Yang Mulia Majelis Hakim,
Sejak jaksa membacakan tuntutannya enam hari yang lalu, saya fokus pada upaya membebaskan batin saya dari pertanyaan ini:
Siapa yang lebih dulu kenal Sam Santoso, pengusaha besar yang dikenal sebagai pemilik dua pabrik keramik terkemuka PT Kuda Laut Mas dan PT Jatisuma yang kemudian melalui PT Sempulur membeli aset PT PWU di Kediri dan Tulungagung itu. Saya ataukah Saudara Wisnu Wardhana?
Sam Santoso, dalam kesaksian tertulis di bawah sumpah, mengatakan sayalah yang memperkenalkan Wisnu Wardhana padanya. Sedang Saudara Wisnu Wardhana dalam kesaksiannya membantah bahwa dialah yang memperkenalkan Sam Santoso kepada saya dalam satu makan siang di Hotel Mirama Surabaya.
Saksi Oepojo menjelaskan, Sam sudah lama kenal Wisnu Wardhana. Bahkan, Sam pernah membantu memperbaiki kiln pabrik keramik Tulungagung saat Wisnu Wardhana menjadi direktur pabrik keramik Tulungagung. Berarti Sam sudah lebih dulu kenal dengan Wisnu Wardhana.
Lima hari terakhir ini saya terus menelusuri kesaksian Oepojo itu. Lima hari terakhir ini saya mencari dan mencari dan mencari siapa saja yang bisa memberikan keterangan lebih jelas atas kesaksian Oepojo tersebut. Pencarian dan pencarian yang tidak mudah.
Banyak mantan pimpinan Perusda Jatim PD Sarana Bangunan yang dulu membawahi pabrik keramik Tulungagung sudah meninggal. Maklum, kejadian perkara ini sudah 14 tahun. Tapi, Allah Maha Besar. Rabu kemarin salah seorang mantan pimpinan perusda tersebut ke rumah saya. Beliau menjelaskan bahwa sebelum ada PT PWU, Saudara Wisnu Wardhana juga sudah pernah menjadi kepala unit pabrik keramik Tulungagung.
Pada saat itu pabrik keramik Tulungagung membeli mesin pembuatan keramik dari PT Jatisuma milik Sam Santoso. Mesin itu, kata beliau, mesin bekas yang dicat baru. Beliau tahu karena bersama Wisnu Wardhana berkunjung ke perusahaan milik Sam Santoso, untuk melihat mesinnya.
Menyimak penjelasan tersebut, saya sedih.
Pertama, mungkinkah pabrik keramik Tulungagung tidak bisa diperbaiki juga karena mesin-mesinnya yang baru dibeli ternyata mesin bekas?
Kedua, ketika fakta baru ini saya konsultasikan, penasihat hukum saya mengatakan sistem hukum kita tidak bisa lagi menerima saksi baru saat proses persidangan sudah sampai pada tuntutan.
Saya tentu tidak ingin merusak sistem hukum tersebut, namun fakta ini perlu saya sampaikan untuk setidaknya bisa membebaskan batin saya.
Selanjutnya, izinkan saya membacakan pleidoi saya yang saya beri judul: Tuntutan Bui untuk Pengabdi
1. Jaksa telah mendakwa saya melakukan penjualan aset Pemda/PT PWU Jatim di Kediri dan Tulungagung tanpa persetujuan DPRD. Sayang, jaksa hanya mengajukan satu orang saja saksi dari DPRD Jatim. Itu pun tidak ada hubungannya dengan peristiwa di tahun 2003 itu.
Saksi tersebut baru menjabat sekretaris DPRD Jatim tahun 2014. Alias baru 11 tahun kemudian. Saksi tidak tahu sendiri, tidak melihat sendiri, dan tidak mendengar sendiri. Padahal, masih banyak saksi hidup yang mestinya bisa dimintai keterangan. Jaksa seperti menganggap semua anggota DPRD Jatim seolah sudah meninggal hanya karena kejadian yang diperkarakan ini memang sudah 14 tahun yang lalu.
Untungnya, dengan mudah penasihat hukum saya bisa menghadirkan dua orang saksi kunci, mantan tokoh DPRD Jatim. Keduanya menjalani sendiri proses pembahasan penjualan aset tersebut di DPRD Jatim. Saksi Pak Dadoes Sumarwanto adalah ketua komisi C, komisi yang ditugasi membidangi perekonomian, termasuk membidangi perusahaan daerah. Saksi Pak Ir Farid Alfauzi yang sekarang anggota DPR RI adalah juga anggota komisi C yang juga sekaligus ketua fraksi di DPRD Jatim.
