Oleh: Dudy Oskandar, Jurnalis
SEBELUM tumbuh besar kerajaan di Jawa yang bisa menyaingi Kerajaan Sriwijaya, telah ada sebuah keluarga penguasa bernama Syailendra.
Syailendra hampir selalu meninggalkan prasasti dalam 3 bahasa, Melayu Kuno, Jawa Kuno dan Sanskrit. Tidak jelas apa kerajaannya, tapi bila sebuah nama dipahatkan pada sebuah prasasti pada zaman itu, jelas mereka bukan orang sembarang. Dan Syailendra sendiri dalam bahasa Sanskrit berarti Raja di atas Gunung.
Pada abad ke-8, berdasarkan prasasti Sojomerto (bertarikh 725) yang ditemukan di Batang, Jawa Tengah dan di Ligor, Malaysia (bertarikh 775) ada sebuah keluarga bernama Syailendra. Bisa jadi Syailendra adalah nama sebuah dinasti bangsawan. Prasasti Syailendra paling tua yang ditemukan ada di Batang, Jawa Tengah, sehingga banyak pakar berpendapat, Syailendra adalah keluarga dari Jawa.
Tapi hampir semua prasasti peninggalan Syailendra menggunakan tiga bahasa, Melayu kuno, Jawa kuno dan Sanskrit, padahal, berdasarkan prasasti Kedukan Bukit, Sriwijaya baru mulai ekspansinya setengah abad sebelumnya (682) dan belum mencapai Jawa. Kalau Syailendra adalah sebuah dinasti yang tumbuh dari Jawa, maka seharusnya mereka tidak perlu bersusah payah membuat prasasti dalam tiga bahasa.
Pakar sejarah dari India berkata bahwa Syailendra adalah keluarga bangsawan dari Kerajaan Kalingga di India kemudian hijrah ke Suvarnadvipa (Palembang, Sumatra) dan menetap di sana.
Mereka akhirnya harus hijrah lagi ke Jawa setelah mendapat tekanan dari Sriwijaya yang semakin kuat. Itulah mengapa mereka selalu meninggalkan catatan dalam tiga bahasa, karena tidak semua keluarga mereka ikut hijrah pada saat mereka berpindah dari India ke Sumatra (Palembang), lalu dari Sumatra (Palembang) ke Jawa.
Hubungan erat Syailendra dengan kerajaan-kerajaan di Sumatra dan Jawa terlihat dari prasasti Mantyasih yang menuliskan bahwa Samaragrawira dari keluarga Syailendra ini menjadi raja di Medang, dan Samaragrawira lalu menikahi Dewi Tara, putri dari Maharaja Sriwijaya, Dharmasetu.
Satu lagi keunikan prasasti Syailendra, pada awalnya mereka menunjukkan bahwa mereka beragama Hindu, tapi setelah itu terlihat bahwa mereka telah beralih menganut agama Buddha (Sriwijaya dan mayoritas orang Sumatra waktu itu juga telah beralih beragama Buddha). Ini juga menjadi unik, karena anak-anak Syailendra pernah menjadi raja di kerajaan Medang yang merupakan kerajaan Hindu, sebagian besar orang Jawa waktu itu beragama Hindu.
Salah satu bukti bahwa Syailendra akhirnya menjadi penganut Buddha adalah Candi Borobudur.
Pada prasasti di Nalanda, India yang bertarikh 860, disebutkan bahwa salah satu anggota keluarga Syailendra, yaitu Balaputradewa, anak bungsu dari Samaragrawira telah menjadi Maharaja Sriwijaya, dan memerintahkan membangun biara di Nalanda. Dan Syailendra telah terusir dari Jawa, sebagaimana dituliskan dalam prasasti Syiwagraha yang ditemukan dalam kompleks Candi Prambanan, bahwa Balaputradewa yang ditinggal wafat oleh ayahnya ketika masih kecil, harus menjadi raja dalam usia sangat muda.
Usia yang demikian belia memancing pemberontakan dari para penguasa lokal (para Rakai, local warlord), dan Balaputradewa tidak dapat bertahan. Mulai dari sini, muncul dinasti baru di Jawa bernama dinasti Sanjaya dan mulai memerintah Kerajaan Medang hingga tahun-tahun berikutnya.
Srivijaya sepertinya tidak pernah lagi menyentuh Jawa sejak terusirnya Balaputradewa hingga masa kepindahan ibukota Medang ke bagian timur pulau Jawa.
Tahun 929, dengan sebab yang belum diketahui, kerajaan Medang memindahkan pusat pemerintahan dari tengah pulau Jawa, sekitar Yogyakarta sekarang, ke Watugaluh (sekitar wilayah Jombang sekarang). Bisa jadi karena Sriwijaya mulai hadir kembali di Jawa atau karena bencana alam (mungkin letusan Gunung Merapi).
Pada prasasti bertarikh 937, disebut bahwa raja Medang memberi hadiah kepada Mpu Sindok karena dia dan pengikutnya telah membantu tentara kerajaan untuk menggagalkan serangan dari Sriwijaya di bagian timur pulau Jawa (yang saat itu telah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Medang).
Pada periode ini, para pakar sejarah mengatakan bahwa pemerintahan dinasti Sanjaya dianggap sudah berakhir dan muncul dinasti baru, dimulai dari Mpu Sindok, yaitu dinasti Isyana.
Sementara di Sriwijaya, dinasti Syailendra masih terus memimpin hingga tahun 1025 ketika serangan Kerajaan Chola dari India menghancurkan ibukota Sriwijaya di Palembang dan Maharaja Sangrama Vijayatunggavarman ditawan oleh Rajendra Choladewa I.
Tapi hubungan Chola dan Sriwijaya tidak sederhana sebagai sebuah hubungan antara kerajaan penakluk dan kerajaan taklukan.
Ini terlihat dari duta yang dikirim Sriwijaya ke Cina pada tahun 1067 adalah orang Tamil dari Chola bernama Divakara. Dan pada tahun 1068, Chola menyerang Kedah atas permintaan Sriwijaya karena Kedah melakukan pemberontakan pada kekuasaan Sriwijaya. Dan setelah itu, keponakan dari raja Chola, yaitu Kulothunga Chola menjadi raja Sriwijaya. Setelah masa ini sepertinya kekuatan Sriwijaya sudah pulih, walau tidak lagi sebesar dulu dan pusat kekuasaan pindah ke Jambi. Dan dinasti yang memerintah saat itu bukan lagi Syailendra tapi dinasti Mauli, sebagaimana dituliskan dalam prasasti Grahi/Krabi berbahasa Khmer dengan abjad Pallava Sumatra, yang ditemukan di Chaiya, Thailand Selatan. Prasasti ini berisi perintah Maharaja Sriwijaya, Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Varmadewa kepada penguasa setempat untuk membangun pantung Buddha.
Sumber:
Masatoshi Iguchi (2014) [2013]. Java Essay: Sejarah dan Budaya Negara Selatan