in

Yayasan Geutanyoë: Perlindungan Penduduk Sipil dan Akses Kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar

Pada tanggal 9 Oktober 2016, serangkaian serangan terhadap tiga pos penjagaan perbatasan oleh para penyerang bersenjata yang mana diyakini dari komunitas Rohingya di kota-kota seperti Maungdaw dan Rathedaung di negara bagian Rakhine menewaskan sembilan polisi.
Setelah serangan ini, tentara Myanmar meluncurkan operasi kontra pemberontakan di daerah Maungdaw, Buthidaung dan Rathedaung, di mana 90% dari populasinya merupakan Muslim Rohingya. 

Yayasan Geutanyoe mengutuk semua tindakan kekerasan di negara bagian Rakhine dan sangat prihatin akan kesejahteraan orang-orang yang terperangkap di zona operasi militer. Kami sangat khawatir dengan kurangnya akses untuk bantuan kemanusiaan dimana diperkirakan terdapat 10-15,000 jiwa pengungsi internal (IDP’s) dari kedua etnis Rohingya dan Rakhine, serta terhentinya bantuan pangan untuk 50.000 orang warga miskin di Maungdaw sebagai akibat dari tindakan kekerasan tersebut seperti yang dilaporkan oleh WFP. Kami juga sangat prihatin dengan laporan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan, termasuk pembunuhan di luar hukum, pembakaran rumah dan kekerasan seksual terhadap warga sipil, dan menyerukan untuk dilaksanakannya penyelidikan independen terhadap apa yang telah dilakukan dalam tuduhan ini.

Kami meminta Pemerintah Myanmar untuk segera memfasilitasi akses kemanusiaan secara langsung ke semua individu dan masyarakat di setiap daerah yang terkena efek dari kekerasan, serta untuk kepatuhan terhadap Hukum Humaniter Internasional (HHI), termasuk perlindungan warga sipil dan prinsip-prinsip proporsionalitas dan perbedaan dalam perilaku yang dilakukan pada operasi militer, seperti yang tercantum dalam konvensi Jenewa yang telah diratifikasi oleh Myanmar pada tahun 1992. Myanmar juga merupakan pihak yang ikut serta dalam konvensi Hak Hak Anak (KHA) dan konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang berkewajiban untuk melindungi anak-anak dan perempuan dalam konflik bersenjata.

Kami juga menyerukan semua pelaku pelanggaran hak asasi manusia harus bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Selain itu, kami menyerukan kepada seluruh pemerintah di kawasan ASEAN untuk mendukung secara langsung akses kemanusiaan di daerah-daerah di bawah operasi militer di Rakhine dan mendesak Myanmar untuk mengatasi akar penyebab krisis di Rakhine, termasuk memperjelas status tanpa kewarganegaraan dari minoritas Rohingya dan penolakan sistematis hak asasi manusia dasar mereka. Kami menyerukan kepada Sekretaris Jenderal ASEAN, dalam kapasitasnya sebagai Koordinator Kemanusiaan ASEAN, untuk terlibat dalam diplomasi kemanusiaan dengan Pemerintah Myanmar dimana kiranya agar mendesak akses kemanusiaan sesegera mungkin.

Kami juga mendesak pemerintah ASEAN untuk mempersiapkan penanganan kemungkinan terjadinya arus pengungsian baru keluar dari negara bagian Rakhine sebagai akibat dari eskalasi konflik dan meningkatnya ketidak-amanan. Dalam hal ini, pemerintah ASEAN harus menyatakan komitmen yang mana diartikulasikan dalam Deklarasi Bali pada tahun 2016, untuk mengakui kebutuhan dalam melindungi pencari suaka dan pengungsi serta memfasilitasi penempatan yang aman.
Yang tidak kalah pentingnya, kami menyerukan kepada masyarakat Rohingya di seluruh dunia untuk menolak kekerasan dan berkomitmen kepada prinsip-prinsip non-kekerasan dan kemanusiaan dalam perjuangan mereka untuk pemulihan hak-hak asasi manusia mereka.

LILIANNE FAN
International Director Yayasan Geutanyoë
[email protected]
+6281285651392
Facebook: https://www.facebook.com/yayasangeutanyoe/
Website: http://geutanyoe.org/

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Mesjid Istiqlal Tak Mampu Tampung Jamaah Peserta Unjuk Rasa 4/11

Pariwisata Sulut dan Banyuwangi Contoh Konkret CEO Commitment