Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini mengeluarkan perintah eksekutif yang membatasi laju pengungsi ke Amerika Serikat. Persisnya, pengungsi dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya Islam: Irak, Iran, Suriah, Sudan, Libya, Somalia dan Yaman. Argumen utama Trump adalah mencegah masuknya kelompok militan ke Amerika. Warga dari tujuh negara itu dinilai berpotensi mendatangkan bahaya keamanan nasional bagi Amerika Serikat.
Perintah eksekutif itu langsung mendapat kecaman dari dalam dan luar negeri. Apa yang dilakukan Trump mencerminkan Islamofobia – ketakutan berlebihan dan tak beralasan terhadap Islam. Di mata Trump, Islam dan kelompok Muslim adalah kelompok yang ‘berbeda’, karenanya perlu diberikan perlakuan yang berbeda pula.
Di Indonesia, ketakutan berlebihan terhadap suatu kelompok yang dianggap berbeda juga membawa korban. Setara Institute kemarin merilis, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) menjadi kelompok yang paling banyak jadi korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2016 lalu. Gafatar dianggap kelompok sesat, lantas jadi sasaran pengusiran warga di Kalimantan Barat. Selain Gafatar, kelompok Ahmadiyah dan Syiah juga dianggap berbeda, lantas jadi sasaran kekerasan.
Catatan Setara Institute bukan satu-satunya teguran bagi keberagaman kita. Mereka yang dianggap terkait dengan komunis juga sudah lama jadi ‘bulan-bulanan’ diskriminasi di negara ini. Atau juga kelompok LGBT. Pijakan berpikirnya sama: dianggap berbeda, lantas perbedaan itu dianggap sebagai pembenaran atas perlakuan yang berbeda pula.
Perbedaan adalah sesuatu yang alamiah, namun kadang tak mudah dilakoni. Butuh hati yang besar, juga pemerintah yang berdiri di atas semua golongan untuk memastikan setiap orang mendapat haknya. Kita tak ingin Indonesia mengkotak-kotakkan manusianya sesuai perbedaan masing-masing. Kita justru jadi kaya karena beragam.