in

Melihat Wajah Yangon setelah Tujuh Tahun Myanmar Membuka Diri

Mulai Dibanjiri Brand Fashion dan Resto Siap Saji

Tujuh tahun sudah pemerintah Myanmar membuka diri. Modernisasi dan investasi mulai mengalir deras ke negeri yang dulu bernama Burma itu. Myanmar pun berlari menyetarakan diri dengan negara Asia Tenggara lainnya.

CUACA di Yangon selalu menyengat. Biasanya mencapai 34–35 derajat Celsius. Itu lebih panas daripada Surabaya maupun Jakarta. Udaranya yang kering ikut membuat siang di bekas ibu kota Myanmar tersebut makin tidak nyaman. Keringat warga lokal yang gemar berjalan kaki juga terlihat mengucur deras.

Untuk menangkal panas, orang-orang di Myanmar lebih suka membawa payung ke mana-mana. Tidak peduli laki-laki maupun perempuan. Payung selalu tersedia di tas, mobil, dan bahkan tas belanjaan.

Bisa jadi panas yang menyengat itu membuat orang-orang di Myanmar suka warna putih. Maklum, putih dan warna cerah bisa menolak panas dengan baik ketimbang hitam. Karena itulah, mobil putih di sana begitu mendominasi.

Warna putih juga menjadi favorit untuk urusan fashion. Baju putih yang memiliki berbagai model tersebut umumnya dipadukan dengan longyi, sarung khas Myanmar. Sandal juga menjadi pilihan utama sebagai alas kaki. 

Style seperti itu multifungsi. Tidak hanya digunakan saat bersantai, tetapi juga ketika sembahyang dan kerja. Untuk perempuan, biasanya ditambahkan olesan bedak thanaka di wajah dengan aneka bentuk. ”Bekerja di kantor juga boleh pakai longyi,” ujar Myo Thant Tun, 34, yang berprofesi sebagai tour guide.

Jawa Pos (Group Padang Ekspres) sempat mencoba bergaya seperti orang lokal. Memang rasanya lebih nyaman ketika menghadapi panas hanya dengan memakai sarung daripada celana jins. Tidak gerah dan lebih lincah. Meski, pengalaman pertama itu membuat agak canggung ketika harus ke mal negara orang dan tempat umum dengan memakai sarung.

Mulai terbukanya Myanmar juga membuat anak muda Yangon makin stylish. Apalagi saat malam tiba dan di mal. Mudah menemukan anak-anak yang menanggalkan longyi dan menggantinya dengan pakaian kekinian. Misalnya, remaja putri dengan hot pants yang biasa disebut celana gemes karena saking pendeknya.

Anak-anak muda makin mendapat tempat untuk gaul setelah berbagai investasi makin deras masuk Myanmar. Di Yangon saja, ada dua mal yang baru dioperasikan beberapa bulan lalu. Yakni, Junction City pada 31 Maret 2017 yang menemani Junction Center yang buka pada 2012. 

Dua mal itu menjadi wadah berbagai bisnis yang mulai masuk setelah 2013. Misalnya, makanan cepat saji seperti Burger King dan KFC yang baru hadir tahun lalu. Meski kerap sepi, brand fashion papan atas seperti Coach, Aigner, Furla, Versace, dan Hugo Boss juga mulai hadir.

Tidak berhenti di situ, jaringan bioskop CGV juga baru saja menyapa warga Yangon. ”Kami senang banyak hal baru seperti ini,” ungkap perempuan 25 tahun yang akrab disapa Phin Phin.

Jumat malam (15/7) Jawa Pos mendapati peluncuran produk permen di Junction City. Salah satu acara utamanya adalah hiburan semacam ajang pencarian bakat. Korean wave juga menjadi kesukaan anak muda Myanmar. Buktinya, ada enam laki-laki yang menampilkan bakat ala boyband. Kompak dengan celana jins yang sobek-sobek, kemeja dengan motif meriah, serta rambut yang ditata sedemikian rupa.

Mereka menampilkan koreografi dengan latar lagu boyband asal Korea Selatan yang di-mix dengan gerakan tari tradisional. Bukti lain demam Korea Selatan yang melanda Myanmar adalah banyaknya drakor (drama Korea) yang diputar.

