in

Sekelumit Kisah Singkil Menjadi Daerah Otonom

19 TAHUN LALU, tepatnya tanggal 27 April 1999,  Aceh Singkil ditetapkan Pemerintah RI menjadi daerah otonom.

Ia mekar dari kabupaten induknya, Aceh Selatan. Hal ini termaktup dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999.

Berdasarkan keterangan berbagai sumber, untuk mewujudkan Singkil menjadi daerah otonomi, bukanlah seperti membalik telapak tangan.

Jalan yang ditempuh berliku. Bahkan, terjal dan dihiasi jurang yang dalam.

Karenanya perjuangan dan pengorbanan pemekaran,  tak bisa dikira dan ditimbang. Allah SWT yang maha tahu berat-ringannya.

Mulai Tahun 50-an

Menurut catatan sejarah, perjuangan pemekaran Singkil telah dimulai pada era tahun 1950-an. Ketika itu, segala potensi yang ada di Singkil digalang dan dikerahkan.

Berbagai musyawarah digelar guna menyatukan pikiran, pendapat, dan menyamakan persepsi serta memperkuat kekompakkan dan kebersamaan.

Masyarakat Singkil, ketika itu, sangat antusias menyahuti ide yang cemerlang ini.

Karena dengan otonomi,  Singkil bisa mengurus dirinya sendiri, tidak terikat dengan Aceh Selatan.

Di samping itu, rentang kendali berbagai hal pun bisa diperpendek dan pembangunan untuk menuju kemakmuran dan kesejahteraan warga akselerasinya bisa dipercepat.

Tenaga kerja pun, bisa terserap dan setra-sentra ekonomi akan tumbuh dan berkembang. Pokoknya, keuntungan dari otonomi sangat banyak dan positif.

Animo masyarakat ini ibarat gayung bersambut. Beberapa tokoh Singkil (tahun 1956) melobi dan membicarakan hal ini dengan anggota DPR RI Abdul Manaf el- Zamzami atau yang lebih populer dengan sebutan Almelz (alm) asal Meukek, Aceh Selatan.

Dalam pembicaraan itu, Almelz setuju dan menyuruh Wedana  Singkil, A. Mufti AS dan tokoh masyarakat Singkil, H. Anhar Muhammad Husen supaya mempercepat realisasi pemekaran Singkil.

Dari dukungan dan  seruan  putra Aceh Selatan tadi 21 Maret 1957 oleh beberapa tokoh masyarakat, ulama, dan organisasi-organisasi di Singkil lainnya, membentuk PARKOS (Panitia Penuntut Kabupaten Otonomi Singkil) sebagai wadah perjuangan mewujudkan Singkil menjadi daerah otonomi.

Resolusi Parkos

Parkos menggelar rapat-rapat. Dalam rapat 23 Maret 1957,  lahirlah sebuah rekomendasi dan resolusi. Resolusi itu, ditandatangani Tgk. M Bakry sebagai ketua dan Kamaluddin sekretaris.

Resolusi Parkos menuntut. Pertama, mendesak pemerintah supaya meninjau pembagian kabupaten di Provinsi Aceh.

Dua, dalam rangka peninjauan tersebut, pemerintah harus memberikan status kabupaten otonom tingkat II pada kewedanaan Singkil dalam lingkungan provinsi Aceh.

Ketiga, membentuk satu delegasi yang menyampaikan resolusi ini kepada yang berwajib yang terdiri dari 19 instansi pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Resolusi yang sangat bernas dan dibuat dengan cerdas ini, sayang belum bisa direalisasikan oleh pemerintah pusat dengan berbagai alasan.

Pada tanggal 6 Juni 1968, pemerintah pusat  hanya memberikan status baru sebagai daerah perwakilan Kabupaten Aceh Selatan. Wilayahnya meliputi Kecamatan Singkil, Pulau Banyak, Simpang Kanan, dan Simpang Kiri.

Pemberian status daerah perwakilan ini, ternyata tidak membuat tokoh-tokoh Singkil puas dan mengendorkan niatnya untuk berjuang meraih daerah otonom. Perjuangan ini semakin gencar dan semangat.

Seluruh elemen masyarakat dilibatkan dan komponen potensial dikerahkan termasuk warga Singkil yang berada di luar daerah. Di bawah payung Himpunan Masyarakat Wilyah Singkil (HMWS).

