in

Sekolah Budaya Solusi Efektif Meredam Konflik

Dari konsep sekolah budaya ini, masyarakat diajak memperkuat kembali tradisi budaya mereka.

NUSA TENGGARA TIMUR– Sejumlah peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan program sekolah budaya. Ini dilakukan dengan tujuan mengangkat kembali budaya tradisional sekaligus menawarkan konsep resolusi konflik dan menjaga kelestarian alam lewat penguatan budaya dan hukum adat.

Antropolog UGM, Lono Simatupang, mengatakan praktik sekolah budaya ini diterapkan di enam desa di Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Ia menjelaskan sekolah budaya merupakan konsep yang lahir dari ide masyarakat Mollo setelah pihaknya melakukan pendampingan di bawah kegiatan Community Resilience and Economic Development (CaRED) UGM.

“Metode yang kita lakukan dengan mengikusertakan perempuan, lembaga pemangku adat, pemerintah desa, dan anak muda dalam sekolah budaya ini,” kata Lono seusai bertemu dengan para pemangku adat di Desa Lelobatan dan Desa Tune, Mollo Utara, Nusa Tenggara Timur, Selasa (29/8). Lono menambahkan, pihaknya bersama dengan Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM, Muhadi Sugiono, awalnya hanya tertarik melakukan riset tentang peran perempuan dalam resolusi konflik saat terjadinya konflik penolakan penambangan marmer di lokasi pegunungan Fatunausus yang selama ini dijadikan tempat sakral bagi masyarakat Mollo.

“Waktu itu, kekuatan perempuan berhasil mengusir penambang. Kekuatan mereka untuk mengusir penambang lewat jalur budaya, setelah kita masuk untuk meminimalisir agar tidak ada konflik baru, muncullah ide tentang sekolah budaya ini,” paparnya. Dari konsep sekolah budaya ini, masyarakat Mollo diajak memperkuat kembali tradisi budaya mereka. Bahkan, seni dan budaya tradisional yang selama ini ditinggalkan digiatkan kembali seperti Tari Giringgiring (tarian perang) dan seni musik tradisional Heo-Bijol.

Libatkan Tokoh

Muhadi Sugiono mengatakan sekolah budaya yang melibatkan peran para tokoh pemangku adat, kaum perempuan, anak muda, dan aparat pemerintah desa untuk memikirkan pelestarian budaya ternyata juga mampu menggali kembali akar tradisi dan nilainilai luhur budaya mereka untuk dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Karena itu, lanjutnya, tidak heran, setelah kurang lebih tiga tahun masyarakat menaruh harapan besar bisa mempertahankan kelangsungan adat mereka sekaligus bisa menjaga kelestarian alam dan sumber mata air. “Mereka berharap sekolah budaya ini mampu terus memperkuat adat budayanya meski sebetulnya dari mereka sendiri yang bisa melakukannya,” katanya.

Kepala Desa Nefokoko, Imanuel Salisi, mengatakan sekolah budaya yang dirintis oleh UGM mampu menggairahkan kembali kehidupan seni budaya yang ada di Mollo. Hal senada juga disampaikan Kepala Desa Lelobatan, Bora Bullu. Menurutnya, ide menguatkan kembali budaya menjadi faktor pendorong bagi pemangku adat untuk mengenalkan budaya leluhur Mollo pada generasi muda dan anak-anak.

“Saya melihat adat istiadat kita begitu kental, tapi hampir punah, UGM seolah membangunkan kami agar sadar tentang hal ini,” ungkapnya. Honi Ombaya Kasse, 45 tahun, tokoh perempuan dari Desa Lelobatan, mengatakan meski mayoritas masyarakat Mollo hidup dalam kondisi miskin, namun keinginan untuk mempertahankan budaya begitu kuat.

“Nenek moyang kami sejak dulu memiliki nilainilai budaya yang kuat. Sekarang, kita bersama UGM dituntun untuk mempertahankan nilai budaya yang luhur itu,” katanya. Pemerhati budaya dari Universitas Nusa Cendana, Kupang, Primus Lake, mengatakan konsep sekolah budaya yang ditawarkan oleh UGM berpotensi sebagai upaya untuk merintis pengembangan desa adat di Kecamatan Mollo.

Primus mengatakan desa adat merupakan unit pemerintahan terkecil dikelola oleh masyarakat adat dan mempunyai hak untuk mengurus ulayatnya secara mandiri. “Sekolah budaya, menurut saya, bisa menjadi pintu untuk menuju desa adat itu,” katanya. YK/E-3

What do you think?

Written by virgo

Daan Goppel, Promosikan Indonesia di Amsterdam

Bikin Ngakak, Kumpulan Meme Judul Berita ini Gokil Parah!