Relawan adalah salah satu aktor yang berpengaruh dalam setiap Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), tidak terkecuali di Aceh. Para relawan tidak mempersoalkan waktu dan materi yang mereka habiskan untuk kepentingan memenangkan calon yang didukungnya.Bagi relawan merupakan sebuah kebahagiaan bila calon yang diusungnya bisa memenangkan kontestasi politik ini.
Sementara itu, dari sisi kandidat, setiap kandidat yang sudah mencalonkan diri membutuhkan dukungan dari semua elemen masyarakat, termasuk juga dukungan dari para relawan. Oleh kandidat para relawan difungsikan dalam berbagai lini. Pada tahap awal mereka difungsikan sebagai instrumen untuk mendongkrak popularitas diri. Lalu mereka tetap akan difungsikan dalam setiap tahapan pemilu hingga proses pemilihan usai.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “relawan” merupakan penggalan dari kata sukarelawan yang berarti “orang yang melakukan sesuatu tanpa pamrih.” Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temukan sekelompok massa yang mengatas-namakan dirinya sebagai relawan atau pekerja sosial seperti relawan bencana, relawan kebersihan, dan tidak terkecuali relawan dalam konteks politik.
Dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 yang lalu, juga banyak sekali kita temukan kelompok-kelompok yang menamakan dirinya relawan Jokowi dan relawan Prabowo. Mereka adalah kelompok non-partisan, atau tidak bergabung dalam satu partai politik pengusung kandidat manapun. Mereka bekerja dalam barisan yang berbeda dengan partai pengusung, namun dalam satu tujuan, memenangkan kontestasi. Bentuk kontribusi mereka ternyata tidak hanya sebatas ide, dan tenaga, namun termasuk juga materi atau logistik serta biaya operasional. Pertanyaannya apa yang mereka ingin dapatkan?
Sejauh penelusuran yang ada, kehadiran mereka salah satunya berangkat dari kesadaran dan keinginan untuk ikut memikirkan nasib Tanoh – Endatu agar bisa bangkit dan berbenah, dengan sosok yang mereka yakini mampu mengemudikan jalannya pemerintahan. Hal ini merupakan motivasi intrinsik yang luhur. Pun demikian, bukan tidak ada beberapa lembaga relawan yang memiliki motif-motif pragmatis, seperti popularitas dan pre-investment untuk bisa mendulang fee dan segala benefit sosial-ekonomi pada saat kandidat yang mereka usung memenangkan kontestasi.
Dalam konteks Pilkada Aceh 2017, banyak sekali bermunculan relawan-relawan. Mereka siap mengerahkan segala kemampuan untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya bagi kepentingan kandidat.
Mereka tersebar hampir di setiap daerah dan dalam berbagai jenis model; ada sayap perempuan, sayap ulama, sayap pemuda, dan sayap mahasiswa.
Sebagai contoh, Relawan Tuah (Tarmizi Untuk Aceh Aman Sejahtera). Relawan ini dibentuk oleh aktivis organisasi kepemudaan. Para relawan meyakini Tarmizi Karim (TK) merupakan figur yang mampu mengantarkan Aceh kemasa depan yang lebih baik. Relawan tersebut disahkan langsung oleh TK di kediamannya, yang dihadiri oleh 20 orang perwakilan aliansi aktivis muda dan mahasiswa. Dalam perjalanannya, Relawan Tuah terbentuk hingga merambah hingga ke 23 kabupaten/kota di Aceh.
Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba Relawan Tuah menarik dukungan kepada kandidat yang dari awal di dukungnya. Mungkin, adanya perselisihan di antara kedua kubu tersebut yang membuat hubungan relawan dan kandidatnya berpisah. Inilah dinamika politik yang sekarang terjadi.
Di Aceh sendiri banyaknya bermunculan relawan maupun tim sukses (Timses ) dari masing-masing kandidat, seperti “Wareh Mualem.“ Timses ini terbentuk dari para aktivis dan masyarakat pantai barat selatan dan akan tersebar di seluruh wilayah Aceh yang siap memenangkan pasangan Muzakkir Manaf- TA Khalid dalam pilkada 2017 mendatang. Adapun tim dari pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah yang di beri nama tim Laskar Pendukung Nomor Enam (LapanEnam) yang siap mati-matian membela dan mendukung calon kandidat nya untuk menduduki kursi nomor 1 di tanoh Endatu.