Keinginan menjadi daerah otonomi,  kembali menggebu-gebu, seiring dengan masuknya era reformasi. Apalagi didukung pula dengan berbagai regulasi.

Pada tahun 1993, ketika Gubernur Aceh Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud usai melantik H Sari Subki sebagai Bupati Aceh Selatan.

Sejumlah pemuda-pemuda Singkil menjadikan hal itu sebagai momentum untuk melancarkan “unjuk rasa” di depan sang gubernur.

Mereka menyampaikan aspirasi masyarakat, agar Wilayah Singkil secepatnya dijadikan daerah otonomi, pisah dari Aceh Selatan.

Saat unjuk rasa ini, ada pemandangan yang “ganjil” terlihat. Yaitu, di bagian belakang baju yang dikenakan pasukan pengunjukan rasa yang umumnya pemuda,  tertuliskan kalimat  “Aceh Singkil”.

Syamsuddin ketika itu, sempat nyeletuk,  “Lho kok, Aceh Singkil. Mengapa tidak Singkil saja,” celetukkan ini terdengar pada salah seorang tokoh masyarakat Singkil. Kemudian tokoh masyarakat itu menjawab.

“Biar klop Pak. Singkil itu ya, Aceh! Maksudnya, kalau Singkil jadi daerah otonomi. Singkil  tetap menambalkan sebutan Aceh pada nomenklatur nama daerah. Cukup lama masyarakat Singkil ingin berdiri sendiri, lepas dari Aceh Selatan. Namun, tidak berpisah dengan Aceh,” ucap sang tokoh spontan.

Dari peristiwa itu, agaknya  tokoh-tokoh Singkil berkomitmen, bahwa kata-kata Aceh akan tetap ditambalkan pada nomenklatur nama kabupaten yang bakal dibentuk.

Menurut Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud, dalam buku Biografinya Seorang Guru di Aceh halaman 628, menukilkan, “Pencantuman nama Aceh sempat timbul debat dengan saya. Usul saya, cukup Kabupaten Singkil. Tetapi tokoh-tokoh masyarakat setempat menolak dan mereka tetap harus ada sisipan nama Aceh.

“Kami ingin jadi daerah otonomi, mekar secara administarsi dari Aceh Selatan tetapi kami tidak mau berpisah dengan Aceh,” ungkap seorang masyarakat saat itu.

Saat dinobatkan menjadi daerah otonomi, pisah dari Aceh Selatan, kemudian diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid pada tanggal 27 April 1999, nama kabupaten baru itu disebut lengkapnya “Aceh Singkil”.

Penetapan nama Aceh Singkil ini, beberapa kalangan, ada juga yang protes. Mereka menginginkan agar tak usah memasukkan kata Aceh pada daerah yang mau dimekarkan, cukup dengan Singkil saja.

Setelah diberikan pemahaman dengan latar belakang sejarah, barulah pihak-pihak yang tidak setuju menjadi maklum.

Akhirnya, nama Aceh Singkil tertuang dalam Undang- Undang Nomor 14 tahun 1999. Dan kelompok yang memperotes pun redah. Sehngga ketika pelantikan dan peresmian Aceh Singkil, tidak ada gejolak apalagi demontrasi.

Penambahan kata Aceh ini, di samping karena masyarakat Singkil memiliki beberapa kesamaan historis, dan budaya, dengan masyarakat Aceh. Juga karena adanya benang merah sejarah yang berkelindang.

Aceh tidak bisa dipisahkan dengan Singkil, begitu pula sebaliknya. Singkil tetap terpaut dengan Aceh. Singkil itu kalau dalam permainan kartu ibarat kartu trup (AS) bagi Aceh.

Jadi, kalau ada keinginan segelintir yang mau memisahkan Singkil dengan Aceh, berarti kita “membenamkan” batang yang telah terampung.

Kalau pun terpisah secara administrasi pemerintah. Tetapi secara historis tidak bisa dilepaskan.

Aceh  pernah berjaya, karena andil besar dari Singkil. Andil dari Syekh Abdurrauf al-Singkili dan Syekh Hamzah Fansuri.

Bangsa yang arif, adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah.

Karena sejarah itu, kata Cicero; “Saksi dari sang waktu, obor dari kebenaran, nyawa dari ingatan, guru dari penghidupan dan pesan dari masa lampau.”[]

Komentar

What do you think?

Written by Julliana Elora

Pembayaran PBB Diberlakukan di Minimarket

Saat Bupati Kepulauan Karimun Saweu Gampong