Kedua saksi menjelaskan bahwa penjualan aset untuk membeli aset tersebut sudah dibahas secara mendalam di DPRD Jatim. Pembahasannya sampai memakan waktu enam bulan.
Bukan saja di tingkat komisi C, bahkan dilanjutkan ke tingkat pimpinan DPRD yang di dalamnya melibatkan semua pimpinan fraksi dan pimpinan kelengkapan DPRD. Bahkan DPRD juga mengirim delegasi ke Kementerian Dalam Negeri untuk mengonsultasikannya.
Hasil rapat di DPRD jelas minta PT PWU dalam melakukan penjualan aset tersebut tidak memerlukan izin DPRD, karena aset tersebut termasuk dalam aset PT PWU yang proses penjualannya diminta untuk berpe gang pada UU No 1/1995 (UUPT). Karena itu, sebenarnya direksi sudah ekstrahatihati dengan mengirim surat ke DPRD Jatim untuk minta pe negasan proses penjualan aset PT PWU tersebut.
Mestinya direksi tidak perlu berkirim surat itu. Cukuplah taat pada perintah RUPS sebagai lembaga tertinggi di sebuah perseroan terbatas. Kalau dianggap salah, RUPS-lah yang mestinya dihukum mengapa memerintahkan penjualan aset tersebut. Bahkan, kalau toh ada keharusan minta izin DPRD, seharusnya pemegang saham/RUPS-lah yang minta izin lebih dulu sebelum memerintahkan dalam bentuk putusan RUPS.
Namun, karena direksi ingin kejelasan yang sejelas-jelasnya, surat ke DPRD tersebut dikirim. Yang setelah dibahas di DPRD Jatim, balasannya begitu cetho welo-welo. Sayang, kenyataan yang sudah cetho welo-welo ini diabaikan begitu saja dalam dakwaan dan tuntutan jaksa.
2. Jaksa juga mendakwa saya mempunyai niat untuk melakukan korupsi dalam penjualan aset tersebut. Sebuah dakwaan yang sangat kejam. Kalau memang saya punya niat itu, cukuplah saya berpegang pada hasil RUPS dan cepat-cepatlah penjualan aset dilakukan. Tapi, saya ekstrahati-hati dalam proses ini. Pun seandainya hasil pembahasan di DPRD Jatim menyatakan direksi harus tunduk pada Perda No 5/1999, maka direksi tidak akan melakukan perintah RUPS untuk melakukan penjualan aset tersebut.
Bukan hanya itu, bahkan saya sendiri tidak akan mau lagi menjabat Dirut PT PWU. Saya akan berhenti saat itu juga. Saya bukan orang yang cari jabatan atau orang yang cari penghidupan di PT PWU. Saya orang yang dimintai tolong oleh gubernur Jatim. Saya akhirnya bersedia diminta menjadi Dirut PT PWU Jatim murni dengan niat melakukan pengabdian. Mengabdi untuk Jawa Timur, tempat lahir saya dan tempat saya mencari rahmat Ilahi.
Untuk membuktikan kemurnian pengabdian tersebut, saya enteng saja memberikan uang pribadi saya Rp 5 miliar untuk dipakai dulu memulai pembangunan gedung Jatim Expo yang megah itu. Demikian juga saya jaminkan personal guarantee saya senilai Rp 40 miliar untuk membangun pabrik baru steel conveyor belt termodern di Indonesia.
Saya sadar risikonya. Harta saya akan disita kalau pabrik itu tidak berhasil. Waktu itu saya harus menyelamatkan pabrik karet Ngagel milik PT PWU dari kebangkrutan.
Karyawannya begitu banyak. Kondisi pabriknya begitu reyot. Mesin-mesinnya tua renta. Peninggalan zaman Belanda.
Saya menilai pabrik ini sudah tidak bisa diperbaiki. Harus dibangun pabrik baru. Tapi, apa daya. Tidak ada uang. Tidak ada modal. Untuk cari pinjaman, tidak ada bank yang percaya.
Tidak ada bank yang mau. Akhirnya BNI 46 mau dengan syarat asal saya pribadi yang menjadi penjaminnya. BNI 46 percaya kepada saya karena saat itu saya baru menyelamatkan kredit macet orang lain di BNI 46 di cabang Palu Sulteng dan di Manado. Saya mengambil alih kredit macet tersebut dan melunasinya.
Yang Mulia, saya menceritakan semua itu karena terpaksa. Bukan untuk membanggakan diri. Hanya untuk memberikan keyakinan apakah dakwaan jaksa bahwa saya punya niat korupsi itu bukan suatu yang dicari-cari.
