Jumlah sutradara perempuan di industri perfilman Indonesia mencapai angka tertinggi pada tahun 2012
Jakarta (ANTARA) – Waktu itu tahun 2000. Ketika para siswi sekolah dasar seakan berlomba untuk memamerkan bekal permen cokelat warna-warni dan plester luka di siku hingga dahi yang tak kalah menyilaukan mata. Rasanya, saat itu semua anak perempuan ingin menjadi seorang gadis cilik pemberani seperti di “Petualangan Sherina” (2000).
Setiap dekade, tiap era, terdapat sejumlah tokoh dari layar lebar maupun layar kaca yang memberikan kekuatan bagi para penontonnya. Ada tokoh Saleha (Rima Melati) dari “Intan Berduri” (1972), ada juga Asih (Christine Hakim) dari film “Daun di Atas Bantal” (1998), Marlina (Marsha Timothy) dari “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” (2017), hingga pahlawan super wanita Alana (Pevita Pearce) dalam film “Sri Asih” (2022).
Semua seakan membentuk sebuah tren dan kepercayaan diri bagi para penonton wanita di Tanah Air dari tahun ke tahun. Bahwa perempuan bisa menjadi tangguh, namun tetap memiliki sisi lembut dalam menghadapi isu-isu dan rintangan yang tak ada habisnya untuk dibahas.
Bagi Mikha Tambayong (“Teluh Darah”, “Critical Eleven”), terjun ke dunia akting membuatnya belajar menjadi manusia — melihat dunia dalam beragam perspektif.
Baca juga: Partisipasi sutradara perempuan AS turun 16 persen pada 2021
“Aku merasakan bahwa ini adalah privilege yang tidak bisa aku dapatkan di tempat lain. Aku bisa menjadi orang lain, memengaruhi cara aku berpikir, memiliki lebih banyak empati dan kepekaan,” pengakuan Mikha saat ditemui penulis.
Tentu, rasanya menyenangkan bisa memiliki sosok jagoan yang bisa diidolakan, apalagi ketika sosok itu merupakan tokoh utama dalam sebuah film. Tak hanya memberikan tontonan hiburan, namun, di banyak tempat, juga menginspirasi banyak perempuan muda untuk ikut terlibat dan membuat film dengan pesan yang serupa.
Film sendiri adalah sesuatu yang dapat dirasakan, dapat diresapi. Film dapat menyentuh hati seseorang, dapat mengoyak emosi dalam diri, dapat membuka wawasan dari berbagai sudut pandang.
Di sisi lain, film juga merupakan media visual. Namun, wanita dan pria mengalami dunia mereka secara visual dengan cara yang unik dan berbeda.
Para pembuat film wanita di berbagai belahan dunia seakan kompak dan tak ragu untuk mengeksplorasi makna kewanitaan dalam cerita mereka, dan memanfaatkan feminitas tersebut untuk berbagi pengalaman mereka di dunia dengan ragam isu kompleks yang menyelimutinya.
Tidak diragukan lagi bahwa para pembuat film wanita di dunia, termasuk Indonesia, memiliki bakat untuk menampilkan cerita-cerita ini. Namun, apa yang membuat karya-karya mereka begitu mengena di hati dan terasa segar, adalah bukan dari bakat atau narasi. Melainkan, cara mereka menceritakan kisah-kisah tersebut.
Kebanyakan film yang diarahkan oleh sutradara wanita bertumpu pada kata “bagaimana” — bagaimana film bisa terasa dekat dengan audiens, bagaimana perasaan penonton sesaat setelah credit title bergulir, bagaimana cerita itu tersampaikan dari perspektif dan hati tiap individu di dalamnya dan menggugah diskusi.
Baca juga: Alasan sutradara perempuan banyak dibutuhkan
Dalam “Noktah Merah Perkawinan” (2022), misalnya. Sutradara Sabrina Rochelle Kalangie membawakan film remake dari sinetron era ’90-an tersebut dengan dialog dan gaya penceritaan yang sederhana, namun juga indah dan membuat penonton seakan ikut terlibat dalam cara berpikir dan keputusan yang diambil oleh tokoh-tokoh di dalamnya.
