Menyoal sebuah kebijakan terkait dengan gelar akademik, merupakan hal yang sederhana namun memiliki dampak sistematis yang kerapkali abai untuk diperhatikan perkembangannya oleh masyarakat, khususnya bagi mereka yang memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi dengan tujuan membidangi sebuah pekerjaan tertentu dikemudian hari.
Demikian pentingnya ini diperhatikan, dikarenakan Indonesia sebagai negara hukum memiliki klasifikasi yang dituangkan secara tertulis untuk berbagai aktivitas kenegaraan, termasuk perekrutan pegawai-pegawai negeri di berbagai bidang. Sehingga akibatnya, bilamana syarat tidak terpenuhi atau tidak sesuai secara bahasa dalam peraturan tersebut disebutkan, maka secara tidak langsung berkas akan ditolak untuk dilanjutkan, walau pada awalnya diterima untuk diproses sesuai dengan mekanisme prosedur perekrutan pada umumnya.
Entitas gelar akademik di Indonesia, memiliki prestise tersendiri ketika disandingkan dengan bidang pekerjaan yang bersesuaian dengan gelarnya. Pasalnya, kompetensi seseorang juga di ukur melalui kesesuain hal tersebut. Dan ini akan terus meningkat seiring dengan penambahan gelar akademik pada jenjang pendidikan lanjutan, baik magister maupun doktoral. Sebut saja, kesesuaian ini akan berdampak kepada layak tidak nya seseorang untuk dikatakan ahli dalam sebuah bidang keilmuan.
Secara visioner, hal ini kemudian dipandang penting untuk diperhatikan lebih mendalam oleh pengambil kebijakan dan seterusnya disikapi dengan segera. Sudah banyak penyesuaian gelar akademik yang diubah secara spesifik, yang hanya menghilangkan atau menambahkan sepatah atau dua patah kata saja dalam penabalan gelar tersebut. Namun seperti sebelumnya disebutkan, ini berdampak sistemik bagi kehidupan seseorang yang mengemban gelar tersebut sampai akhir hayatnya.
Dalam hal ini SHI (Sarjana Hukum Islam) diubah menjadi SH (Sarjana Hukum).
Sebelum diubahnya gelar akademik SHI menjadi SH, pernah sebelumnya ditahun 2009 menyeruak kabar bahwa ada opsi gelar SHI tersebut justru lebih spesifik akan menjadi Sarjana Syariah (S.Sy). Sontak, tentu saja ini menyita banyak perhatian. Hal ini tidak lain dikarenakan peluang untuk beradaptasi dengan tatanan sistem hukum di Indonesia terkait bidang-bidang pekerjaan, menjadi demikian sempit. Namun hal ini tidak berlanjut, karena selain tidak meratanya institusi perguruan tinggi Islam yang menerapkan aturan penggunaan gelar tersebut, juga terdapat banyak perlawanan dari elemen masyarakat yang tidak lain adalah juga mahasiswa, sehingga kini gelar tersebut telah resmi menjadi “Sarjana Hukum” saja, sebagaimana gelar akademik yang dikeluarkan oleh fakultas hukum di perguruan tinggi umum yang pengelolaannya bernaung di bawah Kementrian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (bukan Kementrian Agama).
Dan hal ini sudah berlaku sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia (RI) Nomor 33 Tahun 2016 tentang Gelar Akademik Perguruan Tinggi Keagamaan.
Gelar akademik bidang Hukum dan Korelasinya dengan Syarat Kepegawaian di Indonesia.
Ada sebuah stigma negatif yang melekat terhadap perorangan yang bergelar Sarjana Hukum Islam, bahwa lulusan hukum Islam hanya bisa mengurusi perkara-perkara terkait dengan Agama Islam saja dan tidak boleh memasuki ruang diskusi di luar dari pada itu. Hal ini tentu saja tidak dapat dibenarkan, mengingat konteks pembahasan dalam ruang akademik dalam jurusan Syariah di Perguruan Tinggi Islam itu mengkaji dan menganalisis banyak keilmuan hukum yang umum juga. Tidak sampai di situ, ini juga berterusan akibatnya dengan syarat bidang kepegawaian di Negara Indonesia, yang juga sebelumnya sudah disebutkan, dimana tiap-tiap syarat untuk menjadi pegawai di negara Indonesia sudah dituangkan secara mendetail di sebuah peraturan perundang-undangan.