Dengan dakwaan yang kejam seperti itu, pengabdian murni seorang manusia menjadi seperti dicampakkan begitu saja.
Namun, saya masih bisa terhibur Yang Mulia: pabrik steel conveyor belt itu bisa menjadi pabrik yang membanggakan Jawa Timur. Bahkan bisa memperkuat perekonomian nasional karena bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor steel conveyor belt.
Kalau semua itu belum cukup, saya juga terpaksa mengemukakan ini lagi: Selama 10 tahun saya menjabat Dirut PT PWU, saya tidak digaji dan memang tidak mau digaji, tidak menerima tunjangan, tidak menerima fasilitas apa pun.
Biaya-biaya perjalanan dinas, baik di dalam maupun ke luar negeri, selama 10 tahun itu saya bayar sendiri dari uang pribadi. Bahkan, ketika PT PWU sudah laba miliaran rupiah, di mana direksi berhak mendapat bonus, saya tidak mau menerima bonus.
Seandainya tidak ada saksi di persidangan ini yang mengungkapnya, saya sudah lupa peristiwa ini: Suatu saat ketika perusahaan sudah laba miliaran rupiah, diam-diam direksi mengirimkan uang bonus ke rekening saya. Saya langsung panggil direksi tersebut. “Saya dimarahi habis,” kata saksi. Saya memang marah saat itu. Mengapa saya dikirimi uang bonus. Saya minta agar uang kiriman itu ditarik lagi.
Mengapa begitu, Yang Mulia? Saya merasa penghasilan saya di perusahaan-perusahaan saya sendiri sudah lebih dari cukup untuk hidup berkecukupan saya dan keluarga saya karena saya mempunyai prinsip sendiri dalam mendefinisikan kata “cukup” itu.
3. Saya juga dianggap sudah lama kenal lama dengan orang yang bernama Sam Santoso dan kemudian saya berkolusi dengan dia. Saya tegaskan, saya tidak kenal Sam Santoso sebelum diperkenalkan oleh Saudara Wisnu Wardhana yang saat itu sudah menjabat ketua tim penjualan aset Kediri dan Tulungagung dalam suatu makan siang di Hotel Mirama, di sela-sela makan siang saya dengan tamu saya lainnya. Bahkan baru saat diperkenalkan itulah saya tahu bahwa Sam Santoso adalah pemilik pabrik keramik yang sangat besar di Sidoarjo, PT Kuda Laut Mas dan PT Jatisuma.
Saya memang kenal dan akrab dengan banyak sekali pengusaha Tionghoa di Surabaya. Mereka adalah pengusaha Tionghoa yang tergabung dalam Yayasan Sosial Marga Tionghoa. Atau mereka yang aktif bersamasama saya membina barongsai.
Atau dengan mereka yang aktif di Yayasan Chengho. Sam Santoso bukan aktivis di perkumpulan-perkumpulan tersebut sehingga saya tidak pernah bertemu dengannya.
Saya tidak tahu sejak kapan Wisnu Wardhana kenal Sam Santoso. Di Jatim, pabrik keramik itu tidak banyak. Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.
Ko munitas keramik ini kecil. Saling kenal dan saling bantu. Bisa jadi perkenalan itu terjadi saat Wisnu Wardhana menjadi direktur pabrik keramik Tulungagung seperti yang secara jelas dikatakan oleh saksi Oepojo bahwa Sam mengaku pernah membantu perbaikan kiln pabrik keramik Tulungagung.
Atau bahkan mungkin jauh sebelum itu saat Wisnu Wardhana menjadi kepala unit pabrik keramik Tulungagung dan di tahun 1998 atau sekitar itu membeli mesin bekas pembuatan keramik dari pabrik keramik milik Sam Santoso.
Kalau benar saya menginginkan penjualan aset tersebut harus jatuh atau diberikan kepada orang yang saya inginkan, mengapa tidak dilakukan oleh direksi saja? Toh, UU PT membolehkan?
Tapi, karena direksi tidak ingin terlibat langsung dalam teknis penjualan aset ini, maka dibentuklah tim khusus. Termasuk menentukan SOP-nya.
Sayang, jaksa mendakwa saya melakukan kolusi dengan Sam Santoso hanya berdasar keterangan Sam Santoso yang amat jahat. Apalagi kesaksian tertulis itu diberikan dalam keadaan Sam sudah terbaring sakit karena stroke berbulan-bulan.
