
Jakarta (ANTARA) – Punk bukan sekadar genre musik, melainkan juga sebuah gerakan sosial dan politik yang memberikan pengaruh besar terhadap budaya populer di seluruh dunia.
Salah satu band yang paling erat dikaitkan dengan lahirnya dan berkembangnya budaya punk adalah Sex Pistols.
Dengan sikap anti-kemapanan dan lirik lagu yang provokatif, mereka menjadi simbol pemberontakan generasi muda pada era 1970-an.
Meskipun perjalanan mereka terbilang singkat, Sex Pistols meninggalkan jejak pengaruh mendalam dalam sejarah musik dan pergerakan punk secara global.
Lahirnya Sex Pistols dan punk di Inggris
Sex Pistols pertama kali tampil di hadapan publik pada 6 November 1975 di Saint Martin’s School of Art, London.
Pada saat itu, band ini masih diperkuat oleh Glen Matlock sebagai bassist sebelum akhirnya digantikan oleh Sid Vicious pada 1977.
Band ini dibentuk di bawah arahan manajer Malcolm McLaren, yang sebelumnya bekerja bersama perancang busana Vivienne Westwood di butik bernama SEX di Chelsea, tempat berkumpulnya anak muda yang tertarik dengan kultur punk yang sedang berkembang.
McLaren menemukan John Lydon, yang kemudian dikenal sebagai Johnny Rotten, sebagai vokalis yang sesuai dengan visi bandnya.
Dengan Rotten, Steve Jones (gitar), Paul Cook (drum), dan Matlock, Sex Pistols mulai merancang musik yang tidak hanya menantang norma musik mainstream, tetapi juga menyuarakan perlawanan terhadap sistem sosial dan politik saat itu.
Pengaruh politik dan kritik sosial dalam musik Sex Pistols
Sex Pistols dengan cepat menjadi momok bagi otoritas Inggris. Lagu-lagu mereka seperti Anarchy in the U.K. dan God Save The Queen menjadi simbol perlawanan terhadap sistem kerajaan dan pemerintahan.
Ketika Inggris merayakan Jubilee Perak Ratu Elizabeth II pada 1977, band ini merilis God Save The Queen, sebuah lagu yang mengkritik sistem monarki dan menggambarkan Inggris sebagai tempat tanpa masa depan.
Lagu ini kemudian dilarang di berbagai media, namun tetap mencapai puncak tangga lagu meskipun ditolak oleh BBC.
Sikap anti-kemapanan mereka semakin diperkuat dengan insiden yang terjadi saat mereka tampil dalam program Today di sebuah televisi Inggris, di mana mereka melontarkan kata-kata kasar yang mengejutkan publik. Hal ini semakin mengukuhkan Sex Pistols sebagai musuh publik nomor satu dan mempertegas hubungan erat antara punk dan politik.
Punk sebagai pergerakan sosial dan politik
Sex Pistols bukan satu-satunya band yang menggunakan musik sebagai sarana kritik sosial. The Clash, Sham 69, Stiff Little Fingers, dan banyak band punk lainnya ikut menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.
The Clash, misalnya, dengan lagu-lagu seperti London’s Burning dan Career Opportunities, mengangkat isu pengangguran, kerusuhan sipil, dan ketidakadilan polisi.
Punk juga berperan dalam pergerakan sosial, seperti Rock Against Racism di Inggris pada 1978-1979, yang melawan diskriminasi rasial melalui musik. Di Amerika Serikat, Dead Kennedys membawa semangat yang sama dengan lirik-lirik yang menentang kebijakan pemerintah, seperti dalam lagu California Über Alles dan Holiday In Cambodia yang menyindir kebijakan dalam negeri dan luar negeri AS.
Transformasi punk di era 1980-an hingga sekarang
Perubahan politik di Inggris dan Amerika Serikat pada 1980-an turut mempengaruhi arah pergerakan punk. Munculnya pemerintahan konservatif seperti Ronald Reagan di AS dan Margaret Thatcher di Inggris memicu reaksi keras dari komunitas punk.
Band-band seperti Crass, Poison Girls, dan Conflict menolak sistem kapitalis dan mengusung nilai-nilai anarkisme dalam musik mereka.
Di AS, punk hardcore mulai berkembang dengan lahirnya band-band seperti Black Flag, Bad Brains, dan Minor Threat, yang memperkenalkan filosofi straight edge, yakni hidup tanpa alkohol, narkoba, dan konsumsi daging. Sementara itu, punk tetap menjadi alat perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, seperti dalam konser Rock Against Reagan yang diorganisir oleh Dead Kennedys.
Pada era 1990-an, punk kembali ke arus utama dengan munculnya band seperti Green Day, Rancid, dan The Offspring. Green Day, khususnya, membawa semangat punk ke generasi baru dengan album American Idiot yang berisi kritik terhadap pemerintahan George W. Bush dan manipulasi media.
Di era digital, punk tetap menjadi kekuatan dalam perlawanan sosial dan politik. Pada 2012, grup punk feminis Rusia, Pussy Riot, menjadi simbol perlawanan global setelah tiga anggotanya dipenjara karena menggelar aksi protes terhadap pemerintahan Vladimir Putin di sebuah gereja di Moskow.
Sementara itu, di Islandia, mantan punk Jon Gnarr terpilih menjadi wali kota Reykjavik dan menjalankan pemerintahan berdasarkan filosofi anarko-punk.
Sex Pistols mungkin hanya bertahan selama kurang lebih dua setengah tahun, namun dampaknya terhadap musik, budaya, dan politik masih terasa hingga sekarang. Mereka membuka jalan bagi punk sebagai gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi di berbagai belahan dunia.
Punk bukan sekadar gaya musik atau fashion, melainkan sebuah bentuk ekspresi yang terus berkembang dalam berbagai bentuk dan tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Baca juga: Ketika generasi punk lebur dengan masyarakat
Baca juga: Taring Babi belajar hidup bersih dari punk Jepang
Baca juga: Marjinal: Chrisye itu punk
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025