Paling Tinggi dalam Dua Tahun Terakhir
Kenaikan tarif listrik telah memicu inflasi Februari. Penurunan sejumlah harga-harga bahan makanan (volatile foods) belum bisa mengompensasi lonjakan harga-harga yang diatur pemerintah atau administered price. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis inflasi bulan lalu (month-to-month/mtm) sebesar 0,23 persen.
“Berdasar inflasi 0,23 persen itu, penyebabnya adalah administered price dengan inflasi 0,58 persen. Sementara itu, volatile foods yang termasuk bahan makanan mengalami deflasi 0,36 persen,” papar Kepala BPS Kecuk Suhariyanto di gedung BPS, Jakarta, kemarin.
Secara year-on-year, inflasi mencapai 3,83 persen. Sementara itu, inflasi tahun kalender (Januari–Februari) mencapai 1,21 persen. Dari kelompok pengeluaran, lanjut dia, kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar menjadi penyumbang terbesar inflasi Februari.
“Andilnya mencapai 0,17 persen. Perinciannya, inflasi disebabkan penyesuaian subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA. Kami lihat efeknya pada Januari dan Februari ini untuk pelanggan yang membayar dengan pascabayar,” bebernya.
Kecuk melanjutkan, kelompok pengeluaran lain yang berkontribusi terhadap inflasi adalah makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau dengan andil inflasi 0,07 persen.
Penyebab utama kelompok tersebut adalah rokok keretek. Kemudian, kelompok sandang menyumbang inflasi 0,03 persen. Yakni, kenaikan terbesar terdapat pada harga emas dan perhiasan.
Selanjutnya, kata dia, disusul kelompok transportasi dan komunikasi dengan andil 0,03 persen. Yakni, kenaikan tarif pulsa ponsel menjadi pemicu utama dengan peran 0,05 persen.
“Kenaikan tersebut berlaku untuk tarif dasar internet, voice, maupun SMS. Sementara itu, yang menahan (inflasi) adalah turunnya tiket angkutan udara,” paparnya.
Kelompok bahan makanan (volatile foods) justru mengalami deflasi 0,31 persen. Meski ada kenaikan beberapa komoditas seperti cabai rawit dan bawang merah, komoditas lainnya justru turun.
Di antaranya, cabai merah, daging ayam, telur ayam, dan beras. Menurut dia, hal tersebut menunjukkan bahwa harga bahan makanan sangat terkendali. Bahkan, bencana banjir yang sempat melanda beberapa wilayah di Indonesia tidak berpengaruh besar terhadap harga komoditas pangan.
Meski begitu, jika dibandingkan dengan dua tahun terakhir, inflasi Februari terbilang tinggi. Pada Februari tahun lalu, terjadi deflasi 0,09 persen. Sementara itu, pada Februari 2015, deflasi mencapai 0,3 persen.
“Tapi, bila dibandingkan dengan Februari 2014 dan 2013, Februari ini masih lebih rendah. Ya, kami berharap inflasi 2017 tetap terkendali seperti yang diraih selama 2016,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, dampak kenaikan tarif listrik 900 VA sebetulnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan pengaruh kenaikan harga BBM. “Memang dibikin floating. Tapi, sepertinya, dampak kenaikannya tidak terlalu besar,” ujarnya.
Dia menambahkan, komponen listrik pada pengeluaran masyarakat cukup minim. Kontribusinya tidak sebesar kontribusi BBM pada pengeluaran masyarakat sehari-hari.
“Sebetulnya dampak lebih dirasakan pada harga barang dan jasa yang diproduksikan dari listrik sebagai sumber energi. Jadi, sektor industri diprediksi lebih terdampak kenaikan tarif tersebut,” terangnya.
Jika ada kenaikan harga barang karena tarif listrik, Komaidi memperkirakan hal itu disebabkan ekspektasi konsumen yang berlebihan. “Yang satu ini menjadi tugas pemerintah untuk menjaga agar ekspektasi masyarakat tetap baik dan tidak berlebihan,” pungkasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.