Karena itu, saya menolak kesaksian tertulis Sam ini. Apalagi Sam ternyata juga pembohong dengan cara menjual nama saya untuk mengincar proyek yang lain. Jaksa juga tidak bisa menghadirkan orang yang sangat kaya itu ke pengadilan sehingga saya tidak bisa menyanggahnya dengan cara menatap matanya secara langsung.
Anehnya, Sam Santoso, menurut jaksa, mengaku pembelian aset itu tidak lewat tim, tapi langsung nego dengan saya. Baik soal harga maupun cara pembayaran dan taktik pembuatan aktanya. Padahal, yang mengatur semua akta notaris itu pihaknya dan notaris pilihannya.
Jaksa juga mendasarkan dakwaan kolusi itu dari keterangan Wisnu Wardhana yang mengatakan sayalah yang memperkenalkan Sam kepadanya. Dan sayalah yang memberi petunjuk semua itu. Setiap langkahnya dikatakan selalu dapat petunjuk dari saya seolah saya ini pabrik petunjuk. Saya menolak keras keterangan Sam dan Wisnu Wardhana itu.
Tapi, saya memahami posisi sulit Wisnu Wardhana dalam perkara ini. Wajar orang yang dalam posisi seperti itu suka “melempar bola api ke atas”.
Hanya sedikit orang di dunia ini yang berwatak gentleman: menikmati uangnya dan mengakui perbuatannya.
4. Disebutkan dalam dakwaan mengapa aset Kediri tidak dihidupkan dulu baru dijual. Saya tegaskan bahwa aset PWU yang HGB-nya mati bukan hanya aset di Kediri. Banyak aset PT PWU lain yang HGB-nya juga mati. Menghadapi kenyataan itu dan melihat kenyataan kesulitan keuangan di PWU saat itu, seandainya pun ada uang, direksi haruslah menentukan prioritas yang mana yang harus dihidupkan lebih dulu.
Tujuan penjualan aset di Kediri dan Tulungagung ini untuk dibelikan aset baru yang lebih bernilai tinggi. Maka aset Kediri yang jauh dari kota besar Surabaya yang dilepas. Bukan aset yang di Surabaya yang lebih strategis. Hasil penjualan aset itu kemudian dibelikan aset di Surabaya yang tujuannya bukan saja meningkatkan nilai aset tapi sekaligus punya nilai penyelamatan terhadap aset PWU yang lain yang ada di Surabaya, yang kondisinya tercabik-cabik oleh aset milik pihak ketiga.
Strategi ini terbukti sangat berhasil karena nilai aset baru yang diselamatkan tersebut berdasar appraisal yang dilakukan PWU sekarang nilainya sudah mencapai Rp 500 miliar.
Akan hal aset berupa pabrik keramik Tulungagung, sejak awal pemegang saham sudah menginginkan agar aset tersebut dilepas. Pabrik tersebut terus merugi dan keberadaannya me langgar tata ruang. Namun, direksi minta agar pabrik keramik Tulungagung dicoba dulu untuk dihidupkan. Ini mengingat karyawannya yang sangat banyak, lebih 300 orang. Yang kalau pabrik ditutup, harus mengeluarkan uang pesangon yang sangat besar. Bisa mencapai miliaran rupiah. PWU tidak punya uang untuk membayar pesangon tersebut.
Rencana awal, kalau pabrik bisa dihidupkan dan berhasil memperoleh laba, barulah laba tersebut untuk mencicil pesangon secara bertahap dan pabrik akhirnya ditutup untuk dipindah ke lokasi lain yang dilewati jalur gas untuk bahan bakarnya, seperti Sidoarjo. Tapi, upaya menghidupkan kembali pabrik tersebut gagal karena harga BBM naik dan naik terus.
Pabrik yang sudah tua yang mesinnya ternyata bekas juga tidak bisa bersaing dengan pabrik keramik modern seperti milik Sam Santoso.
5. Setiap tahun PT PWU selalu menyelenggarakan RUPS. Tidak pernah absen. Di dalam RUPS itulah diputuskan apakah laporan perusahaan PT PWU pada tahun berjalan bisa diterima oleh pemegang saham. Atau ditolak. Dalam laporan perusahaan tersebut seluruh aktivitas direksi dilaporkan untuk dimintakan pengesahan. Berbeda dengan di swasta pada umumnya, di PT PWU setiap RUPS selalu didahului dengan pra-RUPS.
