Jakarta (ANTARA) – Guru besar etika bisnis Harvard Business School, Joseph Badaracco, dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan “revolusi” dalam memberikan kuliah mengenai kepemimpinan, khususnya di dunia bisnis.
Tidak seperti guru besar bidang bisnis “ortodok” yang mengacu kepada buku-buku “standar” dalam mengajarkan kepemimpinan, Joseph Badarcco justru memilih pendekatan melalui seni. Untuk mengabarkan bagaimana pola-pola kepemimpinan terbentuk dan faktor-faktor apa saja yang melingkupinya, Joseph Badaracco meminta para mahasiswanya untuk membaca sejumlah novel dan menonton film tertentu.
Baca juga: “Nanny”, “Navalny” menangi kompetisi Festival Film Sundance 2022
Apa kaitannya antara novel-novel dan film-film itu dengan kepemimpinan? Menurut Joseph Badaracco, cerita fiktif justeru lebih dapat dijadikan alat pembelajaran yang efektif untuk dunia bisnis, khususnya kepemimpinan. Kenapa? Sebab, menurut pemahamannya, melalaui penceritaan kisah fiktif dapat jauh diandalkan untuk menyediakan gambaran mengenai pemikiran pemikiran, motivasi, karakter dan tindakan kepemimpinan.
Joseph Badaracco kemudian mengembangkan metoda ini untuk memberikan pelajaran mengenai kepemimpinan di dunia bisnis, termasuk tantangan, konflik, dilema, moralitas, keberanian serta ketepatan mengambil keputusan. Sejauh ini metoda yang diterapkannya ternyata efektif untuk mengajarkan soal kepemimpinan.
Motode Joseph Badaracco rupanya diadopsi dari kebanyakan kebudayaan di dunia, yakni bercerita menjadi alat komunikasi yang paling menarik dan paling mudah dimengerti dan dihayati untuk menyampaikan pesan atau nilai-nilai.
Kisah-kisah memberikan pelajaran penting. Hampir semua kitab suci mencantumkan kisah dalam menanamkan keyakinan. Hampir semua kebudayaan menyampaikan nilai-nilai budayanya secara turun menurun melalui dogeng, cerita atau legenda.
Baca juga: Film “Jo Sahabat Sejati” jadikan Jenderal Sudirman sebagai inspirasi
Fakta memang sesuatu yang diperlukan, tetapi jika fakta disuguhkan tanpa dukungan kisah yang tepat, bukan saja fakta terasa tandus dan tidak menarik, tetapi fakta juga justru dapat menyesatkan. Cerita atau kisah lah yang menghidupkan dan sekaligus memberikan makna terhadap fakta dan nilai-nilai, tidak kecuali di bidang kepemimpinan, termasuk bisnis.
Di sini lah kesenian, seperti sastra dan film, dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan atau kemajuan bidang lain, termasuk pendidikan bisnis dan politik. Kesadaran semacam ini sebenarnya bukan barang baru.
Di Jepang sudah sejak lama banyak perusahaan mewajibkan karyawan tingkat manajer ke atas mereka untuk menyaksikan pertunjukan teater secara rutin. Tujuannya untuk mengasah “nurani” para pemimpin perusahaan itu agar lebih peka dan memiliki kesadaran “lingkungan strategis.”
Baca juga: Menparekraf puji film “Ben & Jody”
Seni untuk kemanusiaan
Tidak seperti dibayangkan banyak seniman selama ini, bahwa kesenian hanya menarik sedikit masyarakat di luar kalangan dunia kesenian sendiri. Paling para seniman menyangka, seni hanya ditelaah dari sudut psikologi, itu pun dalam hubungannya dengan menilai atau menafsirkan karya seni itu sendiri dan bukan untuk mengembangkan pemahaman terhadap bidang lainnya. Padahal sebagaimana telah dibuktikan oleh Joseph Badarrco, kesenian dapat bermanfaat untuk memberikan pelajaran dan nilai-nilai di semua bidang, termasuk bidang kepemimpinan.
Banyak sekali karya seni yang dapat dijadikan rujukan pelajaran kepemimpinan. Untuk karya sastera, misalnya, ada buku berjudul “The Radical Leap” karya Steven Farber. Buku fiksi yang mengambil kehidupan dunia fabel ini berisi bagaimana seorang pemimpin dapat menentukan tujuan.
Ada juga buku berjudul “Things Fall Apart” karya Chinua Acbebe yang berkisah tentang anak muda pekerja keras di Afrika yang kemudian menjadi kaya raya tetapi harus berhadapan dengan nilai-nilai sukunya sekaligus nilai-nilai kulit putih. Dia harus memutuskan mana yang terbaik buat dirinya sendiri dan masyarakatnya.
