in

Al Quran dan Dinamika Sosial

Sebelum membahas bagaimana tafsir Al Quran merespons berbagai persoalan yang dihadapi manusia, ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan pengertian tafsir itu sendiri, yaitu: Suatu disiplin ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.

Sebagai sumber informasi, Al Quran mengajarkan banyak hal kepada manusia; mulai dari persoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah dan mu’amalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan. Lalu, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana umat Islam dapat memahami Al Quran? Selanjutnya, mampukah Al Quran menjawab tuntutan dan tantangan yang timbul dalam masyarakat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi?

Jawabannya adalah untuk memahami, menggali hukum dan hikmah yang terkandung dalam Al Quran tentu harus ada alat yang dipakai. Sebagai pegangan dan petunjuk bagi umat Islam dalam kehidupan, Al Quran tentu mampu menjawab tantangan zaman sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. 

Dilihat dari kandungannya, Al Quran berisi semua hal yang dibutuhkan manusia, namun Al Quran mengemukakan segala sesuatu secara global, bukan secara rinci. 

Oleh karena keglobalan Al Quran ditambah dengan perbedaan dan perkembangan situasi dan kondisi seperti tersebut di atas, maka Al Quran perlu ditafsirkan. Untuk menafsirkan Al Quran diperlukan beberapa ilmu bantu, antara lain ‘Ulum Al Quran. Ilmu ini sampai kini tetap dipelajari sebagai alat untuk memahami dan menafsirkan dengan tepat, serta menggali kandungan dan pesan Al Quran. ’Ulum Al Quran -sebagaimana halnya sebuah disiplin ilmu- juga berkembang pesat dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Dalam memberikan pengertian terminologis dari ‘Ulum Al Quran ini, umumnya ulama menemukan kesepakatan pada dua hal. Pertama, ‘Ulum Al Quran adalah sejumlah ilmu pengetahuan membahas Al Quran. 

Kedua, membuka peluang kemungkinan masuknya aspek lain ke dalam pembahasan ‘Ulum Al Quran, dengan pengertian bahwa tidak adanya jumlah yang pasti tentang jumlah ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori ‘Ulum Al Quran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘Ulum Al Quran itu sangat dinamis, tidak statis. 

Hal itu juga berarti bahwa terbuka ruang gerak yang luas bagi pengembangan ilmu tafsir, khususnya mengenai metode penafsiran, misalnya. Metode penafsiran bisa saja berkembang sesuai format masing-masing. Namun demikian, perlu digarisbawahi  bahwa  proses itu tidak menafikan secara kontekstual makna pesan yang terkandung dalam Al Quran. 

Interpretasi bisa berbeda, namun substansi dari kandungan yang sebenarnya tidak boleh  menyimpang dari orisinalitas kesuciannya. Dalam kajian ‘Ulum Al Quran ada satu  aspek pembahasan disebut I’jâz Al Quran, yaitu  melemahkan (menampakkan kelemahan) bangsa Arab dan non Arab untuk menandingi Al Quran, walaupun Allah telah mengemukakan tantangan kepada mereka untuk menulis karya yang setara dengan Al Quran. Tantangan Al Quran itu malah bertingkat dan bertahap, yaitu diawali dengan tantangan untuk  menandingi seluruh Al Quran, kemudian karena mereka tidak mampu, tantangan diturunkan menjadi sepuluh surat saja. 

Bahkan terakhir, diturunkan lagi, yaitu  membuat karya tulis yang setara dengan satu surat saja dari Al Quran. Namun, seperti yang diinformasikan Al Quran sendiri dan sesuai fakta dan realitas, manusia belum mampu dan tidak akan pernah mampu untuk itu (QS. 2: 23-24). Salah satu aspek  I’jaz Al Quran itu adalah Al-I’jaz Al-‘Ilmi (kemukjizatan ilmiah Al Quran).   