Penyelenggaraan pra-RUPS itu atas keinginan pemegang saham agar sebelum dibawa ke RUPS, laporan perusahaan tersebut dibedah terlebih dulu di forum pra-RUPS. Dalam forum pra-RUPS ini, pemegang saham menugaskan biro-biro yang terkait di kantor gubernur/kantor Pemda Jatim. Merekalah yang membedah, mempertanyakan, dan minta penjelasan direksi secara mendalam dari berbagai aspek. Karena itu, biro-biro yang terlibat dalam pra-RUPS ini juga lengkap, ada biro perekonomian, biro hukum, biro perlengkapan, dan sebagainya.
Pra-RUPS ini dilakukan berkali-kali sesuai dengan tingkat kedetailan pembedahan laporan perusahaan. Pemegang saham juga sering menurunkan inspektorat daerah untuk menyelidiki benar tidaknya laporan perusahaan tersebut sebelum dilaksanakannya sebuah RUPS. Bahkan, pernah pula minta audit khusus dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di tahun 2007.
Dengan demikian, saat RUPS memutuskan sesuatu, pada dasarnya keputusan tersebut sudah melalui pembahasan mendalam dalam pra-RUPS.
Termasuk apakah pada tahun tersebut direksi bisa mendapatkan aquit et de charge pembebasan dari tanggung jawab atau tidak.
Direksi PT PWU selalu mendapatkan equet et de charge dalam setiap RUPS tahunan tersebut. Dengan demikian, RUPS membebaskan direksi dari tanggung jawab hukum perseroan.
6 Yang Mulia, saya hanya dua semester kuliah hukum di perguruan tinggi. Saya mohon maaf kalau bentuk pleidoi saya ini kurang tepat. Intinya: Mohon Yang Mulia membebaskan saya. Kalau pleidoi saya ini kurang kuat, mohon pleidoi yang akan disampaikan penasihat hukum saya diberi kesempatan untuk dibacakan.
Akhirnya, saya bersyukur bahwa proses peradilan ini sudah membuktikan bahwa tidak ada uang sedikit pun yang saya korupsi. Terbukti juga tidak ada aliran uang ke pribadi saya. Hadiah atau gratifikasi sekali pun tidak.
Saya juga bersyukur PT PWU yang modalnya hanya berupa inbreng senilai Rp 63 miliar kini memiliki pabrik steel conveyor belt yang modern, memiliki gedung Jatim Expo yang me gah, memiliki pabrik kulit yang terkonsentrasi, dan masih banyak lagi. Juga memiliki aset sebidang tanah yang luas di Surabaya yang nilainya sudah mencapai Rp 500 miliar. Semua itu sangat bermanfaat bagi rakyat Jatim dan Indonesia.
Yang juga penting, perusahaan daerah tidak lagi menggerogoti APBD Jatim. Bahkan sudah bisa memperkuat APBD dengan cara setiap tahun PT PWU bisa menyisihkan sebagian labanya untuk disetor ke APBD Jatim. Dengan demikian, APBD bisa sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
***
Izinkan saya mengucapkan terima kasih pada tim penasihat hukum.
Yang kedua, supaya fair, izinkan saya mengucapkan terima kasih pada jaksa. Karena ketika saya diperiksa berhari-hari di kejati, saya disediakan air hangat yang cukup, dalam jumlah sangat banyak sesuai kebutuhan saya. Dengan air hangat itu, saya bisa mengendalikan emosi saya, mengendalikan tekanan darah saya yang waktu itu sampai 170/115. Saya terima kasih karena tidak terjadi sesuatu yang membahayakan saat itu. Dan kejati harus menyediakan air berliter-liter selama beberapa hari itu.
Yang terakhir Yang Mulia, saya mohon izin, dalam kesempatan ini mau mengucapkan…
Terima kasih pada istri saya yang selalu tidak bisa hadir karena lututnya harus dioperasi atau lututnya harus diganti. Dan dalam proses itu gula darahnya sangat tinggi sehingga penyembuhannya mengalami ketelatan.
Juga, saya mengucapkan terima kasih, di sela-sela sakitnya itu, istri saya tidak henti-hentinya ber doa untuk saya. Dan saya harus ingat bahwa seandainya istri saya sudah diam (tidak mendoakan), saya tidak mungkin mencapai tingkat ini. Karena istri saya adalah orang yang mau diajak menderita.
Sejak kawin tidak punya rumah. Tidak punya tempat tidur, tidak punya kasur. Kami tidur di tikar. Dan sampai saya menjadi orang yang sangat mampu, istri saya tetap tidak pernah menggoda saya untuk masalah-masalah material dan tidak pernah minta dibelikan barang yang mahal. Saya mengucapkan terima kasih pada istri saya.
Surabaya, 13 April 2017
Hormat saya,
Dahlan Iskan
LOGIN untuk mengomentari.