Salah satu yang segera tayang dan iklannya sudah muncul adalah drakor Descendants of the Sun. Kisah cinta Dokter Kang Mo-yeon dan Kapten Yoo Shi-jin itu akan diputar di televisi lokal. Padahal, drakor itu sudah tayang sejak 2016. Drakor bahkan menjadi hiburan di ruang tunggu bandara dan hotel di Sittwe, Negara Bagian Rakhine, tempat konflik etnis Rohingya dengan militer Myanmar terjadi.

”Hahaha… kenapa begitu banyak drama Korea yang diputar sekarang?” ujar Myo Thant Tun saat melihat tayangan televisi di bandara Sittwe, ibu kota Rakhine. 

Dia mengungkapkan, televisi Myanmar saat ini memiliki berbagai judul drakor. Di Yangon juga mulai tumbuh kafe untuk nongkrong. Tidak hanya dengan sajian utama kopi, ada pula yang menawarkan donat sampai cokelat. Beberapa brand yang sangat dikenal di Indonesia seperti The Coffee Bean sampai Bread Talk juga bisa ditemui.

Meksi demikian, ada beberapa hal yang mungkin bisa dianggap cukup mengganggu. Yakni, kebiasaan orang-orang yang suka meludah sembarangan. Terutama saat mengunyah sirih. Bekas noda merah begitu mudah ditemukan di aspal jalan. Memang, orang yang mengunyah sirih di Yangon tidak sebanyak di daerah pinggiran seperti Rakhine. Namun, kebiasaan meludah itu memang suka bikin geleng-geleng kepala. 

Bayangkan, sopir taksi bisa dengan mudah membuka pintu mobil untuk meludah. Itu dilakukan dengan entengnya meski mobil masih berjalan dalam kecepatan tinggi.  ”SEA Games 2013 seperti menjadi gerbang Myanmar yang mulai terbuka. Setelah itu, banyak hal baru yang masuk ke sini,” jelas Myo yang sempat berkuliah di Singapura dan Malaysia.

Myanmar memang untuk ”kali pertama” menjadi tuan rumah SEA Games pada 2013 setelah absen puluhan tahun. Tercatat, negara pimpinan Aung San Suu Kyi itu pernah menjadi tuan rumah pada SEA Games 1961 dan 1969. Namun, keduanya terdaftar masih dengan nama Burma. 

Myo menyebutkan, Myanmar mulai terbuka pada 2010. Yakni, saat pemilu memenangkan partai USDP yang dipimpin Thein Shein. Dia memang orang militer, tetapi lebih terbuka setelah Myanmar dilanda bencana dahsyat pada 2008. Saat itu Myanmar diterjang badai Nargis dan membutuhkan bantuan dunia untuk melakukan renovasi.

Bencana yang menewaskan ratusan ribu warga Myanmar itu terjadi tidak jauh dari kampung halaman Thein Shein. Makin banyak alasan bagi Myanmar untuk membuka diri. ”Termasuk dengan mata uang asing. Kami lantas tidak lagi pakai FEC,” kata Myo.

FEC (Foreign Exchange Certificates) adalah bank notes yang dikeluarkan pemerintah Myanmar saat masih tertutup. Mata uang asing tidak boleh beredar di Myanmar dan digantikan dengan semacam uang khusus. Nilai FEC itu juga ditentukan pemerintah. Misalnya, 1 FEC sama dengan 1 dolar Amerika. 

”Kalau mau masuk Myanmar, dulu uang dolarmu harus ditukar ke FEC, lantas ditukar lagi ke kyats (mata uang Myanmar). Begitu juga kalau ke luar negeri. Kyats ditukar dengan FEC dulu sebelum ditukar dengan dolar,’’ terangnya.

Mulai terbukanya Myanmar membuat Myo lantas tertarik untuk menjadi tour guide. Pengalamannya bersekolah di luar negeri membuatnya menguasai bahasa Inggris. Dia pun bisa menjadi penyambung lidah dengan orang lokal Myanmar yang minim berbahasa Inggris. 

”Banyak potensi Myanmar yang perlu diketahui orang. Tidak hanya soal pagoda, negaraku juga punya pemandangan alam yang indah,” ujarnya bersemangat.

Dia juga optimistis, dengan keterbukaan itu, Myanmar siap sejajar dengan negara Asia Tenggara lain. Apalagi, pemerintah menunjukkan keseriusan dengan mempermudah investor masuk ke Myanmar. Bahkan, bandara sebagai pintu gerbang masuk negara sudah direnovasi supaya lebih besar dan indah. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Myanmar vs Indonesia 1-7: Pulang dengan Kebanggaan

Kapolres: Pesta Pantai Pulau Sirandah Ilegal