Al Quran memuat isyarat-isyarat ilmiah yang cukup komprehensif dalam berbagai cabang dan disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu pengetahuan alam. Semuanya itu menunjukkan keberadaan Al Quran sebagai mukjizat terbesar dan di sisi lain membuktikan eksistensinya sebagai sumber ilmu pengetahuan (mashdar al-‘ulûm/recourses of knowledge and science), walaupun sewaktu Al Quran diturunkan, zaman masih jauh dari kemajuan ilmu pengetahuan. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan bilamana isyarat-isyarat ilmiah Al Quran itu belum diungkap oleh kaum muslimin kala itu. Baru pada masa berikutnya kaum muslimin berusaha untuk menemukannya, bahkan pada zaman akhir-akhir ini sudah banyak isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat dalam Al Quran  yang telah terbukti kebenarannya oleh para ilmuan.

Contohnya, mulanya orang berkeyakinan bahwa perkawinan itu hanya berlangsung pada dua jenis, yaitu manusia dan hewan. Ternyata, kemudian ilmu pengetahuan modern telah menemukan teori bahwa perkawinan juga terjadi pada tumbuh-tumbuhan. Perkawinan pada tumbuh-tumbuhan itu ada zati dan khalti, maksudnya ada tumbuh-tumbuhan yang bunganya mengandung organ jantan dan betina, serta ada pula tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya terpisah dari organ betinanya seperti pohon kurma, sehingga perkawinannya melalui bantuan angin. Apa yang ditemukan ilmuan kontemporer ini telah diungkap Al Quran dalam surat Al Hijr: 22.

Itulah salah satu contoh penemuan ilmiah dalam rangka pembuktian terhadap kemukjizatan ilmiah Al Quran. Kemukjizatan ilmiah itu sendiri pada hakikatnya terletak pada dorongan Al Quran kepada umatnya untuk berpikir dan meneliti. Sejalan dengan itu, Allah telah membukakan pintu ilmu pengetahuan supaya mereka memasuki gerbang ilmu melalui membaca, meneliti dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai usaha membumikan konsep Al Quran.
Konflik Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial sudah jelas mengalami berbagai persoalan, di mana  persoalan tersebut belum terjadi di zaman Rasul atau pada masa-masa sebelumnya. Namun demikian, Al Quran tetap responsif terhadap pemecahan isu-isu tersebut, mengingat Al Quran adalah pedoman untuk manusia sepanjang zaman, bahkan merupakan rahmat bagi sekalian alam. 

Di antara persoalan yang terjadi, misalnya dalam kasus Indonesia misalnya konflik antar etnik, antar kampung, antar suku, bahkan antar agama dan sebagainya. Dalam hal ini, pertama kali harus dipahami adalah kemajemukan (pluralitas) adalah suatu keniscayaan sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Hujurat: 13.

Surat Al Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa perbedaan derajat seseorang dalam pandangan Allah tidak ditentukan oleh banyaknya harta, tingginya kedudukan dan jabatan, popularitas nama, ketinggian kekuasaan dan otoritasnya. Akan tetapi yang menjadi tolok ukur adalah ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh tampang, harta, dan kecantikan/kegantengan, akan tetapi yang dinilai adalah sikap, perilaku dan hatinya. Inilah hal yang sering dilupakan orang saat ini, sehingga tidak jarang memicu konflik sosial dalam masyarakat. 

Khusus bagi bangsa Indonesia, kemajemukan bukanlah realitas yang baru terbentuk. Namun, realitas sejarah dari segi etnis, budaya, bahasa dan agama yang telah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka. Kemajemukan ini menjadi salah satu ciri khusus bangsa Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia tersebut diungkapkan dalam bentuk semboyan bangsa “Bhinneka Tunggal Ika”. Inilah yang harus dipahami, dipelihara dan dilaksanakan seluruh bangsa Indonesia guna menjaga persatuan dan kesatuan, serta tidak terlepas dari mensyukuri nikmat Allah SWT.

Merujuk ini semua, Al Quran sebagai petunjuk (pedoman) mesti dipahami dan ditafsirkan dan diaktualkan sesuai konteks kekinian. ’Ulum Al Quran sangat urgen posisinya untuk memahami dan menafsirkan Al Quran. Dalam hal pemahaman dan penafsiran Al Quran, ada tiga hal yang saling bersinergi, yaitu kaidah-kaidah bahasa Arab, suatu ayat menafsirkan ayat lain atau sebaliknya, dan konteks kekinian, sehingga Al Quran merespons persoalan-persoalan kontemporer dengan pemecahan yang tepat. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Surat Al Mulk : 15

Cerita di Balik Pelepasliaran Muli, Harimau Sumatera di TWNC