in

Surau Sedekah

Saya memaknai kalimat Allah yam haqullahur riba wayurbi sadoqaati (Al Baqarah 276) sebagai sebuah petunjuk bahwa ekonomi berbasis riba akan hancur dan sebaliknya ekonomi berbasis sedekah akan tumbuh dengan subur. Secara logika apa yang dikatakan Allah sangat dapat diterima. Ekonomi berbasis riba cenderung menghisap, sehingga suatu ketika kemampuan ekonomi masyarakat akan menurun. Disitulah akan muncul kehancuran.

Kehancuran itu sudah terjadi, dibuktikan dengan banyaknya orang miskin atau terus-menerus berada di ambang kemiskinan. 
Mereka yang mendekati miskin hidup pas-pasan saja, dengan sedikit tabungan—bahkan ada yang dililit utang—dan tidak mampu membeli secara tunai benda-benda yang dibutuhkan rumah tangga. 

Di pihak lain ada sekelompok kecil orang yang menguasai sumber daya ekonomi dalam jumlah yang luar biasa. Mereka bukan main kayanya. Mereka mampu membeli apa saja, termasuk kekuasaan yang dimiliki pejabat negara. Semua itu akibat penghisapan yang ditopang oleh sistem riba. 

Ketimpangan ekonomi yang hebat ini tidak lain karena umat Islam tidak punya kemampuan mengoptimalisasi sedekah. Tidak pula mampu membangun ekonomi berbasis sedekah. Padahal kalau firman Allah ditindaklanjuti dengan mengonstruksi sistem ekonomi berbasis sedekah umat Islam akan dapat keluar dari masalah ekonomi yang menderanya. 

Saya juga memaknai kalimat Allah yam haqullahur riba wayurbi sadoqaati sebagai petunjuk bagaimana menghancurkan ekonomi berbasis riba. Caranya, dengan sedekah. Bukan dengan zakat (sehingga Allah tidak mengatakan wayurbi zakaati ) atau infak yang utama. 

Alasannya karena sedekah punya makna yang lebih luas daripada zakat. Sedekah tidak musti berupa uang atau benda-benda berharga. Perkataan yang baik, senyuman, nasihat kepada kebaikan dan sumbangan tenaga dapat juga menjadi sedekah. Sepanjang semuanya diberikan sebagai bukti keimanan kepada Allah, maka ia menjadi sedekah.

Dalam memerangi ekonomi berbasis riba tidak cukup hanya dengan bermodalkan uang, tapi harus menghimpun modal-modal lain seperti modal sosial, modal kultural dan modal ilmu pengetahuan. Semua bentuk sedekah diperlukan dalam memerangi ekonomi berbasis riba.

Penerima sedekah tidak pula dibatasi hanya kepada orang miskin. Sedekah dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang bergerak untuk jihad dalam berbagai bidang: pendidikan, kesehatan, keamanan, keadilan, sampai pada gerakan yang bertujuan memerangi riba.

Tidak demikian dengan zakat. Penerimanya sudah ditentukan (At Taubah 60). Zakat pun hanya berupa materi (uang, emas, bahan makanan), tidak termasuk jasa dan ucapan-ucapan yang baik.

Sedekah ke Masjid

Akhir-akhir ini ada kecenderungan mereduksi makna sedekah menjadi pemberian ala kadarnya kepada pengemis. Bagaimana mungkin pemberian berupa uang recehan dengan jumlah sangat sedikit akan mampu memerangi sistem ekonomi riba? 

Dalam prakteknya, pemberian sedekah ke mesjid masih terus dilaksanakan. Tapi ada kecenderungan istilahnya bergeser dari sedekah menjadi infak. Perubahan istilah tentu membawa akibat perubahan konsep, dan perubahan konsep disusul oleh perubahan makna. Infak mempunyai makna yang tidak sekuat sedekah dalam konteks perang melawan ekonomi riba. Masalahnya, infak juga dapat dimaknai sebagai pemberian yang buruk, yang bertentangan dengan kehendak Allah.

Dengan demikian, mestinya istilah bersedekah ke masjid dikembalikan dan dipopulerkan. Di samping itu, umat Islam juga diberi pengertian untuk apa mereka bersedekah ke masjid. Perlu ditekankan bahwa bersedekah ke masjid bukan berarti bersedekah untuk pengurus masjid atau membangun masjid saja, tapi bermakna lebih luas dari itu. Masjid dapat menggunakan sedekah jamaah untuk membantu anak yatim, fakir miskin, atau janda-janda tua terlantar.

Surau Sedekah

Peran masjid sebagai penerima sedekah sudah berlangsung sangat lama: sejak masjid mulai dibangun di muka bumi. Tapi sedekah yang diterima lebih diutamakan untuk membangun fisik masjid atau merenovasi bagian masjid yang rusak. Di banyak tempat orang berlomba-lomba mempercantik masjidnya. Setelah masjid berdiri dan dianggap layak untuk beribadah barulah sedekah diarahkan untuk keperluan jamaah yang patut menerima.

Tidak ada yang salah dari pengumpulan sedekah untuk membangun masjid. Sebab, bangunan masjid memang hasil jerih payah umat secara kolektif. Namun, pengelolaan sedekah setelah masjid selesai jarang didiskusikan secara serius. Sedekah ke masjid yang jumlahnya sangat besar (kalau digabungkan) ternyata tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi riba. Umat Islam tetap saja terbelit oleh sistem riba yang hanya menguntungkan sekelompok kecil manusia. Sistem itu malah semakin hari semakin kuat menjepit kehidupan umat Islam.

Ke depan, kita perlu serius memikirkan pengelolaan sedekah ini. Sedekah harus menjadi sumber kekuatan ekonomi umat, tidak hanya dihabiskan untuk konsumsi. Dengan uang sedekah umat dapat membangun usaha produktif tanpa riba yang akhirnya akan mengurangi kemiskinan.

Agar sedekah benar-benar terkelola dengan baik saya mengusulkan agar dilakukan pemisahan manajemen masjid dengan manajemen sedekah. Setiap masjid dapat membentuk lembaga khusus yang saya beri nama Surau Sedekah. Pengelolanya orang khusus, kalau dapat tidak merangkap sebagai pengurus masjid. Mereka harus mempunyai skill pengelolaan keuangan yang bersumber dari Quran dan Hadis.

Apabila setiap masjid punya Surau Sedekah dalam waktu singkat insyaAllah umat Islam tidak lagi menggantungkan diri kepada bank-bank riba. Mereka dapat mencari pinjaman modal usaha ke Surau-surau Sedekah di masjid di lingkungan tempat tinggal mereka. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kompetisi Pertama, Persebaya Juara

Andre: Prabowo Bisa Kalahkan Jokowi