Oleh : Albar S Subari SH SU (Ketua
Pembina Adat Sumatera Selatan)
Tanah dalam sistem hukum adat mendapat tempat istimewa, karena tidak hanya dipandang sebagai benda dalam arti materil.
Hak pertuanan (beschikkingsrecht) atas tanah misalnya juga membebankan tanggung jawab berupa menyerahkan bagian tanah tertentu untuk kepentingan sosial (Ter Haar: 1981).Hak hak individu atas tanah senantiasa diletakkan dalam kerangka persekutuan hukum.
Demikian pula halnya mengenai tanah terlantar. Perbuatan menelantarkan tanah dalam sistem hukum adat sebagai perbuatan a sosial, yang dapat mengakibatkan hilangnya hak seseorang atas sebidang tanah.
Seorang warga persekutuan hukum berhak untuk membuka tanah ( ontginningsrecht) dan akhirnya menjadi pemilik atas tanah tersebut .Tetapi jika tanah itu ditinggalkan tidak diurus lagi selama bertahun tahun, maka hak mikik itu menjadi hilang dan tanah kembali dikuasai oleh persekutuan hukum (Soekanto:1981).
Ada risalah yang diuraikan Ter Haar mengenai hubungan timbal balik antara hak pertuanan dengan hak perorangan atas tanah. Dalam risalah itu dikemukakan, bahwa makin kuat anggota masyarakat memperdalam hubungan dengan tanah dengan mengolah tanah yang diliputi ” beschikkingsrecht” makin kuat lah haknya atas tanah tersebut, dan hak pertuanan pun makib lemah. Tetapi bilamana hubungan perseorangan itu berkurang, karena diabaikan (ditelantarkan) terus menerus maka lambat laun pulih kembali hak pertuanan (hak masyarakat) dengan tiada gangguan (Ter Haar: 1981).
Selain kriteria pembatasan wat, juga dalam sistem hukum adat ditemukan kriteria yang lain menetapkan suatu bidang tanah telah terlanu, yaitu: 1.sawah,hak milik atasnya akan tinggal jina dibiarkan tak tergarap sehingga pematangnya rusak. 2. tebat atau empang yang merupakan tempat pemeliharaan ikan, hak milik atasnya akan tanggal bila airnya sudah kering dan tebat tadi tertimbun dengan tanah sehingga merata. 3. pekarangan rumah, hak milik atasnya akan tanggal apabila pemiliknya tidak dapat membuktikan batas batas dari pekarangan itu lagi, 4. kebun tanaman muda, hak milik atasnya akan tanggal apabila tumbuh tumbuhan diatasnya tidak terpelihara lagi, sedang pada kebun tanaman tua, hak milik atasnya menjadi hapus, tetapi hak milik atas tumbuh tumbuhan masih diakui (Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko:1983).
Kriteria pembatasan waktu dalam sistem hukum adat, tampaknya dikaitkan dengan keadaan nyata dari tanah tersebut. Jadi yang dikategorikan sebagai tanah telantar menurut hukum adat ialah tanah dibiarkan tidak digarap selama jangka tertentu, sehingga tanah menjadi belukar kembali tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. Tanah yang demikian itu, kemudian diambil dan dikuasai oleh persekutuan hukum untuk diatur rencana pemanfaatan selanjutnya.
Aturan semacam ini juga diatur didalam persekutuan masyarakat hukum adat yang berada diwilayah uluan Sumatera Selatan yang ditindak lanjuti dalam kompilasi adat istiadat dalam simbur cahaya dalam aturan berladang.
Perspektif hukum adat didalam mengatur tanah terlantar seperti diatas tadi masih relevan untuk diadopsi didalam merevisi undang undang agraria. Dimana negara sebagai pengatur dan pengawas pelaksanaan pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Yang dalam istilah Prof Dr. Sunarjati Hartono, SH negara sebagai pemegang hak pertuanan tertinggi.#