in

Derita Rohingya Di Pengungsian

DeritaPara Pengungsi Rohingya Berkumpul Menanti Bantuan Dalam Hujan Di Cox Bazar, Minggu,[17/9] (WSP/Rtr )

Ratusan etnis Rohingya,termasuk anak-anak, harus berdesak-desakan untuk mendapatkan paket bantuan yang dilempar dari truk di Balukhali,Kota Cox’s Bazar, Bangladesh.

Di wilayah yang berbatasan dengan Myanmar itu,banyak wanita terlihat berjejalan dengan balita diusung dipundak mereka, dan harus berdiri di bawah guyuran hujan deras. Tak lain, mereka hanya menunggu bantuan makanan, terpal dan juga pakaian yang didistribusikan orang-orang Bangladesh.

Kelompok Koordinasi Antar Sektor (ISCG) di Bangladesh, seperti dilansir CNN Senin (18/9), melaporkan, seorang wanita dan dua anak-anak terbunuh saat pembagian bantuan pakaian tak resmi di dekat kamp pengungsi di Kutupalong, Bangladesh.

Tiga orang yang nama dan identitasnya tak diungkapkan ke publik, tewas pada Jumat pekan lalu. Saat itu, bantuan bagi para pengungsi dilemparkan dari atas truk di Baluk hali Pan Bazar, dekat kamp pengungsi Kutupalong.

Biasanya, pola penyebaran bantuan itu dilakukan secara acak, dengan truk terbuka yang melintasi kamp pengungsi dan kemudian dilempar keluar. Lebih mengenaskan lagi,dua pengungsi Rohingya yang berusia lanjut terinjak hingga tewas oleh gajah liar saat mereka tertidur di bawah selembar plastik di dekat hutan Bangladesh, ungkap kepolisian pada Senin (18/9).

Insiden itu terjadi di pinggiran kamp pengungsi Kutupalong di Distrik Cox’s Bazar.“Kami dapat mengonfirmasi bahwa dua orang telah tewas akibat serangan gajah liar,” ujar kepala kepolisian lokal Abul Khaer.

Hujan deras menambah kesengsaraan mereka sebaga ikelompok etnis yang teraniaya. Lebih dari separuh dari jumlah perkiraan total 412.000 warga Rohingya yang telah lolos dari kekerasan di Myanmar, tinggal di tempat sementara, tanpa tempat tinggal yang layak, air minum bersih, dan sanitasi.

Pada hari Minggu, petugas polisi dan tentara terlihat mulai memeriksa kendaraan yang datang dari kamp menujuKota Cox’s Bazar.Pemeriksaan itu terjadi sehari setelah Pemerintah Bangladesh mengumumkan pembatasan pada gerakan para pengungsi.

Arefa, bersama ratusan orang Rohingya, termasuk diantara orang banyak yang menunggu bantuan yang sangat dibutuhkan.Dia basah kuyup, menahan anak perempuannya yang berusia dua tahun, Minara dibahunya.

Arefa menangis. Dia bilang, tidak ada makanan untuknya dan kedua anaknya.“Saya tidak punya makanan,tidak ada tempat berlindung dan tidak ada cara untuk memasak apapun, saya belum merasa lega,” kata dia sambil meneteskan air mata.

“Jika saya mendapatkan bantuanya saya makan, kalau tidak saya kelaparan.”Arefa, yang tiba di sini dua hari yang lalu dari desa Lambaguna di Distrik Akyab,mengaku berusia 40 tahun. Namun penampakannya terlihat jauh lebih muda.

Suaminya, Nabi Hussain, ditembak mati oleh militer Myanmar, kata dia. Seorang rekannya warga Rohingya lain menawarinya tenda untuk berbagi, hingga dia bisa menata hidupnya sendiri. Namun, di pusat distribusi bantuan swasta di Balukhali, dia tidak berun-ung.

Manzoor Ahmed, seorang pengungsi lain, terlihat telah memasang sebuah tenda dilahan pribadi yang disediakan oleh seorang warga Bangladesh.“ Ini benar-benar buruk, air masuk ke tenda kita, seluruh daerah banjir,” kata dia mengomentari bencana banjir yang datang menghantam kamp pengungsian.

“Saya tidak punya tempat untuk tidur,otak saya tidak bekerja, saya tidak tahu harus berbuat apa.”Pria berusia 65 tahun itu tiba di Balukhali tiga hari lalu,bersama 11 anggota keluarganya. Dia bilang dia beruntung, sebab tak satu pun anggota keluarganya terbunuh.

Lembaga bantuan memperingatkan bahwa operasi penyaluran bantuan harus dibenahi. Koordinasi antara badan-badan kemanusiaan, LSM lokal, dan pihak berwenang sangat penting, kata mereka.“Kami mencoba untuk memperluas kegiatan kami, dan membangun klinik dan pos kesehatan baru untuk memberikan akses dasar terhadap perawatan kesehatan.

Namun pada akhirnya semua akan terlipat oleh tantangan infrastruktur dan logistik,” kata Robert Onus, koordinator dari organisasi Dokter Tanpa Batas (MSF).“Skala krisis mungkin tidak bisa dipahami oleh semua orang, karena tidak mungkin dijelaskan kecuali jika Anda melihatnya dengan mata kepala sendiri,” kata Onus kepada Al Jazeera.(WSP/afp/cnn/al-jazeera/And)

What do you think?

Written by virgo

Pemuda Indonesia Harus Kreatif dan Inovatif

Tolak Lepas Cadar, Muslimah Denmark Dideportasi