in

Menantikan Pemilu Elektronik di Indonesia

Tepat pada 15 Februai 2017 ini rakyat Indonesia akan kembali menggelar pesta demokrasi yang bertajuk pemilhan kepala daerah (Pilkada) serentak jilid 2. Tercatat pilkada serentak jilid 2 ini akan dilaksanakan oleh 101 daerah di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Masyarakat kembali akan menggunakan hak politiknya untuk memilih para pemimpin yang akan memimpin mereka di daerah masing-masing untuk 5 tahun ke depan.

Sebelum pilkada serentak dimulai, DKI Jakarta sudah terlebih dahulu memanaskan mesin pilkada dengan serba-serbi Pilkada Jakarta. Berbagai mata dari penjuru nusantara perhatiannya tertuju pada Pilkada Jakarta hingga panasnya nuansa Pilkada Jakarta juga sampai dirasakan di daerah-daerh yang juga ikut membentuk opini publik di daerah.

Perlu di ketahui, sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu 1945, 1971, 1977, 1982, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Akan tetapi pemilihan pada tahun 1955 merupakan pemilihan umum yang dianggap istimewa karena di tengah suasana kemerdekaan yang masih tidak stabil Indonesia melakukan pemilu, bahkan dunia internasional memuji pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum berlangsung dengan terbuka, jujur, dan fair, meski belum ada sarana komunikasi secanggih pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.

Sejak dulu sampai sekarang Indonesia tidak pernah berhenti mencari sistem pemilu yang benar-benar cocok. Namun yang pasti, sejak dahulu sampai sekarang Indonesia selalu menerapkan model proporsional meskipun belakangan ini model  proporsional yang berlaku bukan semurni asalnya.

Pada pemilu 1999 Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup, tahun 2004 menggunakan sistem proporsional semi terbuka. Dinamakan dengan semi terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai dalam perolehan kursi di  parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut.

Tahun 2009 menjadi proporsional daftar terbuka setelah MK mengabulkan judicial review dengan menghapuskan pasal 214, UU Nomor 10 Tahun 2008 yang mengatur penetapan calon legislatif (caleg) berdasarkan nomor urut jika tidak memenuhi ketentuan 30 % dari BPP. Pada tahun 2009 calon dipilih sesuai dengan suara terbanyak sehingga proporsional terbuka benar-benar diterapkan.

Sistem proporsional terbuka dapat juga dikatakan sebagai sistem semi distrik, sebab sistem ini mengombinasikan ciri-ciri atau lebih tepatnya kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam sistem distrik dan proporsional, sekaligus menimalisir kekurangan yang ada pada keduanya. 

Selain sistem pemilu, Indonesia pun pada saat ini masih menggunakan sistem pemungutan suara konvensional yang masih dilakukan secara manual dengan cara mencoblos. Pada umumnya sistem ini sudah banyak ditinggalkan oleh negara di dunia, hanya Indonesia dan Kamerun yang masih mempertahankan penggunaan pemilu dengan sistem coblos.

Perlu disadari, bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat, sistem pemilu yang di anut Indonesia telah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pemilu termahal di dunia. Dengan melibatkan sebanyak 4,5 juta petugas pemilu, biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia adalah sebesar Rp 20 triliun. Hal ini terjadi karena pemilu Indonesia menggunakan asas secara langsung untuk kursi DPD, DPRD, DPR RI.

Mengingat pemilihan kepala daerah (pilkada), pemelihan legislatif (pileg), dan pemilhan presiden (pilpres) merupakan agenda rutin dalam setiap pemilihan yang dilaksanakan satu kali dalam lima tahun pada negara demokrasi, maka ada baiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera mengupdate sistem pemungutan suara dalam setiap penyelenggaran pemilihan. Baik di tingkat daerah (pilkada) maupun skala nasional (pileg dan pilpres).

Hal ini sangat penting untuk segara dilakukan, agar pemungutan dalam setiap penyelenggaraan pemilu lebih efisien dan efektif. Sudah saatnya kita beralih ke sistem pemungutan suara elektronik atau elektronik voting (e-voting) dan meninggalkan sistem pemungutan lama yang terlalu mahal dan kurang memberikan kepuasan terhadap pelaksanaannya serta memakan waktu yang lama.

Jika kita telisik, penggunaan sistem e-voting di negara lain, contohnya Brasil menerapkan e-voting sejak 1996. Tapi tak langsung keseluruhan wilayah Brasil, tapi dilakukan uji coba lebih dahulu di negara bagian Santa Catarina. Di Brasil, kombinasi sistem multipartai dengan proporsional terbuka, surat suaranya luar biasa besar, seperti di Indonesia.

Sehingga proses memberikan suara dan penghitungannya pun rumit, memakan waktu yang lama, dan harus melibatkan banyak orang. Mesin e-voting telah mampu mengeliminasi kendala-kendala tersebut, sehingga memberikan hasil lebih cepat, serta mengurangi manipulasi. Sekitar 400 ribu mesin e-voting digunakan dalam pemilu di Brasil dan hanya dalam hitungan menit setelah TPS ditutup, hasil pemilu sudah bisa diketahui.

Sedangkan di Indonesia sistem e-voting memang sudah direncanakan dan mesin e-voting pun sudah dirancang oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Bahkan di gadang-gadang sistem ini akan lebih unggul dari yang dipakai Brasil dan setara dengan Belanda, Irlandia, dan Jerman serta beberapa negara bagian Amerika.

Kelebihan dari sistem e-voting ini yakni; (i) layanan tersebut menggunakan perangkat elektronik untuk memberikan suara. (ii) dapat menghitung dan mencetak struk audit. (iii) mampu melakukan pengiriman langsung dari perangkat di TPS ke KPU. (iv) E-voting dapat menghitung hasil dengan cepat dan akurat karena menggunakan perangkat elektronik.

Tak hanya penggunaan e-voting dalam pemungutan suara, penggunaan KTP elektronik (E-KTP) sebagai syarat bagi para pemilih untuk memilih pada pemilu bila mampu disatupadukan dan diselaraskan dengan baik, maka besar kemungkinan membuat penyelenggaraan pemilu dengan penerapan e-voting secara nasional semakin terbuka. BPPT pun sudah melakukan berbagai ujicoba di tingkat dusun, desa, dan simulasi di sejumlah TPS di pilkada.

Namun,kemudahan yang diberikan sisteme-voting dalam pemungutan suara, untuk saat ini masih diperlukan pengkajian yang lebih dalam lagi supaya manfaat dan hasil yang diberikan lebih optimal sehingga mampu membawa dampak yang luar biasa bila diterapkan nantinya.

Sebab, penerapan e-voting bukan hanya soal kesiapan teknologi, tetapi juga kesiapan mental terutama kepercayaan (trust) pemilih dan kontestan pemilu, serta tentunya kesiapan penyelenggara pemilu itu sendiri. Karena itu, harus dirumuskan secara lebih cermat apa masalah dalam pemungutan suara di Indonesia dan langkah apa yang perlu diambil. Kita harus memperhitungkan dampak terburuk dari kegagalan e-voting, karena pemungutan suara merupakan jantung dari keseluruhan proses pemilu. Semoga e-voting bisa diterapkan pada suatu saat nanti. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Mari Tenang pada Masa Tenang

Pilkada: Memilih dan tidak Memilih