Contoh di dunia film jauh lebih banyak lagi. Film “Titatic” yang populer itu menunjukkan bagaimana kepemimpinan yang terlampau ambisius dapat menjadi bencana bagi orang banyak. Film “The Last Samurai” menunjukkan jenis kepemimpinan menghargai nilai-nilai sakral, moralitas dan keberanian. Simak juga film “Evita Peron” yang sebaliknya karena latar belakang yang kelam akhirnya Sang Pemimpin menghalalkan segala cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Di Indonesia ada film Matahari-Matahari (sebelumnya berjudul Koruptor-Koruptor tetapi karena dilarang Lembaga Sensor Film judulnya harus diubah) karya Arifin C Noor yang melukiskan sulitnya seorang tokoh masyarakat membebaskan diri dari masyarakatnya yang korup.
Contoh yang paling baru film “Sang Pencerah” karya Hanung Bramantyo yang ingin menunjukkan seorang pemimpin seringkali harus mengubah tantangan lingkungan sendiri dulu sebelum mampu menjadi pemimpin yang besar.
Semua itu menunjukkan seni tidak mungkin lagi hanya didukung dengan ukuran-ukuran seni saja. Seni telah menembus koridor-koridor sosial yang selama ini dijadikan sekat pembatas oleh senimannya sendiri.
Dengan terbuka dan tersambungnya karya seni ke berbagai bidang lainnya, pada akhirnya manfaat seni adalah untuk kemanusiaan. Seni memanusiakan manusia. Tidak terkecuali semi juga bermanfaat untuk pendidikan kepemimpinan.
Menghargai karya
Pemanfaatan seni untuk memberikan pelajaran terhadap kepemimpinan hanya mungkin diperoleh dari karya seni berrmutu tinggi saja. “Seni” murahan atau yang bermutu rendah tidak dapat dijadikan rujukan oleh bidang-bidang lain karena tidak memberikan kemanfaatan apa-apa.
Semakin bermutu tinggi suatu karya seni semakin bermanfaat bagi bidang lain, sehingga juga semakin dihargai dan diberikan apresiasi. Sebaliknya semakin rendah atau semakin tidak bermutu sebuah karya seni juga semakin tidak dihargai dan tidak diapresiasi oleh bidang lain.
Fakta ini membawa kita kepada pemahaman, masalah estetika sebuah karya seni tidak lagi melulu hanya terkait dengan bidang seni itu sendiri saja, tetapi juga memberikan pengaruh melebar kepada banyak bidang lainnya. Seniman manakala berkarya tentu s hanya fokus memikirkan bidangnya saja. Bagi seniman yang penting bagaimana dia menghasilkan karya yang bermutu.
Baca juga: Bioskop Tiket Inspire ramaikan platform streaming sinema
Di luar itu bukanlah menjadi tanggung jawabnya, walaupun karya itu sendiri kemungkinan dipengaruhi juga oleh lingkungannya. Justeru lewat proses semacam ini seniman perlu punya wawasan bahwa pencapaian estetika di bidangnya pada akhirnya juga mengangkat harkat martabat kemanusiaan di bidang lainnya. Dengan begitu seniman dalam diri dan jiwanya dituntut untuk lebih “bertanggung” terhadap karyanya sendiri.
Semakin bermutu suatu karya semakin tinggi pula nilai kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah suatu karya seni semakin rendah pula nilai kemanusiaannya. Karya seni yang tidak bermutu hampir tidak mengandung nilai kemanusiaan. Itu lah sebabnya seniman sejati selalu berupaya melahirkan karya – karya bermutu.
Melihat keadaan bangsa kita saat ini, walaupun harus diakui begitu banyak kemajuan yang telah tercapai, tetapi tak dapat pula dipungkiri masih banyak kekurangan yang laten dan langkanya kepemimpinan yang otentik. Nah, jangan-jangan carut marut bangsa Indonesia dan kurangnya kepemimpinan yang hebat hampir di semua sektor dan semua bidang, termasuk bidang bisnis dan politik, antara lain juga memang disebabkan kurangnya karya seni Indonesia yang bermutu!!*
Baca juga: “Penyalin Cahaya” masuk Top 10 Netflix global
Baca juga: Film seri “Oki dan Nirmala” dijadwalkan tayang pada 2023
Baca juga: Mengenal karakter dalam “Virgin The Series”
Oleh Wina Armada Sukardi
COPYRIGHT © ANTARA 2022