» Anggaran tahun depan menekankan pemberian insentif untuk mendorong pemulihan.
JAKARTA – Presiden Joko Widodo pada Jumat (14/8) menyampaikan nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2021 dalam rapat paripurna DPR. Dalam RAPBN tersebut, pemerintah mengusulkan asumsi makro seperti pertumbuhan ekonomi berkisar 4,5–5,5 persen, inflasi 3 persen, nilai tukar rupiah 14.600 per dollar AS dan defisit anggaran 5,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Kepala Negara, ketidakpastian perekonomian global pada 2020 masih berlanjut pada 2021, sehingga pemerintah memperlebar defisit menjadi 971,2 triliun rupiah yang ditujukan untuk program pemulihan ekonomi dan reformasi di berbagai bidang.
“Pelebaran defisit dilakukan mengingat kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan dan perekonomian meningkat pada saat pendapatan negara mengalami penurunan,” kata Presiden.
Relaksasi defisit pada tahun ini masih dibutuhkan pada tahun depan dengan tetap menjaga kehati-hatian, kredibilitas, dan kesinambungan fiskal. RAPBN 2021 sendiri akan diarahkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, saat menjelaskan postur RAPBN 2021 mengatakan pendapatan negara ditargetkan sebesar 1.776,36 triliun rupiah yang terdiri dari pendapatan pajak dalam negeri 1.446,98 triliun rupiah dan pendapatan pajak perdagangan internasional 34,96 triliun rupiah, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 293,51 triliun rupiah dan hibah 902,81 miliar rupiah. Perpajakan tumbuh 5,5 persen dibandingkan tahun ini, PNBP negatif 0,2 persen dan hibah tumbuh 30,6 persen.
“Pertumbuhan penerimaan negara dibuat tidak terlalu tinggi karena kita masih akan lebih memberikan penekanan pada insentif dan mendorong pemulihan,” kata Menkeu.
Sedangkan untuk belanja negara ditargetkan sebesar 2.747,52 triliun rupiah yang terdiri dari belanja pemerintah pusat 1.951,26 triliun rupiah dan transfer ke daerah serta dana desa sebesar 796,26 triliun rupiah. Belanja pemerintah pusat, jelas Menkeu, meliputi belanja kementerian/ lembaga 1.029,9 triliun rupiah dan belanja non-kementerian/lembaga 921,4 triliun rupiah.
Sedangkan transfer dana ke daerah sebesar 724,26 triliun dan dana desa 72 triliun rupiah. Untuk transfer ke daerah digunakan sebagai dana transfer umum 493,03 triliun dan dana transfer khusus 196,42 triliun rupiah.
Makin Sempit
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B Hirawan, yang diminta tanggapannya, mengatakan untuk target pertumbuhan ekonomi 4,5–5,5 persen dinilai kurang realistis. Sekalipun ekonomi sudah mulai pulih, namun paling realistis di kisaran 3–4 persen. “Jika ada Covid-19 gelombang kedua, mungkin paling maksimal 3 persen,” kata Fajar.
Dibanding krisis sebelumnya pada krisis moneter 1998 di mana ekonomi berkontraksi 13,13 persen, setelah itu atau pada 1999 hanya mampu tumbuh 0,79 persen. Begitu pula saat krisis global 2008, ekonomi Indonesia tumbuh 6,01 persen, lalu turun jadi 4,5 persen pada 2009 dan kembali naik menjadi 6,22 persen pada 2010. Untuk defisit anggaran, Fajar menilai proyeksi 5,5 persen pada 2021 cukup wajar karena pemerintah masih berjibaku dengan pemulihan ekonomi.
Dihubungi terpisah, Ekonom Universitas Kebangsaan RI, Bandung, Eric Sugandi, mengatakan dengan defisit tersebut, semakin membuat ruang fiskal pemerintah tahun depan kian sempit karena sudah menambah utang dalam jumlah besar tahun ini. “Skema burden sharing dengan BI membantu pemerintah amankan defisit tahun ini. Skema itu tidak lagi dipakai tahun depan,” kata Eric. n uyo/yni/E-9