Palembang (ANTARA) – Rekonsiliasi elite politik pascasidang sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi dinilai dapat mempercepat stabilisasi gejolak sosial karena sifat politik masyarakat Indonesia yang cair.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Center for Democracy and Civilization Studies Sumatera Selatan Alip Dian Pratama di Palembang, Kamis malam, mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan para elite politik terutama capres dan cawapres memiliki pengaruh kuat terhadap masing-masing pendukung.
“Peluang rekonsiliasi masih terbuka lebar karena jika berkaca pada Pemilu 2014 di mana saat itu Jokowi dan Prabowo bertemu pascasidang MK lalu Prabowo mau mengakui kekalahan, artinya sikap menerima serta mengakui lumrah dimiliki Prabowo, inilah pintu awal rekonsiliasi,” ujar Alip kepada ANTARA.
Menurutnya rekonsiliasi yang timbul dari sifat politik Indonesia yang cair secara tidak langsung mendorong partai-partai peserta pemilu juga mulai mencari arah untuk menyesuaikan dinamika pascasidang MK, dalam proses penyesuaian tersebut masyarakat dengan sendirinya akan terbawa perubahan arus politik.
Akibatnya arah politik akan terpolarisasi dalam waktu tertentu dan akhirnya masyarakat mulai meninggalkan dinamika menyangkut Pemilu 2019, apalagi jika elite politik lebih cepat kompak menyudahi permasalahan pemilu.
‘Harapannya rekonsiliasi memang dapat menenangkan masyarakat akar rumput,” imbuhnya.
Sedangkan bagi partai politik, kata dia, kemungkinan besar banyak yang akan mencoba rekonsiliasi dengan berupaya menjadi bagian koalisi pemerintahan mengingat empat tahun ke depan masih ada pilkada serentak, secara politis koalisi tersebut akan memberi banyak keuntungan bagi partai politik.
“PDI dan Gerindra dulu pernah koalisi meskipun akhirnya pisah saat Pemilu 20119, tapi bukan tidak mungkin hal itu akan terulang mengingat politik Indonesia cair sekali sifatnya, ” demikian Alip.