Jambi (ANTARA News Sumsel) – Lembaga konservasi World Wide Fund for Nature Indonesia mendorong pemanfaatan dan pengembangan produk hasil hutan bukan kayu di Sumatera sebagai salah satu sumber peningkatan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Responsible Forest National Coordintor WWF Indonesia, Angga Pratama Putra di Jambi, Jumat, mengatakan selama ini pemanfaatan HHBK belum menjadi perhatian yang serius dari pemerintah sehingga perlu ada dorongan yang melibatkan semua pihak.
“Di Pulau Sumatera, mulai dari Provinsi Aceh hingga Lampung memiliki potensi hutan bukan kayu yang cukup banyak, namun selama ini untuk pemanfaatannya belum maksimal,” kata Angga usai menjadi pembicara pada acara FGD pengembangan dan pemanfataan HHBK di Sumatera.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.35/Menhut-II/2007 telah ditetapkan jenis-jenis HHBK yang terdiri dari 9 kelompok hutan bukan kayu yang terdiri atas 558 spesies tumbuhan dan hewan.
Namun hasil pemetaan (mapping) awal itu terindetifikasi HHBK di Sumatera yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan, yakni Madu, Jernang, Getah Jelutung, Bambu, Rotan, Kulit Manis dan Kopi yang memiliki potensi yang cukup bersar untuk dimanfaatkan.
“Selama ini masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan justru masih hidup miskin, sehingga melalui pemanfaataan HHBK menjadi solusi untuk peningkatan perekonomian khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan itu,” katanya.
Angga mencontohkan, misalnya saja untuk komoditi getah Jernang itu memiliki nilai jual yang cukup tinggi atau kisaran Rp2,6 juta per kilogram.
Menurut dia, dalam pemanfataan dan pengembangan HHBK tersebut memiliki tantangan dan peluang dalam pemberdayaan masyarakat atau capacity buliding sehingga nantinya masyarakat bisa mandiri.
“Tidak selamanya masyarakat itu diberikan pendampingan terus, tapi setelah diberikan pendampingan itu otomatis masyarakat juga harus mandiri dalam pemanfaataan hasil hutan bukan kayu itu,” katanya.
Selain itu tantangan lain yang harus dicari solusinya dalam pemanfaatan itu kata Angga diantaranya adalah akses pasar bagi produks yang hasilkan masyarakat dari hasil hutan bukan kayu supaya mendapatkan nilai jual yang ekonomis dan menguntungkan dengan pemanfaataan teknologi.
“Tantangan lain nantinya, satu sisi harus ada tingkat selisih antara biaya produksi dan harga jual di pasar (margin) supaya masyarakat itu mendapatkan nilai jual yang bagus,” katanya menambahkan.
(T.KR-DDS/B.S. Hadi)