Palembang, BP
Kopi yang berasal dari Sumatera Selatan (Sumsel) memang sejak dulu banyak di buru oleh penggemar kopi , malahan Ratu Yuliana dari Belanda, konon sangat menyukai kopi Semendo.
Mungkin, banyak diantara kita tidak mengetahui sejarah panjang perjalanan kopi akhirnya bisa masuk ke Sumsel terutama di daerah pedalaman Sumsel.
Menurut sejarawan Sumsel Syafruddin Yusuf, tanaman kopi memang berasal dari Afrika dan dari Arab (Yaman) kemudian masuk ke Indonesia awal abad 18 dibawa Belanda dan masuk Indonesia sekitar tahun 1907.
Kemudian awalnya tanaman kopi dilakukan uji coba penanamannya di daerah Parahyangan, Jawa Barat (Jabar).
“Tahun 1711 itu pengelolaan tanaman kopi diserahkan dari VOC ke Belanda, dari situlah tanaman kopi berkembang,” katanya dalam Talk show Selasa (9/4) di Radio BP Trijaya Palembang,“ Kopi dan Sejarah Masuknya di Sumsel dengan nara sumber Ketua Dewan Kopi Sumsel (DKS) Zain Ismed, Wartawan senior, Maspriel Aries dan Sejarawan Sumsel yang juga ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) kota Palembang Syafruddin Yusuf.
Di Palembang sendiri, menurutnya kopi belum menjadi primadona, karena tahun 1710 saat ditemukan timah, Belanda lebih mengurus timah karena lebih menjanjikan termasuk di Palembang dengan mengolah tambang timah di Bangka.
Sementara kopi pada waktu itu lebih dikembangkan di Jawa dan barulah akhir abad 18 kopi masuk ke Sumsel.
“Karena di tahun 1890 ada perkebunan di Pagaralam dengan luas 37 ribu hektar termasuk tanaman kopi di Pagaralam ini, apalagi selama masa kesultanan Palembang , Pagaralam dan sekitarnya merupakan daerah yang bebas sehingga Belanda tidak bisa masuk. Baru tahun 1867 Pagaralam bisa di duduki Belanda dan pada tahun 1870 hama kopi sempat merusak perkebunan kopi di Parahyangan sehingga Belanda mencoba bibit kopi ke Sumsel,” kata dosen sejarah FKIP Universitas Sriwijaya (Unsri) ini.
Selain itu menurutnya, Belanda tidak hanya menyuruh masyarakat menanam kopi malahan tahun 1890 itu sudah ada 21 perusahaan asing yang mengembangkan kopi di Pagaralam baik dari Belanda dan Inggris .
Dan uniknya tambah Syafruddin, Belanda juga ikut membina masyarakat setempat dengan cara menanam kopi termasuk panennya dan segala macam sehingga kopi yang dihasilkan berkualitas tinggi.
“Bentuknya sudah sistim perkebunan bukan kebun, kalau kebun itu sifatnya tambahan dari pencarian pokok, kalau perkebunan memang di kelola dengan manajemen dan segala macam,” katanya.
Untuk memajukan kopi dia sepakat agar midset masyarakat dalam pengelolaan kopi harus di ubah tidak lagi tradisional.
Karena dia, melihat rendahnya kualitas kopi Sumsel harus di atasi dengan perubahan mind set dari setiap petani kopi di Sumsel agar lebih baik.
“ Dan harus diakui orang-orang di Sumatera ini adalah orang-orang yang keras, beda dengan di Jawa, dari sisi penjajahan sebenarnya Sumatera ini tidak terlalu menderita, saya memberi contoh begini tahun 1830 Belanda menerapkan sistim tanam paksa, mewajibkan masyarakat untuk menanam salah satunya kopi, itu bisa jalan di Jawa, di Sumatera tidak jalan, sampai 1870 sistim tanam paksa masih jalan, Sumsel termasuk daerah diperhitungkan Belanda karena sering melakukan perlawanan, walaun tahun 1925 Kesultanan Palembang dihapuskan tapi perlawanan di daerah masih berlanjut sampai tahun 1870,” katanya.
Apalagi Sumsel menurutnya, pernah produksi kopi Sumsel sangat tinggi untuk di Indonesia malahan sampai tahun 1900 produksi kopi Sumsel sangat tinggi.
“ Sekarang bagaimana mengembalikan kejayaan kopi Sumsel, supaya menjadi nilai tambah bagi masyarakat kita untuk meningkatkan kemajuan daerah kita,” katanya sembari mengatakan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam mengangkat kembali kejayaan kopi Sumsel.
Hal senada dikemukakan Ketua Dewan Kopi Sumsel (DKS) Zain Ismed menurutnya, untuk lingkup Sumsel kopi yang lebih dominan adalah kopi robusta, walaupun ada juga kopi arabika dikembangkan di Sumsel.