Pun dalam “Like & Share” (2022) karya Gina S. Noer. Gina dan tema perempuan bukanlah perpaduan yang asing dalam filmografinya.
Apa yang mungkin membuat film ini terasa sulit untuk “dinikmati” penonton bukan karena adegan pemerkosaan yang eksplisit, namun karena hal tersebut diambil dari sudut pandang korban.
Ini kembali pada poin “bagaimana” — bagaimana para pembuat film ini bekerja menghadirkan cerita dari sudut pandang yang dekat dengan mereka, serta mengajak dunia melihat dan merasakan itu semua — ketulusan mereka dalam membuat film, kemarahan mereka akan sesuatu, hingga keinginan mereka untuk bersuara bagi mereka yang tak bisa berteriak.
Sayangnya, banyaknya cerita yang ingin disampaikan itu masih belum diimbangi dengan talenta wanita di balik layar. Menurut data yang dihimpun dalam buku “Menuju Kesetaraan Gender Perfilman Indonesia: Analisis Data Terpilah-Gender dan Rekomendasi Rencana Aksi” (2021), yang diterbitkan oleh Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN), masih terdapat ketimpangan representasi perempuan dalam perfilman Tanah Air.
Contoh, untuk peran sutradara. Jumlah sutradara perempuan di industri perfilman Indonesia mencapai angka tertinggi pada tahun 2012 dengan total 22 orang. Jumlah ini tak mencapai 20 persen dari 132 orang sutradara laki-laki pada tahun 1977.
Meskipun ada peningkatan angka secara tetap setelah tahun 2000, jumlah sutradara perempuan hanya 19 persen dari angka total pada dekade 2000-2009.
Baca juga: Sutradara: Film “Atas Nama Surga” adalah perasaan jujur perempuan
Jumlah sutradara perempuan naik hingga berjumlah 124 orang selama dekade 2010-2020. Pada dekade yang sama, jumlah sutradara laki-laki mencapai 996 orang, lebih dari dua kali lipat dari dekade 2000-2009.
Namun demikian, mengutip sutradara Kimo Stamboel, sudah banyak talenta perempuan yang terlibat dalam industri film saat ini. Bahkan, mereka melakukan pekerjaan di bidang yang dianggap ‘manly‘ seperti sound engineering, kamera, dan lainnya. Bahkan, Kimo mengaku semua tim produksinya adalah perempuan, dan mereka orang-orang kuat dan hebat.
Memang, bicara soal kesetaraan adalah hal yang rumit. Jika kita ingin berada di jalur kesetaraan, pembuat film wanita seharusnya tidak menjadi sebuah “tontonan keberanian” hanya karena mereka adalah wanita di tengah industri yang didominasi oleh laki-laki.
Jika kita bergerak menuju kesetaraan, rasanya juga penting untuk mau merangkul nilai feminitas dalam film — yang seringkali dianggap sebagai hal yang “lemah” dan “rapuh” di tengah dunia yang begitu maskulin.
Padahal, keberagaman itulah yang membuat sinema menjadi berwarna dan berdaya — ketika para kreator di baliknya dapat berkarya dengan aman dan bahagia, bertutur dengan jujur, serta bercerita dengan cinta.
Dengan harapan sama pula, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi bersama Badan Perfilman Indonesia pada tahun ini mengangkat tema “Perempuan: Citra, Karya, dan Karsa” dalam penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) 2022. Selain untuk mendorong peran perempuan dalam industri ini, tema itu juga dimaksudkan sebagai penghargaan bagi perempuan yang berprestasi di perfilman saat ini.
Dengan semakin terbukanya kesempatan untuk berkarya berkat berbagai platform digital yang tersedia saat ini, siapa pun, termasuk kaum perempuan bisa semakin kuat berperan dalam industri perfilman Tanah Air.
Baca juga: Sutradara perempuan Indonesia raih American Movie Awards
Baca juga: Film dan keluarga tak terpisahkan bagi Kamila Andini
Baca juga: Acha Septriasa “kurang puas”” jadi sutradara
COPYRIGHT © ANTARA 2022