Rasanya sangat sulit kalau kita menyangkal bahwa negeri kita adalah negeri agraris. Apalagi, mayoritas masyarakat kita menganggap tanah adalah kehidupan, tempat kearifan tumbuh dan menjadi panutan. Bagi masyarakat Minang sendiri, ia berdimensi sosial, sebagai pembentuk identitas, dan soal keberasalan. Keagrarisan melekat padu sebagai identitas, latar belakang kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia.
Namun, saat ini konsepsi agraris yang berdimensi sosial secara perlahan-lahan dianggap sebatas komoditas biasa yang boleh dieksploitasi, dikuasai, dan diperjualbelikan. Akibat perubahan konsepsi tersebut, tanah telah menjadi alat konsentrasi kekayaan untuk kepentingan individu. Maka tak jarang tanah lebih memiliki fungsi ekonomi dan politik dibandingkan fungsi-fungsi sosialnya. Di tambah dengan perkembangan praktik politik saat ini, lengkaplah sudah tanah menjadi instrumen konsesi politik praktis para penguasa.
Warisan Konflik Tanah Orde Baru
Perubahan cara pandang secara total terhadap tanah dilakukan ketika rezim Orde Baru memulai kebijakan pembangunan yang bertitik tolak pada dukungan terhadap investasi-investasi berskala besar. Dalam hal ini, rezim orde baru memberikan akses serta prioritas kepada korporasi untuk memiliki lahan berskala besar. Lihat saja misalnya kebijakan revolusi hijau Orde Baru yang banyak mengakuisisi lahan para petani untuk kepentingan industri pangan. Seperti yang diuraikan oleh tokoh agraria Indonesia Gunawan Wiradi (2009) dalam Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, bahwa Orde Baru merubah seratus delapan puluh derajat politik agraria yang cenderung lebih ramah terhadap investasi. Pada titik itu pula ruh program agraria perlahan-lahan hilang, beralih kepada kebijakan agraria yang lebih kapitalistik (tanah untuk industri).
Penafikan persoalan agraria dan perubahan watak kebijakan agraria di masa Orde Baru telah menciptakan pola represif pemerintah kepada masyarakat bila menyangkut tanah. Bagi Orde Baru tanah adalah komoditi yang dapat diperjualbelikan –tanah sebatas soal ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan–, konsekuensi logis dari kebijakan pembangunisme Orde Baru yang pro kepada pemilik modal besar. Berlahan tapi pasti, konflik tanah pun mulai mencuat di banyak wilayah dan daerah yang dimulai pada pertengahan tahun 80-an plus diperparah dengan gagalnya program swasembada pangan. Ada banyak konflik yang mencuat ke permukaan kala itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Yayasan Akatiga lebih dari 50% konflik agraria melibatkan rakyat berhadapan dengan pemerintah. Bukan hanya konflik agraria yang meluas tetapi juga berkelindan dengan tingginya angka pelanggaran HAM (Gunawan Wiradi, 2009).
Setelah meninggalkan model politik Orde Baru, persepsi penyelesaian konflik agraria kita belum beranjak dari warisan Orde Baru khususnya di kalangan pengambil kebijakan. Masalah agraria selalu diselesaikan dengan cara-cara represif dan tangan besi penguasa. Di tambah kebijakan-kebijakan agraria yang selalu diputuskan top-down yang haram untuk dikritik. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria, disepanjang tahun 2016 ada 450 konflik agraria dengan persentase tertinggi rakyat berhadapan dengan swasta dan negara. Lagi-lagi, rakyat kecil lah yang selalu menjadi korban kekerasan secara struktural tersebut.
Berangkat dari Kenyataan Sekarang
Paradigma pembangunan tanpa melihat aspek keberlanjutan, telah mendapat banyak kritikan dan terbukti menjadi penyumbang akan ketimpangan sosial masyarakat. Mengingat akan pentingnya kebijakan agraria ini (pengaruh sosial dan ekonominya), maka sudah seharusnya kebijakan pembangunan mengedepankan perubahan struktur penguasaan lahan menjadi lebih adil.
Selain itu, tren pembangunan dibanyak negara tidak lagi berkenaan pembangunan infrastruktur yang berbasis perkotaan. Namun telah mengarah kepada kebijakan pembangunan yang memastikan setiap masyarakat memiliki alat produksi secara mandiri. Merujuk kepada hasil beberapa penelitian tentang keterkaitan lahan dan pembangunan ekonomi membuktikan bahwa kebijakan distribusi lahan yang lebih adil, turut mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi (Deininger 2003; Banerjee and Iyer 2005; McCarthy 2016).
Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah sudah seharusnya menjadi sandaran kekuatan bagi kepala daerah untuk implementasi dan penegakan politik pertanahan yang mandiri. Ada beberapa peran yang dapat diambil pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam hal kebijakan pemanfaatan lahan. Seperti, pertama, pemerintah harus melibatkan petani sebagai mitra dalam rangka pemberdayaan lahan yang efisien. Kedua, adanya jaminan pemerintah terhadap stabilitas komoditas, infrastruktur lahan pertanian, serta teknologi pertanian. Ketiga, pemerintah harus berani memberikan sponsor tanpa syarat dalam infrastruktur air, listrik, dan kredit. Meskipun tidak mudah, keberhasilan dalam mengelola kebijakan pertanian akan berdampak luas terhadap peningkatan kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakat. Untuk itu pemerintah dituntut arif dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan agraria selain memang perubahan pemahaman paradigma pembangunan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.