Walaupun demikian dia melihat produksi kopi di Sumsel masih rendah , jadi jika diibaratkan 1 hektar bisa petani kopi Sumsel bisa mendapatkan 0,6 sampai 0,9 ton pertahun, ini kalah jika di bandingkan dengan Vietnam bisa menghasilan 2,5 sampai 3 ton kopi pertahun.
“ Ini peluang, kenapa Vietnam bisa artinya kita harus bisa harus dengan tata budidaya yang baik, pasca panen juga dengan baik, ini dapat kita gandangan , jika itu terjadi maka perekonomian di Sumsel bergerak cepat karena bisa di gandakan sampai lima kali,” katanya.
Apalagi pola tanam kopi di Sumsel menurutnya masih menggunakan cara tradisional yang sudah dilakukan secara turun temurun.
Untuk pengembangan kopi di Sumsel menurutnya, harus dilakukan secara simultan dimana dihilir tetap dilakukan pembinaan apalagi sekarang trendnya banyak anak-anak muda turun ikut pengelola kopi.
“ Bagi kita kopi ini bukan hanya komoditas ekonomi tapi punya sejarah, punya budaya, artinya luar bisa dan sekarang harus kita rangkai kembali , karena pekerjaan rumah dewan kopi ini banyak sekali, kita harus melibatkan banyak orang, wartawan untuk publikasi, karena banyak tidak tahu, kebun kopi terluas di Indonesia ada di Sumsel, khan ironis, kemudian ada ekspor kopi tapi tidak melalui Sumsel, ini kita pelajari,” katanya.
Dan wajar saja kalau menurutnya , kopi Sumsel banyak di ekspor dari luar Palembang, hal ini menurutnya, sesuai hukum pasar dan tinggal pemerintah apakah kopi mau mengalir ke Sumsel atau tidak , jika mau maka harus di urus sama-sama.
Selain itu menurutnya brand kopi Sumsel harus di cari, karena di Sumsel ada enam daerah mengklaim paling hebat diantaranya Pagaralam, Semendo yang mengakibatkan kebingungan pasar menterjemahkan ini.
“Ini adalah bahasa marketing ini coba kita diskusikan dengan orang marketing, sementara di hulu kita perbaiki terutama pasca panen, kebiasaan masyarakat kita kopi di jemur di pinggir jalan , kopi itu makanan harus ada higines dan kopi ini di ekspose dan tentu akan di test rasa dan ini perlu pembinaan,” katanya.
Dewan Kopi Sumsel menurutnya kemarin telah melakukan pelatihan selama 18 hari dimana tiga harinya diberikan pelajaran perubahan pola pikir termasuk cara pemasaran dan menjemur kopi harus ada pendampingan dengan melibatkan semua instansi.
“Jika kita sungguh-sungguh membina kopi ini , perputaran ekonominya cukup kencang, bisa tiga sampai lima kali luar biasa ekonomi Sumsel,” katanya.
Wartawan senior Sumsel Maspriel Aries justru melihat pengelolaan kopi di Sumsel selama ini dilakukan secara turun temurun, apalagi kini sudah tidak ada lagi profesi penyuluh yang rutin melakukan penyuluhan pertanian kepada masyarakat, akibatnya terputusnya pembinaan petani kopi di Sumsel.
Selain itu sentuhan pemerintah untuk pengembangan kopi di Sumsel dilihatnya juga kurang sehingga berdirinya dewan kopi Sumsel yang bertujuan untuk mengembangkan kopi di Sumsel dinilai positip dalam mengembangkan dan memajukan produksi dan kualitas kopi Sumsel lebih baik lagi kedepan.
“Munculnya kedai-kedai kopi ini jangan juga jadi trend, sebetulnya ini bisa kalau kita bisa belajar dari Starbuck tahun 1971 dengan gerainya sudah puluhan ribu di seluruh dunia, apalagi sekarang kopi –kopi lokal udah muncul , interprener, barista itu semuanya muara dari sejarah kopi itu , jadi ada yang hilang, ini harus di tata ulang,” katanya.
Maspriel juga melihat, kopi di Sumsel kini menjadi komoditi anak tiri dari sektor perkebunan tidak seperti karet dan sawit.
Apalagi dia melihat hingga kini belum ada rencana oleh pemerintah untuk mereflanting tanaman kopi seperti halnya tanaman karet untuk di Sumsel.
“Ini yang harus di jawab instansi terkait adakah program Reflanting tanaman kopi itu, kalau ada ayo dong,” katanya.
Karena itu kopi dari dulu menurutnya adalah komoditas yang menggiurkan yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah dan semua pihak karena sekarang trendnya terus naik.
“Bagaimana kopi-kopi kita, kedai-kedai kopi kita kalau bisa diberdayakan menjadi suatu produk yang yang bisa berkontribusi bagi daerah , petani kopi dan pada masyarakat sekitarnya,” katanya.#osk