Oleh : Mohamad Ali Direktur Yayasan Depati
Ratu Sinuhun dan Simbur Cahaya
RATU PEMBAYUN yang lebih dikenal dengan nama Ratu Sinuhun istri dari Pangeran Side Ing Kenayan memerintah kesultanan Palembang tahun 1630 sampai 1642. Pada mulanya, isi yang terkandung dalam naskah Undang Undang Simbur Cahya merupakan aturan yang berserakan di berbagai daerah uluan, lalu aturan yang berserakan tersebut dikompilasi sebagai aturan perundang-undangan,hasil kompilasi ini kemudian mengalami revisi dan penyempurnaan pada pertemuan adat yang kemudian dikenal sebagai rapat besar atau rapat Kepala-kepala Anak Negeri Karesidenan Palembang. Dengan demikian, naskah kitab Undang-Undang Simbur Cahaya adalah produk suatu forum resmi yang melibatkan tokoh-tokoh utama dalam masyarakat seperti Pasirah sebagai kepala marga.
Karena jasa Ratu Sinuhun yang telah mengkodifikasi aturan yang yang tadinya berserak menjadi terkumpul biasa dipergunakan secara lisan kini menjadi aturan yang tertulis, Ratu sinuhun sendiri sangat disegani didaerah Uluan, karena jasanya menkodifikasi aturan dari setiap marga yang ada menjadi sebuah kitab dengan nama kitab undang undang simbur cahaya.
Kitab Undang Undang Simbur Cahaya terdiri dari 5 Bab.
Bab 1 tentang Adat Bujang Gadis dan Kawin, yang berisi tentang aturan pergaulan laki-laki dan perempuan pada umumnya, aturan sopan-santun jender, seluk beluk perkawinan dan pasca perkawinan (janda, cerai atau kematian suami), serta masalah lainnya yang relevan.
Bab 2 tentang Aturan Marga berisi norma tradisi politik termasuk tentang birokrasi dan administrasi pemerintahan serta partisipasi sosial dan politik masyarakat.
Bab 3 tentang Aturan Dusun dan Berladang, selain memuat aturan administrasi pemerintahan tingkat dusun, juga memuat aturan agraria.
Bab 4 tentang Aturan Kaum khusus memuat pokok aturan dan pelaksanaan tugas pejabat yang mengelola urusan yang memiliki kaitan dengan agama.
Bab 5 tentang Adat Perhukuman mengenai prinsip pokok penerapan penyelenggaraan hukuman karena terjadi pelanggaran dan berbagai perkara. Pasal ini berisi pula tentang sopan santun jender dan berisi tentang administrasi pemerintahan.
Pada Zaman Pemerintahan Sultan Abdulrachman Undang undang Simbur Cahaya ini diperluas dengan Undang Undang Wilayah, untuk daerah Bangka Belitung undang undang simbur cahaya ini disebut dengan Undang Undang Sindang Mardika.
Di zaman penjajahan Belanda Undang Undang Simbur cahaya ini masih dipakai oleh Belanda, meskipun sifatnya berubah dari Undang Undang Dasar menjadi undang undang Adat ( Hukum Adat )
Undang Undang Simbur Cahaya ini masih terus di pakai oleh marga yang ada di wilayah Sumatera Selatan,dan sebelum Marga dibubarkan oleh Sainan Sagiman Selaku Gubernur Dati I Sumatera Selatan Lewat SK No;142/KPTS/III/1983 Tentang pembubaran Pemerintanan Marga dan DPR Marga
Cermin Kearifan Lokal yang tertuang didalam Simbur Cahaya
Di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan krisis identitas budaya lokal yang telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat di tanah air, ternyata masih ada kekuatan yang terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan kearifan budaya di kalangan masyarakat adat di Sumatera Selatan. Kearifan menyelesaikan konflik, pertikaian melalui pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan yang sangat luhur. Kearifan budaya itu berupa tradisi mempergunakan media tepung tawar dalam meresolusi konflik.
Apabila ada konflik, kekerasan yang saling melukai satu sama lain, dengan menggunakan tradisi tepung tawar itu, diantara orang yang bertikai dapat saling berdamai dan akur kembali. Contoh pengalaman konflik yang pernah terjadi antara pemuda desa Terawas dengan pemuda tentangga desa sebelahnya saat acara dangdutan. Kedua pemuda itu sudah saling melukai walaupun belum ada yang terbunuh.