Bicara pendidikan hukum di negara hukum, sama seperti berbicara rumah dan kaitannya dengan pintu, penyimpangan dari itu akan dianggap sebuah anomali. Pendidikan Hukum di Indonesia,menjadi pintu masuk untuk dapat dijunjung tingginya Hukum sebagai panglima di Indonesia, mengingat hampir setiap lini kehidupan di Indonesia diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan. Terlepas dari luasnya ruang pekerjaan sarjana hukum Islam dan sarjana hukum di berbagai bidang profesi apakah itu advokat atau guru sekalipun, namun tetap ada ruang pekerjaan yang dipandang bertindak diskriminatif terhadap perorangan yang bergelar sarjana hukum Islam, dikarenakan tidak dicantumkannya kata-kata “Islam” di dalam peraturan yang membahas syarat menjadi salah satu pegawai diinstitusi tersebut. Misalnya saja, di dalam Pasal 9 ayat (1) jo ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa syarat dapat diangkat menjadi jaksa adalah berijazah paling rendah sarjana hukum. Dan hal serupa juga terjadi dalam beberapa syarat perekrutan institusi negara lainnya.
Terhadap pandangan yang dianggap diskriminatif ini, ada dua pilihan yang bisa dijadikan solusi, yakni perubahan gelar seperti yang dilakukan saat ini atau perubahan undang-undang yang hanya menyatakan sarjana hukum itu saja sebagai syarat perekrutan tenaga kepegawaian, dan ditambakan klausula yang menjelaskan di tiap aturan bahwa itu juga berlaku untuk gelar Sarjana Hukum Islam. Sehingga dari aspek efektifitas, tentu saja pilihan pertama adalah yang paling tepat dipilih dan hal ini dilakukan bukan karena mengarah kepada wacana sekulerisme institusi pendidikan tinggi.
Aceh dan Hubungannya dengan Sarjana Hukum yang berteraskan Islam
Menariknya di Aceh, sistem ketata negaraannya berjalan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dalam ajaran agama Islam. Sebenarnya bila merujuk kepada hal tersebut, maka Provinsi Aceh ini sangat membutuhkan sarjana-sarjana hukum yang konteks berfikirnya benar-benar murni berorientasikan nilai-nilai ajaran agama Islam itu sendiri oleh pribadi yang lebih berkemajuan, sebagai seorang ahli di bidangnya. Hal ini tentu saja dapat dikaitkan kepada hadirnya perguruan tinggi Islam yang berperan aktif dalam menanam nilai-nilai ke-Islaman dalam sistem pendidikannya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa perguruan tinggi umum juga melakukan hal yang serupa. Namun ini lebih mengarah kepada kompetensi, yang sejatinya harus dihargai oleh tiap-tiap civitas akademik.
Saat ini terdapat “Jurusan Syariah” di Perguruan Tinggi Islam, seperti: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Teuku Dirundeung yang ada di Meulaboh. Serta, “Jurusan Hukum” di Perguruan Tinggi Umum, seperti: Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh. Yang dengan kata lain, Negara secara langsung melalui institusi pendidikan ikut berperan aktif dalam mendukung tumbuh kembangnya sistem ketatanegaraan dalam tubuh pemerintahan Aceh agar tiap lulusannya memiliki hak yang sama untuk terlibat membangun Tatanan Hukum di institusi pemerintahan nasional yang bertempat di Aceh.
Akhirnya, ini akan kembali lagi kepada kualitas diri sebagai sesama sarjana hukum. Terlepas dari perguruan tinggi Islam atau perguruan tinggi umum, ini hanyalah masalah syarat yang membuka peluang untuk dapat diseleksi dengan hak yang sama, sedangkan dimasyarakat ini hanya terkait dengan hilangnya stigma yang tidak berdampak secara fisik. Sebatas itu saja. Selebihnya progesifitas tiap pribadi yang akan menentukan sesiapa yang akan mencapai puncak kompetisi dalam perhelatan profesi dibidang hukum. Terkhusus di Aceh yang visi dan misinya berfokus kepada nilai-nilai pembangunan yang berdasarkan Islam.
Semoga ulasan ini dapat memotivasi pembaca, khususnya pelajar ataupun pemerhati sarjana hukum agar tidak lagi memiliki penilaian yang sempit terhadap potensi sarjana hukum dari perguruan tinggi Islam. Lalu, lulusan perguruan tinggi Islam tersebut pun harus juga berjuang untuk layak mendapat penilaian yang setaraf dengan sarjana hukum dari perguruan tinggi umum atau bahkan lebih baik, sehingga kompetisi antar sarjana hukum di Indonesia semakin menarik dan dapat menghasilkan pemikir-pemikir hukum yang lebih baik kedepannya, tekhusus untuk memajukan Aceh yang memang menerapkan tatanan hukum berlandaskan agama Islam melalui berbagai qanunnya (Perda Aceh).
Banyak Maaf, Terima Kasih.
Sumber ilustrasi: dikutip dari internet.