in

Korupsi Bakamla Seret Perwira Tinggi

KPK Minta Fahmi Serahkan Diri

Dugaan keterlibatan oknum TNI dalam kasus suap proyek pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla), ternyata bukan isapan jempol. Bahkan, oknum TNI itu seorang perwira tinggi di TNI AL berpangkat Laksamana Pertama (Laksma)/ bintang satu.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Wuryanto saat dihubungi koran ini, kemarin (16/12), membenarkannya. “Namanya sebut saja Laksma BU, bintang satu di TNI AL,” ungkap Wuryanto.

Wuryanto menjelaskan bahwa dugaan keterlibatan Laksma BU dalam kasus suap yang menyeret nama Eko Susilo Hadi selaku Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla tersebut, tengah diproses di POM TNI.

“Puspom TNI sudah siap. Begitu diserahkan pelimpahan itu akan langsung ditangani, karena sudah ada instruksi langsung dari Panglima TNI kepada Danpuspom. Untuk menangani keterlibatan oknum TNI yang bertugas di Bakamla itu,” terang Wuryanto.

Pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) tersebut menyatakan bahwa peran Laksma BU dalam kasus tersebut belum diketahui dengan pasti.

Namun, laporan adanya aliran dana terkait proyek pengadaan satelit pengawas di Bakamla yang masuk ke rekeningnya, menjadi bukti awal keterlibatannya dalam kasus yang kini ditangani KPK itu.

Terungkapnya keterlibatan oknum TNI dalam kasus suap atau korupsi disesalkan Wuryanto. Pun demikian, Wuryanto menegaskan bahwa TNI tidak akan memberikan toleransi kepada anggota TNI yang dinyatakan terlibat dalam kasus suap atau korupsi.

TNI juga tidak akan segan memberikan hukuman yang maksimal kepada anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi, seperti yang dialami Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Teddy Hernayadi, terpidana seumur hidup dalam kasus korupsi pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) di Kementerian Pertahanan (Kemhan). “Apalagi korupsi itu sudah menjadi musuh bersama bangsa Indonesia,” tandasnya.

Informasi yang dihimpun koran ini, dalam korupsi itu, Eko bertindak sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), sedangkan Laksma BU sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) pada proyek pengadaan alat monitoring satelit.

Eko dan Laksma BU yang aktif mengatur proyek, sehingga PT MTI bisa memenangkan tender. Mereka berdua yang menerima uang suap Rp 2 miliar itu. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, KPK akan membahas proses penanganan perkara itu dengan TNI. Sebab, perkara itu berkaitan dengan dua pihak.

Yaitu, sipil dan militer. Komisinya juga akan melakukan koordinasi dengan TNI saat penyidik melakukan pengeledahan. “Polisi militer siap membantu KPK dalam melakukan pengamanan dan pendampingan saat penyidik melakukan pengeledahan,” terangnya.

Dalam melakukan pemeriksaan, penyidik bisa saja memeriksa prajurit TNI yang dianggap mengetahui proyek pengadaan alat monitoring satelit Bakamla. Namun, pemeriksaan itu tentu akan dikoordinasikan dengan TNI.

“Kami belum bisa menyampaikan jadwal pemeriksaan,” terang dia. Penyidik yang mengetahui siapa saja yang akan dimintai keterangan untuk memperdalam perkara tersebut.

Pada Rabu (14/12) lalu, KPK menangkap Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi yang juga sebagai pejabat Kejagung. Selain Eko, komisi antirasuah juga menangkap tiga orang lainnya.

Yaitu, M Adami Okta, Hardy Stefanus dan Danang Sri Radityo. Mereka ditangkap setelah melakukan transaksi penyuapan di kantor Bakamla Jalan Dr Seotomo, Jakarta Pusat.

Penyidik KPK juga menyita uang suap senilai Rp 2 miliar dari ruang kerja Eko. Dalam perkara tersebut, KPK menetapkan Eko, M Adami, dan Hardy sebagai tersangka.

Sedangkan Danang masih berstatus sebagai saksi. Selain itu, KPK juga menetapkan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah sebagai tersangka. 

M Adami, Hardy dan Fahmi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sedangkan, Eko sebagai penerima disangkakan dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, pengusaha itu memberikan uang kepada Eko, karena pejabat Kejagung itu telah membantu PT MTI memenagkan tender alat monitoring satelit senilai Rp 200 miliar itu.

Fee yang dimintai Eko sekitar 7,5 persen atau senilai Rp 15 miliar. Namun yang baru diserahkan sebesar Rp 2 miliar. “Anggaran itu sangat penting, masuk di APBN-P, tapi tetap saja dikorupsi,” terang Agus. 

Diminta Menyerahkan Diri

Sementara keberadaan Fahmi Darmawansyah sebagai penyuap proyek pengadaan alat monitoring satelit hingga kini masih misterius. Dia diduga berada di luar negeri. Kini, KPK memintanya menyerahkan diri.

Jubir KPK Febri Diansyah menyatakan, Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MTI) itu berada di luar negeri. Namun, dia belum bisa menyebutkan di negara mana Fahmi sekarang ini berada.

“Kami belum mendapatkan informasi secara detail,” terang dia saat ditemui di gedung KPK, kemarin (16/12). Terkait informasi bahwa Fahmi sedang berada di Jerman, Febri masih enggan menjelaskan.

Mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menyatakan, Fahmi berada di luar negeri dua hari sebelum dilakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta. Jadi, Fahmi tidak melarikan diri ke luar negeri setelah ditetapkan sebagai tersangka. Dia meminta agar pengusaha itu segera pulang ke tanah air.

Fahmi yang juga pemilik gedung Menara Saidah di Jalan MT Haryono Jakarta Timur itu bisa pulang sendiri sesuai jadwal yang ia tetapkan. Hal itu akan lebih efektif dan efesien. Febri berharap, tersangka suap itu membantu penegakan hukum terhadap perkara korupsi yang berkaitan dengan uang negara itu. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

PTS Harus Berjuang Raih Akreditasi A

Dilla Nofera, Artis Minang Serba Bisa