in

Benang Merah Hubungan Palembang -Ternate

BP/IST
Asosiasi Guru Sejarah Seluruh Indonesia (AGSI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dan AGSI Ternate, Maluku Utara, menggelar Webinar Palembang-Ternate Dalam Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam, Sabtu (30/5).

#Webinar Agsi Sumsel: Palembang-Ternate

Dalam Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam

Palembang, BP

Asosiasi Guru Sejarah Seluruh Indonesia (AGSI) Provinsi  Sumatera Selatan (Sumsel)  dan AGSI Ternate, Maluku Utara, menggelar  Webinar Palembang-Ternate Dalam Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam, Sabtu (30/5).

Pertemuan  di dunia maya  dalam aplikasi zoom tersebut diikuti ratusan peserta dari seluruh Indonesia ini dibuka langsung Presiden AGSI Pusat, Dr Sumardiansyah, SPd, MSi dan menghadirkan sejumlah narasumber seperti Ketua AGSI Sumsel Merry Hamraeny, Dosen Universitas Khairun Ternate, DR Syahril Muhammad, MHum dan Sejarawan Palembang, Kms A Rachman Panji, SPd, MSi.

Ketua AGSI Sumsel Merry Hamraeny mengatakan, SMB II adalah pahlawan nasional yang berkaitan erat juga dengan masyarakat ternate, sehingga dalam diskusi kali ini menurutnya akan ditemukan benang merah hubungan Palembang dan Ternate.

Apalagi menurutnya untuk meraih status pahlawan nasional pemerintah daerah di kota Palembang telah berjuang guna diakui oleh pemerintah pusat dan berhasil.

“Agsi Sumsel berencana juga akan mengunjungi makam leluhur kami di Ternate dan kita juga akan mengadakan kunjungan tempat mengasingan SMB II,” katanya.

Presiden AGSI Pusat, Dr Sumardiansyah, SPd, MSi menjelaskan, Palembang dengan Ternate memiliki hubungan historis yang sama, terutama dalam menetapkan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai pejuang dan pahlawan nasional pada masa Kolonial Belanda.

Dia menjelaskan, ada tiga fase pada masa politik Kolonial Belanda yakni fase Diaspora (Orang Palembang Perantauan, red) diasingkan, termasuk Sultan Mahmud Badaruddin II tahun 1821. Kemudian fase Sultan Najamuddin Prabu Anom yang ikut diasingkan pada tahun 1825 dan fase terakhir keluarga Sultan Mahmud Badaruddin II yang dipindahkan ke Ternate sekitar tahun 1881.

“Dari sini kemudian terjadi konflik antara pemerintah Palembang dengan Ternate,” katanya.

Dari sejarah itu, Sumardiansyah meminta kepada sejarawan di dua kota tersebut untuk menyambungkan cerita yang pernah terjadi. Demikian diharapkan ada kejelasan sehingga tidak ada perdebatan terkait pemindahan makam Sultan Mahmud Badaruddin II.

“Bisa dilakukan pendekatan historis dengan cara mendekati para zuriyat dari keturunan dua sultan tersebut. Dengan mengingat kembali memori masa lalu nantinya bisa membangun konstruksi cerita yang utuh,”  katanya.

Senada, Dosen Universitas Khairun Ternate, DR Syahril Muhammad, MHum mengatakan, Kesultanan Palembang dan Kesultanan Ternate memiliki sejarah yang sama yaitu keduanya kerajaan dan kesultanan berbasis pada agama Islam dan kekuasaan bangsa Eropa.

Ternate menurutnya, sebagai tempat pengasingan Sultan Muhammad Badaruddin II menjadi kota yang memiliki semangat perjuangan tokoh dan memberi inspirasi kuat sebagai pahlawan nasional.

“Saat Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan, sebagian kerabatnya juga sudah menjadi diaspora di Selatan dan Utara,” katanya.

Untuk itulah, dia mengajak kepada sejarawan di dua kota tersebut untuk menulis perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II dan Sultan Najamuddin Prabu Anom untuk memperkuat ke-Indonesiaan.

“Pada prinsipnya kita memiliki kesamaan dalam aspek budaya Islam. Perbedaan hanya terletak pada sumber daya alam semata,” katanya.

Di Ternate, sambungnya, ada satu kampung yang diberi nama Kampung Palembang SMB II. Kampung ini disebut-sebut sebagai lokasi pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya.

Sejarawan Palembang, Kms A Rachman Panji, SPd, MSi mengatakan, Benteng Kuto Besak menjadi tempat terakhir Sultan Mahmud Badaruddin II dalam mempertahankan Marwah berperang kepada Belanda mempertahankan haknya sebagai kesultanan Palembang Darussalam yang berdaulat.

“Nama SMB II kini dijadikan nama Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dimana lokasi ini bernama Istana Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo. Nama SMB II juga dijadikan bandara Internasional di Palembang, dan mata uang rupiah pecahan Rp10.000 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005,”  katanya sembari memastikan kalau SMB II tidak pernah menyerah kepada Belanda ini terbukti stempel Kesultanan Palembang Darussalam tidak pernah diberikan kepada Belanda.#osk

 

 

 

 

 

 

 

What do you think?

Written by Julliana Elora

Eksekutor Perampokan Toko Emas di Sungai Lilin Ditembak

Ganjar : Berani Korupsi Saat Pandemi, Langsung Pecat dan Seret ke KPK