JENEWA – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa separo dari seluruh anak-anak pengungsi telah berhenti sekolah sebelum pandemi virus korona mewabah. Dan saat ini dengan terjadinya pandemi, telah semakin meningkatkan krisis yang mencabut masa depan dari jutaan anak-anak itu.
Laporan itu disampaikan oleh organisasi PBB yang mengurusi soal pengungsi, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) pada Kamis (3/9).
“Banyak anak pengungsi terutama anak perempuan, yang sebelum pandemi virus korona melanda dunia masih bisa sekolah, kini tak bisa kembali ke bangku sekolah,” ucap ketua UNHCR, Filippo Grandi. “Setelah apa yang mereka hadapi, kita tak bisa mengabaikan masa depan mereka dengan tak memberi mereka pendidikan saat ini,” imbuh dia seraya menyerukan aksi bagi mendukung hak pengungsi bagi mengenyam pendidikan.
Laporan UNHCR itu disusun berdasarkan data dari 12 negara yang menampung lebih dari separo anak-anak pengungsi dunia. Data itu menyebutkan bahwa lebih dari 1,8 juta atau 48 persen dari seluruh anak pengungsi usia sekolah, tidak bersekolah. Data itu pun merinci bahwa tingkat kehadiran di sekolah menengah dan lebih tinggi, sangat rendah.
“Sekitar 77 persen dari anak-anak pengungsi terdaftar di sekolah dasar, tetapi hanya 31 persen yang bersekolah di sekolah menengah dan tiga persen di pendidikan tinggi,” demikian ungkap laporan tersebut.
Berdasarkan laporan pada 2019 menunjukkan bahwa hanya satu persen pengungsi di seluruh dunia yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. “Tetapi dengan terjadinya pandemi saat ini akan mengancam kemajuan sekecil apapun yang telah dibuat,” ungkap laporan tersebut.
Prediksi yang Menakutkan
Laporan tersebut juga menemukan bahwa sementara anak-anak di setiap negara telah terkena dampak pandemi Covid-19 dan langkah-langkah yang diambil untuk mengendalikan virus tersebut justru membuat anak-anak pengungsi amat dirugikan.
Anak-anak pengungsi jauh lebih mungkin dibandingkan dengan anak yang lain untuk menghadapi kesulitan untuk kembali ke sekolah mereka, dengan banyak keluarga pengungsi tidak lagi mampu membayar biaya sekolah, seragam dan buku, karena sumber pendapatan mereka mengering.
Mereka juga cenderung tidak memiliki akses ke teknologi yang dibutuhkan untuk pembelajaran jarak jauh dan dapat diminta untuk bekerja agar keluarga mereka yang berjuang tetap bertahan.
Hal ini terutama berlaku untuk pengungsi perempuan, yang sebelumnya memiliki akses pendidikan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Dengan menggunakan data UNHCR, Malala Fund, yang mengemban misi untuk menghilangkan hambatan yang mencegah anak perempuan untuk pergi ke sekolah, memprediksi bahwa setengah dari semua pengungsi perempuan yang bersekolah menengah ketika pandemi melanda tidak akan kembali ketika ruang kelas dibuka kembali bulan ini.
Dan di negara-negara di mana kurang dari 10 persen gadis pengungsi terdaftar di sekolah menengah, semuanya berisiko putus sekolah untuk selamanya.
“Perkiraan itu merupakan prediksi yang amat mengerikan karena akan berdampak pada generasi mendatang,” pungkas UNHCR. AFP/I-1