Dari konflik antar kedua pemuda itu berkembang aromanya mulai tercium konflik tersebut diarahkan ke arah konflik antar komunitas adat. Namun tokoh adat setempat segera berinisiatif menemui sang keluarga yang bertikai untuk mencari kebenaran asal usul dan penyebab pertikaian. Setelah diketemukan, tokoh adat dari pihak yang bersalah itu kemudian mendatangi keluarga pihak yang bertikai lainnya sambil membawa “Punjung Mentah” , Punjung Mentah sebagai alat atau sarana yang harus dibawah kepada keluarga korban atau orang yang tidak bersalah dalam konflik itu, Punjung Mentah biasanya berisi kopi, gula dan beras 2 kilo. 1 ekor ayam dan sebungkus rokok.
Punjung mentah diumpamakan sebagai bentuk ungkapan penyesalan dan rasa bersalah disertai dengan permohonan maaf kepada keluarga korban.
Setelah Prosesi Punjung Mentah dilaksanakan biasanya keluarga korban merasa puas dan merasa dihormati, Prosesi Permintaan maaf lewat upacara adat Punjung Mentah pihak korban biasanya langsung menerima ungkapan maaf itu tersebut dengan lapang dada tanpa ada perasaan dendam.
Usai pemberian punjung mentah, kemudian dilanjutkan dengan tradisi tepung tawar, pemuda atau orang yang saling bertikai itu kemudian saling mengoleskan tepung tawar di badannya dilanjutkan dengan prosesi Angkan angkan, setelaah proses angkan angkan ini pihak yang bertikai tadi sudah dianggap dan menjadi bagian dari keluarga atau saudaranya sendiri. Usai melakukan tradisi punjung mentah dan tepung tawar dean angkanan konflik yang selama makin memanas itu kemudian menjadi reda dengan sendirinya.
Upaya Merawat dan Menjaganya
Setiap sistem kebudayaan sebenarnya telah memiliki cara teresendiri untuk melindungi warganya dari tindak kekerasan. Terutama di Sumatera Selatan, cara perlindungan tersebut ditemukan berbentuk norma kebiasaan maupun berupa diKtum dalam kitab Undang-Undang Simbur Cahaya, yaitu suatu sumber tertulis bagi adat istiadat yang berlaku secara efektif selama beratus-ratus tahun. Meski Simbur Cahaya saat ini sudah mulai dilupakan oleh banyak orang, kiranya masih perlu dikaji kembali sebagai suatu kearifan tradisional untuk memberi inspirasi dan memberi alternative dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan kontemporer, termasuk mengatasi masalah kekerasan.
Kalau ditelusuri lagi, tentu akan banyak kita temukan berbagai bentuk kearifan lokal masyarakat adat di Sumatera Selatan ini. Tradisi kemanusian di atas hanyalah contoh betapa masyarakat Sumatera Selatan memiliki akar budaya dalam membangun integrasi sosial melalui penghayatan dan pemahaman yang tinggi akan nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan. Nilai-nilai itu sangat inklusif karena mengajarkan dan memberi tauladan yang beradab bagaimana cara mengatasi konflik, emosi, dan nafsu kepentingan dengan jalan mengubur kekerasan dan api dendam.
Tugas selanjutnya yang lebih penting adalah bagaimana memelihara dan merawat kearifan lokal yang tertuang didalam Undang Undang Simbur Cahaya agar senantiasi hidup dan menyala di dalam hati nurani masyarakat yang ada di Sumatera Selatan. Kalau nilai nilai ini terus dipupuk, dirawat dan selalu menjadi ikhtiar dan tindakan, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau ibunya hanya karena beda agama, beda aliran politik, beda etnisitas dan aroma rasis lainnya. Juga tak akan ada lagi rumah dan harta beda yang dijarah, dan dibakar hanya karena perbedaan identitas. Kita percaya bahwa setiap konflik itu ada resolusinya. Dan para leluhur dalam hal ini Ratu Sinuhun telah memberikan peninggalan dan warisan nilai niali dalam penaganan dan mengatasi konflik ini.#