Begitu juga dengan kandidat-kandidat lainnya yang memiliki timses atau pun relawan yang siap mendukungnya untuk memenangkan pilkada 2017 mendatang.
Relawan sejatinya terbentuk atas dasar kesukarelaan dari kalangan aktivis maupun masyarakat biasa. Namun, dalam perjalanannya tentu memerlukan keperluan logistik untuk memperkenalkan kandidat yang didukungnya. Sudah sejatinya jika relawan dan partai politik pengusung harus saling berkonsolidasi dalam menentukan program-program yang berimbas kebaikan untuk para kandidat yang di usungnya. Kandidat juga harus mampu melihat para pendukungnya terutama membantu di bidang pengadaan logistik, jadi baik kandidat, relawan, maupun partai politik saling sinkron dan saling bekerja sama.
Relawan Tuah, Wareh Mualem, LapanEnam merupakan salah satu contoh konkrit relawan yang benar-benar terbentuk dari kesukarelaan, tanpa mengharapkan sokongan logistik dari kandidat. Kecuali, kandidat tersebut berinisiatif memberi sokongan tersebut.
Sepah Sejarah
Namun bekal kesukarelaan harus dikawal dengan baik. Banyak kasus di lapangan menunjukkan bahwa sukarelawan harus berani menghadapi fakta bahwa kontribusi mereka pada akhirnya akan menjadi sampah sejarah. Tidak dianggap penting, atau digunakan hanya pada saat-saat kritis saja, atas dilirik sebatas kepentingan sesaat, lalu sisanya, segala kontribusi yang ada akan berlalu bersama angin.
Sebagai contoh, adalah fakta, sebutlah Abuwa (bukan nama sebenarnya) yang pada masa-masa awal bertekad maju melalui jalur independen. Guna mendongkrak popularitas, beberapa orang di lingkaran Abuwa membentuk relawan. Relawan ini difungsikan untuk kepentingan propaganda dukungan baik di lapangan atau lewat dunia maya, dan kampanye popularitas-elektabilitas dari masyarakat di akar rumput. Namun setelah performa Abuwa meningkat tajam di mata partai-partai politik, akhirnya Abuwa dilamar untuk menjadi kandidat yang akan mereka usung.
Melepas status “Kandidat Independen” dan maju menggunakan kendaraan Partai Politik, memaksa Abuwa untuk melepaskan keberadaan para relawan yang dulunya merupakan komponen utama dan penting. Kondisi ini jelas memukul perasaan para relawan yang sudah bertungkus-lumus mengusung Abuwa di akar rumput. Namun apa alasan Abuwa lebih memilih partai, kita tidak tahu. Seperti keawaman kita pada sebuah dugaan, apakah setelah menang nanti Abuwa masih akan melihat peran-peran penting kelompok strategis ini pada masa-masa awal musim Pilkada?
Fenomena “lepas-pakai” seperti ini sebenarnya adalah hal yang lumrah dalam dunia politik. Budaya pragmatis politik memaksa semua pihak untuk mampu berjalan dalam irama kepentingan. Ada yang hari ini dipakai besok ditinggalkan, dan ada yang hari ini terlupakan, lalu besok diberdayakan secara maksimal. Hatta, ada yang hari ini lawan, besok menjadi kawan, dan sebaliknya ada yang hari ini kawan ternyata besok menjadi lawan. Tidak ada yang abadi dalam kacamata seorang politisi.
Seperti yang sudah saya sampaikan diatas, bagi relawan yang berangkat dari motivasi intrinsik yang luhur, fenomena lepas-pakai ini tidak meninggalkan rasa sesal yang mendalam dan lama. Namun bagi relawan yang berangkat dari motif-motif pragmatis, sungguh kondisi ini membuat mereka menjadi sakit hati dan dendam.
Maka dari itu, bagi siapa saja yang hari ini bekerja sebagai relawan untuk memenangkan kandidat tertentu, luruskan niat, dan bersiaplah untuk keputusan-keputusan apapun yang akan diambil oleh kandidat, termasuk keputusan untuk melupakan kontribusi yang ada, lalu menjadi sepah sejarah.