in

Saya dan Penghuni Surga Lainnya

Kalau
diperbolehkan, dengan siapa kita membagi surga? Yang terlintas di pikiran saya
adalah keluarga dan teman teman. Namun, bagaimana bila latar belakang mereka
berbeda dengan yang kita punya? Lantas, apa mereka terhalangi dari surga?

Untuk
mengetahuinya, kita mesti mempelajari apa prinsip dan tujuan hidup setiap
orang. Ada yang hidup untuk pencapaian materi, prestasi, posisi profesi dan
sosial. Ada pula yang hidup untuk membina keluarga. Dari beberapa tujuan
tersebut, manusia akan mencari jalan untuk mencapainya dan cara bertahan atau survive untuk jangka waktu lama.

Maka
dari itu kita berambisi untuk belajar, bekerja, menghasilkan uang, dan mencari
pasangan hidup. Di samping itu, ada pula mereka yang hidup dengan
mengesampingkan ambisi pribadi dan sepenuhnya melayani kelompok lain, seperti
Abdi Dalem. Ini menunjukkan bahwa setiap orang mempunyai tujuan hidup berbeda
beda untuk memenuhi hidup.

Contohnya
saya, perempuan terpelajar sekaligus pekerja kantoran berumur 21 tahun.
Beberapa prinsip hidup yang saya pegang selama ini termasuk di dalamnya prinsip
agama.

Pada
dasarnya, sebagai pemeluk agama, saya yakin untuk melakukan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Akibatnya, bila saya gagal memenuhi perintah saya akan
masuk ke neraka, bila saya berhasil saya akan dimasukkan ke surga. Sesederhana
itu. Salah satu dari perintah-Nya adalah meyakini dan menghayati bahwa ajaran
agama yang saya anut adalah ajaran yang paling benar.

Sebagai
imbalan dari keyakinan saya, pintu surga berdiri di depan mata saya. Secara
pribadi, ya, saya bukan main merasa beruntung dan lega. Tapi setelah itu dengan
siapa saya akan berbagi surga? Mungkin saya akan bertemu dengan mereka yang
seiman dan layak untuk masuk surga. Namun bagaimana saudara dan teman teman
saya yang berbeda iman namun sangat layak masuk surga?

Sementara
yang bisa saya lakukan adalah hanya menjalani hidup apa adanya. Mensyukuri
keberadaan teman teman seiman maupun yang berbeda, karena mereka bukan main
mendukung pencapaian dan harapan saya lewat dukungan moral. Saya tidak pernah
dan tidak akan memaksakan kehendak dari prinsip saya, karena saya akui itu
bersifat pribadi. Namun nyatanya, saya masih menemui mereka yang tidak bisa
berbagi satu kepala dengan saya.

Dewasa
ini, banyak sekali kerusuhan yang berdasarkan landasan agama yang tidak jelas
tujuannya apa. Seperti ingin mengundang semua manusia ke dalam surga, ke jalan
yang mereka bilang sempurna. Di bagian barat Amerika contohnya, para pekerja
imigran masih mendapat diskriminasi dan perlakuakan kasar hanya karena
perbedaan keyakinan, warna kulit dan bahasa ibu mereka.

Begitu
juga para homoseksual yang merasakan hate
crime
dan tidak terlindungi meskipun mereka adalah warga negara Amerika
sendiri. Bulan Oktober 2013, sebuah mall di Kenya diserang oleh sekelompok
militan agama. Di bulan yang sama, koleksi foto di TIME.com memaparkan sebuah
eksekusi pria di kota Allepo, Syria dipaparkan di halaman depan. Korban
tersebut nampak seperti pria lokal, nyaris nampak bersaudara dan serumpun
dengan eksekutornya.

Membuat
saya bertanya-tanya, apa landasan orang orang seperti ini merasa berhak
mengakhiri nyawa orang lain? Nyatakah landasan tersebut dan dalam bentuk apa?
Seterusnya apa?

Saya
sebagai warga negara Indonesia menyadari ketidaksempurnaan negara kita yang
kurang bisa menghargai toleransi. Beberapa kali kita mendapati petinggi agama
yang tidak bermoral dengan mengancam petinggi agama lain dengan kata-kata tidak
wajar. Mereka bahkan menolak kehadiran tempat beribadat.

Namun
ada kalanya kita perlu bersyukur, karena Indonesia sudah terlepas dari
melandaskan kebencian dan diskriminasi kepada konstitusi. Seperti negara
tetangga kita, Malaysia, yang terlalu meninggikan warga bumiputera dan
mengesampingkan etnis lainnya.  Tapi
terlepas bukan berarti kita lengah. Seratus dialog ini ditulis untuk
mengingatkan—ya, perang itu senantiasa masih ada. Ini adalah sebagian kecil
dari upaya untuk meminimalisir perang tersebut dan pengingat bahwa setiap orang
mempunyai surga mereka masing masing.

Seperti
Reza Aslan, seorang professor Ilmu Agama dari Amerika Serikat mengutip Buddha,
If you want to draw water you do not dig
six one foot wells. You dig one six foot well. Islam is my six foot well. I
like the symbols and metaphors it uses to describe the relationship between God
and humanity. But I recognize that the water I am drawing is the same water
that every other well around me is drawing. And no matter the well, the water
is just as sweet!

Klise
memang, namun renungan ini lebih baik dari perang saudara. Saya sendiri percaya
kelahiran agama adalah untuk menata-tertibkan kehidupan manusia. Membuat kita
menjadi terpelajar. Agama adalah disiplin pribadi, yang sekarang disalah
gunakan menjadi konspirasi.

Melihat
kejadian di sekitar maupun di luar negeri, saya tidak menyalahkan agama manapun
serta pemeluk agama manapun. Saya mengutuk para petinggi yang memenuhi ego dan
mengejar ambisi mereka dengan senjata politik dan sosial yang salah.

Harapan
saya adalah tidak lain agar bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang bijak dan
mengingat bahwa negara kita adalah negara yang berlandaskan konstitusi dan
nilai demokrasi. Merdeka karena perjuangan prajurit yang datang dari beragam
kampung halaman, latar belakang budaya dan agama. Indonesia adalah milik kita
bersama. Maka jagalah keutuhan Nusantara demi mereka yang gugur dalam kemuliaan .

Diambil dari buku “Dialog 100:
100 Kisah Persahabatan Lintas Iman” (penerbit: Jakatarub & Interfidei,
2013). 

What do you think?

Written by virgo

Men-Tuhan-kan Kebencian

Arcandra Tahar Diangkat Jadi Wakil Komisaris Pertamina