in

Budaya Instan

Budaya instan semakin menjamur dan digemari masyarakat saat ini. Padahal budaya instan ini, budaya yang berasal dari luar negeri dengan seiring perkembangan berbagai peralatan modern, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan teknologi, dan juga hasil temuan sumber-sumber daya modern.  
Dari segi makanan, banyak makanan instan yang dijumpai di setiap toko, swalayan maupun mall baik berupa kemasan, kaleng, siap saji, dan sebagainya. Hampir setiap orang mengonsumsinya.

Bahkan, dalam berbelanja makanan pun hanya tinggal menunggu di ruangan atau di rumah saja. Cukup menggunakan aplikasi di smartphone, beberapa waktu kemudian, makanan pun sudah datang ke ruangan atau rumah. Tidak perlu lagi beranjak ke luar ruangan atau rumah.

Begitu pula pekerjaan, hampir semua orang menyelesaikan pekerjaannya dengan jasa atau alat bantu mesin. Seperti mesin cuci, rice cooker, serta lemari es. Sungguh serba instan.

Di dunia politik terjadi banyak yang alih jalur ke ranah politik dari berbagai latar belakang; pengusaha, mubaligh, artis, dan sebagainya. Kemudian dunia olahraga sepak bola yang sering adanya naturalisasi pemain demi mewujudkan tim yang baik dan hebat dengan cara instan.

Bahkan dalam hal pendidikan pun demikian. Banyaknya pendidikan yang tidak terikat dengan waktu/masa tertentu dan lembaga seperti; home schooling.
Dalam dunia akademik perguruan tinggi pun demikian. Banyak mahasiswa yang mengerjakan penugasan dari dosen dan demi mendapatkan nilai yang baik dengan cara instan, akhirnya dilakukan dengan cara yang tidak sportif seperti melakukan copy paste, dan sebagainya.

Budaya instan ini seperti panduan hidup di zaman modern saat ini, yang melakukan berbagai hal aktivitas kehidupan dengan serba cepat, gesit, dan mudah tanpa menghiraukan prosesnya.

Padahal, masyarakat Indonesia khususnya Sumbar adalah masyarakat yang mempunyai sifat gotong-royong, saling menolong dan mau bekerja sama satu sama lainnya. Demikian juga masyarakat di nagari, dalam bekerja saling setia membantu. Misalnya sekelompok masyarakat menggarap satu petak sawah milik kelompok tersebut setelah itu bergilir bergantian menggarap sawah kelompok lainnya.

Budaya ini bisa menjadi contoh yang harus dijaga dan lestarikan. Walau pun budaya instan atau budaya sekali pakai masuk namun budaya tradisional tidak boleh punah atau hilang begitu saja.(*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Hanya Ada Dua Hal yang Perlu Dikhawatirkan

Perjuangan Para Penyelamat Satwa di Antara Naik Turunnya Aktivitas Gunung Agung