in

Geng Motor Juga Perlu Digebuk

Seminggu ini kita tak bisa mengelak berita kekerasan yang memerlukan tindakan tegas. Karena banyaknya korban jatuh dan meninggal, baik petugas maupun rakyat biasa.

Ledakan bom di Kampung Melayu, Rabu malam kemaren, menambah suram keamanan di Jakarta.

Untunglah masyarakat makin dewasa, paling kurang terlihat dari seruan agar tidak meneruskan gambar-gambar sadis agar tidak terjebak dalam opini yang menyeret adu domba.

Lebih dari itu, aparat keamanan langsung bergerak menumpas. Rasa aman serta merta terasakan.

Sedikit berbeda “nuansa dan penanganannya” adalah kebrutalan yang dilakukan apa yang dikenalkan sebagai gerombolan geng motor, atau kadang disebut sebagai kawanan begal.

Mereka ini kadang lebih brutal, lebih “ngawur” karena tak jelas tujuannya, selain berbuat onar dengan cara brutal.

Gerombolan sadis ini dalam dunia kriminalis, dunia para penjahat dikenal dengan “kasta” abal-abal, kasta paling bawah sebagai penjahat. Jauh di bawah para pembunuh, pencuri-penodong, begal, atau perampok. Mereka ini sedang mencari “nama” dengan cara menarik perhatian.

Di kalangan mereka mencari perhatian, yang artinya pengakuan, adalah dengan berbuat onar.

Berbuat sadis tanpa tujuan jelas—selain menebar kekejaman. Motivasi yang bukan motivasi ini menempatkan mereka digelari chaplin—dari kumis Charlie Chaplin dan dianggap lucu, tidak serius. Bandingkan dengan sebutan brengos, atau kumis tebal yang artinya jagoan.

Mereka disebut juga curut atau tikus got, bandingkan yang berkelas punya sebutan tikus wirog. Namun, justru karena itu tindakan mereka sering tak terduga.

Bisa main tebas—atau bacok, pada siapa saja: anak muda yang tak dikenal, atau pada alat—polisi, “laler ijo” yang artinya TNI berseragam tanpa ada permusuhan sebelumnya. Keadaannya menjadi gawat manakala penyerangan ini menabraki aturan yang ada.

Geng ini juga terbentuk karena “tidak sengaja” dibentuk. Lima atau lebih anak muda—di usia 20-an tahun, nongkrong, ngobrol, lalu ada yang bertengkar—karena rokok, karena ganja, karena cewek, karena miras.

Lalu, bermusuhan dan menyeberang ke grup lain. Ada yang menamai grupnya, misalnya dengan nama Amerika. Tidak berarti ada orang Amerika, melainkan mungkin singkatan Anak Merdeka, di daerah Cijantung.

Atau geng saingan, yang berarti Inggris. Atau Jepang, singkatan Jembatan Mampang, daerah Depok, Jawa Barat.

Dan sebenarnya mereka ini cepat dikenali, karena membawa sajam—senjata tajam, dan dengan mudah ditangkap karena melanggar undang-undang, sebelum melalukan aksi kriminal.

Ketidakjelasan aksi mereka terbukti seperti saat penyerangan di Jalan Lenteng Agung yang berlangsung tengah malam (22/5/17).

Dari video, dari penuturan saksi, terbukti geng ini menunggu motor lewat, lalu menyatroni dengan sadis main tebang, setelah pengendara motor jatuh, mereka kabur. Tanpa merampok, atau menyatakan “tuntutannya”, misalnya.

Dan saya hampir bisa memastikan, bahwa para geng ini berkumpul, atau akan berkumpul di tempat itu lagi! Atau melihat dari sedikit kejauhan.

Yang menakutkan sebenarnya dan terutama adalah geng semacam ini sangat mudah terbentuk. Seperti saya sebutan di atas; 5 remaja kumpul, jadilah geng. Kalau bentrok, pindah ke geng lain.

Dinamika ini yang menjaring remaja bergabung; karena teman seusia, karena nganggur, karena dorongan berbuat sesuatu.

Celakanya, atau bahayanya, untuk membuktikan keberadaannya, untuk mendapatkan “peringkat”, kekejaman dilakukan.

Dan menyeret pada kasus pembunuhan, dan begitu diakui sebagai pembunuh, menjadi “brengos”, membentuk anak buah dan begitu seterusnya.

Lingkaran setan yang melingkar-lingkar sebelum dihentikan karena menjadi korban sesama geng dan atau ditumpas oleh alat Negara.

Dan selalu saat tepat untuk menumpas oleh alat negara, sebelum geng ini melahirkan puluhan atau ratusan geng yang beranak pinak karena para remaja tak bisa menemukan jalan yang tepat, yang baik, yang tak disesali, yang menjerumuskan. Geng pun perlu digebuk.

What do you think?

Written by virgo

Dilecehkan, Ditahan, Dipecat, Diperas

Panut Mulyono Dilantik Menjadi Rektor UGM