in ,

Simuntu Hiburan Idul Fitri di Gosong Telaga

APABILA melanglang buana ke Aceh Singkil, tepatnya Singkil Utara, di sana terdapat sebuah pemukiman bernama Gosong Telaga.

Di pemukiman yang terletak di ceruk pesisir Samudera Indonesia itu, apabila momentum hari raya Idul Fitri tiba, seperti sekarang, ada pagelaran seni jalanan yang telah “membumi”.

Pertunjukan seni itu, menurut amatan AceHTrend, kendati agak “asing” jika direlevansikan dengan zaman sekarang. Namun, atraksinya sangat memukau, unik, dan menarik.

Oleh warga setempat, seni hasil kreatifitas pemuda-pemudi itu, lazim disebut warga dengan nama simuntu.

Simuntu, termasuk permainan seni tradisional yang bernuansa komunal. Mirip dengan pertunjukan Halloween di Amerika Serikat.

Namun, kalau Halloween lebih mengarah pada hantu yang menyeram dan menakutkan.

Sementara simuntu merupakan pagelaran seni kreatif, kocak, dan jenaka. Sebagai pelipur lara.

Di samping menghibur warga, kegiatan simuntu di Gosong Telaga juga, dijadikan sebagai wahana pencari dana untuk membiayai kegiatan pemuda-pemudi dalam rangka memeriahkan malam-malam Idul Fitri.

Dikatakan kocak dan jenaka, karena simuntu sesuai dengan arti katanya, melakonkan peran-peran yang kontroversial dalam kehidupan, komedian. Dikemas dengan penuh canda dan tawa.

Para aktor yang terdiri pemuda-pemudi, didandani sedemikian rupa sesuai dengan ilusi hantu, menyerupai pocong atau mayat berjalan.

Tak ketinggalan, menampilkan lakon binatang yang menakutkan, seperti gorila, srigala, dan lain-lain.

Pakaian yang mereka kenakan menggunakan bahan dan aksesoris aneh.

Misalnya, terbuat dari karung bekas, kertas, kardus, dan daun-daunan kering.

Malah, ada simuntu yang didandani menyerupai ‘anak daro’ dan ‘marapule’ yang didampingi dayang-dayangnya.

Pada simuntu, juga dikenakan topeng atau wajah coreng-moreng, mak-up dibuat sedemikian rupa dengan warna-warni yang sangat kontras dan tidak biasa.

Sehingga dagelannya terkesan lucu, kocak, seram plus sosok dibalik simuntu itu menjadi asing dan susah dikenali.

***
Momentum lebaran 1438 H kali ini, pertunjukan simuntu di Gosong Telaga, dilaksana pada hari raya Idul Fitri pertama.

Seusai warga menunaikan shalat Idul Fitri, silaturahmi, dan ziarah ke makam leluhur.

Menjelang sore hari. Tepatnya pukul 15.00 WIB, mulailah terdengar suara gendang yang ditabuh bertalu-talu.

Gendang yang terbuat dari kulit sapi itu, berirama khas dengan nyanyian dan yel-yel pemicuh semangat yang tercipta dan muncul secara spontan tapi tak beranjak dari tema.

Di depan kelompok yang bergendang,  ada anak daro menaiki becak yang telah dihiasi telong-telong warna-warni.

Kemudian terpaut tak berapa jauh dari becak, ada pula “pasukan” simuntu.

Pasukan simuntu menari-nari dan beraktrasi dengan jenaka sembari mendatangi rumah-rumah warga.

Sesampai di pintu rumah warga, tuan rumah keluar dan menyerahkan atau memasukan uang pada wadah yang telah dibawa simuntu. Setelah selesai rumah yang satu, beralih ke rumah yang lain.

Kemudian rombongan dan iring-iringannya terus berjalan mengitari perkampungan sembari terus menari-menari, berjoget sesuai irama gendang yang riang dan gembira.

Sementara itu penonton terutama kaum wanita dan anak-anak berbaris berjejal di pinggir kiri-kanan jalan seraya bersorak-sorak dan tertawa menyaksikan tingkah aneh simuntu.

“Simuntu. Kue sapik. Kepengkan sajo Tek.” Ini salah satu yel-yel yang diucapkan para rombongan simuntu dan para penonton menggunakan bahasa daerah setempat.

Banyak juga kalangan anak-anak yang mengiringi rombongan simuntu sehingga jalanan penuh sesak.

Layaknya pagelaran festival karnaval memeperingati hari ulang tahun kemerdekaan.

“Saya tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan pertunjukkan ini. Ada rasa aneh, penasaran dan keunikan tersendiri. Pokoknya, simuntu sangat menghibur,” ucap Ellyati Kepala Desa Gosong Telaga Timur.

Karena petunjukan seni simuntu, sangat menghibur, memiliki semangat kebersamaan, dan tradisional, Ellyati mengajak pemuda-pemudi dan kalangan lainnya untuk membudayakan atau melestarikan pagelaran simuntu ini.

***

Setelah sampai di ujung perkampungan, menjelang senja, pasukan simuntu kembali ke pangkalan dengan memboyong uang yang telah ‘disedekahkan’  warga.

Uang itu, akan digunakan sebagai donasi kegiatan pemuda memeriahkan hari raya Idul Fitri atau malam halal bihalal yang dikemas dengan pagelaran seni.

***
Permainan seni tradisional yang konon berasal dari Minang Kabau, Sumatera Barat ini, kata Khairuman seorang tetua kampung kepada AceHTrend, sangat kaya nuansa kebersamaan dan kekompakkan.

Menurut Khairuman, simuntu seni yang sangat komunikatif, murah meriah, dan merakyat. Di situ, ada unsur kreatifitas, dorongan semangat, kejujuran, dan meransang daya cipta.

Sebab, sutradara dari simuntu ini, biasanya sebelum pertunjukan digelar, selalu menyelipkan pesan-pesan yang positif, edukatif, menggugah, dan inspiratif.

Di samping itu, simuntu efektif dalam memupus anggapan orang selama ini bahwa hantu itu ada.

Padahal hantu itu, tidak ada. Hanya khayalan belaka. Yang ada, cuma sosok wajah atau raga yang didandani sejelek mungkin sehingga sangar, seram, dan membuat orang takut.

“Dengan ada simuntu, esensi rasa takut menjadi hilang. Karena susungguhnya, hantu itu dibuat-buat atau ilusi saja. Supaya hantu terlihat jelek dan menakutkan digunakanlah pakaian dan aksesoris yang aneh-aneh. Bertopeng atau wajah dicat, dicoreng-moreng atau dilukis seseram mungkin hingga tak dikenali lagi. Padahal di balik semua itu adalah manusia,” urai Khairuman.

Berkaitan dengan itu yang jelas pagelaran simuntu sangat menghibur dan membuat suasana Idul Fitri di Gosong Telaga menjadi lebih bergairah dan semarak.

Ternyata di era teknologi digital ini dengan maraknya penggunaan internet, tak bisa dipungkiri, seni tradisional masih diminati warga.[]

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Genjot Pariwisata, Kabupaten Bolmut Terapkan Formula 3A ala Arief Yahya

Menyiram Bunga Kertas di Hari Raya Medsosiah