in

Teologi Antikorupsi

Kasus e-KTP semakin menambah deretan panjang elit publik dan pejabat negara yang tersangkut korupsi. Sejumlah tokoh dari lintas agama, partai, dan daerah, terseret pada pusaran hukum yang oleh sebagian pihak dinilai seperti gunung es. Fenomena ini semakin memperkuat dugaan korupsi cenderung telah membudaya, sehingga kalangan tertentu menilainya sebagai hal lumrah.

Menurut Robert Klitgaard seperti dikutip ICW, budaya korupsi bukanlah berarti setiap orang melakukan tindakan korup, tetapi hampir setiap orang enggan melaporkan korupsi. Survei UNDP beberapa tahun lalu yang dikutip ICW menunjukkan, dari 40 % responden yang melihat korupsi, hanya kurang dari 10 % yang melaporkannya. Ironisnya, korupsi di sektor publik sudah dianggap sangat lazim oleh 75 % responden, bahkan 65 % di antaranya ikut serta dalam praktek persekongkolan jahat tersebut.

Data di atas bisa jadi menjadi dalil sulitnya memberantas korupsi. Onghokham dalam “Tradisi dan Korupsi” (1983), seperti dikutip Uhar, menyebut bahwa dalam konteks Indonesia, korupsi mempunyai akar historis yang cukup kuat di masyarakat. Ternyata korupsi sudah ada  sejak zaman kerajaan melalui venality of power, semacam jual beli kedudukan dengan imbalan hak pemungutan pajak tanpa kontrol hukum yang mengakibatkan abuse of power. Meski begitu, menurut catatan ICW, beberapa tahun terakhir masyarakat makin kritis dan menyadari korupsi sebagai penyakit kronik dan berbahaya, sehingga mulai berpartisipasi dalam berbagai gerakan anti korupsi.

Dari sekian banyak anomali yang melingkari kasus korupsi, model konstruksi teologis pelaku korupsi patut dipersoalkan. Seperti apa konsep dosa korupsi dalam bangunan teologis pelaku, sehingga begitu mudah perilaku bejat ini dilakukan. Soal ini sangat mendasar, mengingat prediket moralis dan religius melekat pada bangsa ini. Riaz Hassan bahkan dalam penelitiannya Faithlines: Muslim Conseption of Islam and Society (Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim) di tahun 2001 lalu, menempatkan muslim Indonesia pada peringkat tinggi dalam keimanan dan kesalehan.

Bahkan posisi tertinggi dalam implikasi atau dampak kepercayaan agama terhadap cara pandang dunia (worldview) dibanding Mesir, Pakistan, dan Kazakhstan. Data ini ternyata berbanding terbalik dengan indeks persepsi korupsi (corruption perception index) tingkat dunia yang selalu menempatkan Indonesia di peringkat bawah. Lembaga Transparency International (TI) misalnya, merilis data yang dikeluarkan pada 2016 yang menempatkan Indonesia pada posisi 88 dari 168 negara yang diamati.

Rekonstruksi Teologis

Secara umum, terma teologi memang lebih berkonotasi kepada relasi antara Tuhan dan manusia. Karena itu teologi sangat bernuansa teosentris meski menjadi basis aktivitas individual dan sosial. Menurut alm. Cak Nur, pemahaman seperti ini berbahaya karena bisa berakibat pemerosotan harkat martabat kemanusiaan. Teologi semata teosentris tidak bisa menjawab problem riil, bahkan berpotensi menindas nilai-nilai humanitas atas nama Tuhan.

Karenanya butuh teologi bernuansa antroposentris, semacam upaya cerdas “memanusiakan teologi dan menteologikan manusia”. Sederhananya, teologi yang mewujud dalam keseharian individu yang berketuhanan dan berperikemanusiaan. Paradigma teologis tidak semata vertikal kepada Tuhan, namun juga horizontal kemanusiaan. Orientasi teologis tidak sekedar eskatologis, tetapi juga sosiologis sehingga ber-impact pada penyikapan terhadap realitas empiris.

Sebagai perilaku menyimpang dari nilai dan kebaikan universal, Komarudin Hidayat (2014), melihat perlunya dasar normatif dan logika keagamaan untuk memasukkan korupsi pada kategori dosa dan kejahatan besar. Menurutnya, pelaku korupsi melawan tiga pihak secara simultan. Pertama, melawan Tuhan yang memerintahkan tidak merugikan hamba-Nya dan menghendaki hidup bersih terhormat.

Pada tataran ini korupsi sebagai dosa teologis. Kedua, melawan kemanusiaan, merugikan dan mengambil hak dengan cara yang tidak dikehendaki pemiliknya, sehingga bermakna dosa kemanusiaan. Ketiga, melawan etika dan tatanan sosial yang bisa mendatangkan kerusakan lebih besar, karenanya menjadi dosa sosial dan politik.

Konsekuensinya menurut Komar, pertobatan dosa korupsi tidak bisa diselesaikan secara vertikal dengan ibadah ritual, tetapi disertai penyelesaian horizontal dengan pengembalian hasil korupsi kepada masyarakat dan negara. Hal ini relevan dengan konsep dosa besar berdimensi kemanusiaan dalam Islam, bahwa ampunan dosa hanya diperoleh pasca korban memaafkan kejahatan.

Lantaran menyangkut hak publik dan negara, maka penyelesaian horizontal sangat sulit bahkan absurd untuk dilakukan, mengingat besarnya jumlah masyarakat yang harus dimintai kemaafan. Pada aspek dosa kemanusiaan dan sosial politik inilah mestinya efek jera teologis bisa dijadikan argumen preventif untuk menjauhi sekaligus memerangi korupsi. Pemahaman dosa korupsi semata aspek vertikal yang bisa diputihkan dengan ritual, adalah kekeliruan teologis yang justru bisa menyuburkan korupsi. 

Sekali lagi dari sisi teologis, selain rekonstruksi yang lebih antroposentris, juga sangat diperlukan berbagai argumen konsekuensi korupsi yang tidak hanya berdimensi vertikal ketuhanan, tetapi juga horizontal kemanusiaan. Kisah Nabi Muhammad SAW yang minta di-qisas sendiri oleh ‘Ukasyah (riwayat lain mengatakan Usaid bin Hudhair), menunjukkan bahwa kesalahan interpersonal dan komunal, tidak bisa dihapus begitu saja dengan amal apapun, kecuali ada ampunan dari korban yang dirugikan. Dosa korupsi harta negara misalnya, meski bolak-balik haji dan umrah, tidak akan pernah mendapat ampunan, sebelum mengembalikan hasil korupsi dan bangsa ini memaafkannya. Wallahu a’lam. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Scotland Yard Sulit Ungkap Motif

Lima Negara Harus Waspada