan masyarakat sudah semakin bergairah seiring pertumbuhan kota, seperti apa tantangan setelah 15 tahun pemerintahan kota Pariaman berdiri secara otonomi? Saya melihat, terletak di jalur segitiga Pasaman-Agam dan Padangpariaman, kota Pariaman perlu memahami kontribusi apa yang bisa diberikan, sehingga kota ini menjadi “gula” untuk mendatangkan semut.

Kota Pariaman bisa tampil sebagai kota grosir dan pergudangan berbagai kebutuhan masyarakat, apalagi ada sarana transportasi kereta api yang  mendukung. Artinya, menjadi kota jasa peluang sangat terbuka. Namun, semuanya akan terpulang kepada komitmen Pemko. Diperlukan dialog yang intensif antara stakeholders dengan masyarakat, terutama yang bergerak di dunia usaha. Sebab, pasca-pindahnya ibu kabupaten Padangpariaman ke Parit Malintang, PNS kabupaten yang tadinya menetap di kota Pariaman berangsur-angsur meninggalkan kota Pariaman, dan itu berdampak secara ekonomi.

Kita, juga masih melihat usaha dengan bidang sejenis di banyak warung, kedai dan toko di seantero kota Pariaman. Jelas berakibat persaingan kurang sehat. Pemko dengan SKPD-nya sudah waktunya menjadi “konsultan bisnis” bagi masyarakat, untuk menata jenis usaha yang tepat sebelum mengeluarkan izin usaha. Jangan sekadar memberi izin usaha. Perlu dipikirkan kelanjutan dan masa depan aktivitas bisnisnya, karena goalnya berusaha pada hakekatnya adalah  mewujudkan kesejehtaraan. Bravo 15 tahun Kota Pariaman. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

’Lago Kambiang’, Dua Pengendara Motor Tewas

Tiga Bocah Nekat Gowes dari Palembang ke Tangerang untuk Temui sang Ibu