» Angkatan kerja yang mengalami stunting kualitasnya sulit ditingkatkan.
» Mata rantai keluarga miskin harus dipotong untuk hasilkan generasi unggul.
JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mengatakan kualitas angkatan kerja di Indonesia masih rendah. Selain faktor pendidikan dan kesehatan, penyebab rendahnya kualitas angkatan kerja itu karena pernah mengalami stunting. Stunting erat hubungannya dengan kemiskinan.
“Sekarang ini, menurut Bank Dunia, angkatan kerja Indonesia 54 persen dan itu adalah mantan stunting,” ujar Muhadjir ketika memberikan sambutan dalam webinar yang digelar Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Selasa (4/8).
Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi.
Muhadjir menuturkan angkatan kerja yang pernah mengalami stunting sulit untuk ditingkatkan kualitasnya. “Ini perlu perhatian, betapa pentingnya menyiapkan rumah tangga, keluarga yang siap demi generasi yang akan datang,” kata dia.
Muhadjir mengatakan angka stunting Indonesia saat ini berada di kisaran 27 persen dan ditargetkan turun menjadi 14 persen pada 2024. Penurunan angka stunting tersebut penting sekali agar Indonesia tidak terus melahirkan generasi yang stunting. Selain itu, kata Muhadjir, 56 persen angkatan kerja di Indonesia merupakan tamatan SMP, SD, bahkan tak tamat SD. Begitu juga dengan pengangguran yang paling rendah merupakan tamatan SD dan SMP.
“Secara formal, dia memang mendapat pekerjaan, tetapi dari segi penghasilan dan kualitas kerjanya, sebetulnya sangat rendah dan itu tidak mungkin membawa Indonesia menjadi negara maju,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Muhadjir juga menyoroti tentang jumlah rumah tangga miskin di Indonesia. Jumlah rumah tangga miskin masih tinggi. Ia mengatakan 20 persen dari rumah tangga dan rumah tangga baru miskin yang ada saat ini berasal dari keluarga rumah tangga miskin tersebut.
“Rumah tangga miskin di Indonesia itu jumlahnya masih sangat tinggi. Sesama keluarga miskin besanan, kemudian lahirlah keluarga miskin baru,” kata Muhadjir.
Oleh karena itu, kata dia, mata rantai keluarga miskin tersebut harus dipotong untuk menghasilkan generasi unggul selanjutnya. Kemiskinan juga menjadi penyebab stunting.
“Karena kemiskinan itu pada dasarnya basisnya di dalam keluarga. Saya sangat yakin stunting ini harus ditangani sungguh-sungguh, karena orang kalau sudah stunting maka kemampuan kecerdasannya sudah selesai, tidak bisa dinaikkan lagi,” kata dia.
Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 9,78 persen. Jumlah tersebut meningkat 0,56 persen poin dari persentase pada September 2019. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang dari data September 2019.
Masalah Klasik
Sementara itu, penasihat senior Indonesian Human Rights Commiittee for Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan rendahnya kualitas angkatan kerja dan tingginya jumlah rumah tangga miskin merupakan masalah klasik yang tidak pernah selesai.
“Banyak faktor yang menyebabkan masalah itu muncul, di antaranya politik anggaran yang tidak memihak kepada rakyat kecil, korupsi masih meraja lela, politik oligarki yang masih dominan dan tergerusnya APBN akibat obligasi rekap BLBI,” kata Gunawan.
Korupsi yang terjadi akibat politik oligaki, kata Gunawan, telah merusak segala sendi kehidupan dan menghancurkan peradaban bangsa ini. Karakter korupsi akibat politik oligarki sangat terorganisir dan dilakukan dengan melibatkan pejabat yang berkuasa.
“Dampaknya, sumber daya yang dimiliki negara dirampok hanya untuk memperkaya segelintir kelompok. Rakyat, tetap miskin dan sengsara. Laju pertumbuhan ekonomi melambat, dan iklim investasi yang tidak sehat,” tegas Gunawan.
Korupsi itu, kata Gunawan, membuat alokasi sumber daya jauh dari kepentingan rakyat. Sumber daya ekonomi termasuk sumber daya alam tidak digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Penguasa malah memarjinalkan kekuatan rakyat.
“Pemusatan sumber daya ekonomi berada di tangan segelintir orang yang senantiasa berupaya melanggengkan kekuasaannya dengan mencari perlindungan atau dukungan politik,” kata Gunawan. n ers/P-4