in

Menjadi Guru Sejati

“Jasa guru bukan sebuah, lebih sabagai bapak kandung, dari neraka dihelokannyo, dari bodoh inyo cerdikkan, wajib sekali terima kasih, sabagi syukur mambalas jaso.” (Kira-kira arti bebasnya: jasa guru bukan hanya satu, ia melebihi orangtua kandung, dari neraka ia selamatkan, dari bodoh ia cerdaskan, maka wajiblah berterima kasih sebagai rasa sukur membalas jasa).

Demikian goresan pena Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Canduang) dalam kitab “Pedoman Hidup di Alam Minangkabau Menurut Garisan Adat dan Syarak” (1939: 23).

Syawqi dalam syairnya: Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul. Jauh sebelumnya, Ali bin Abi Thalib k.w. menyebut: Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepadaku, terserah dia jika mau menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku.

Ya, guru adalah induk segala profesi. Apa pun jabatan profesi yang kita miliki, semuanya tidak terlepas dari jasa guru. Guru adalah pelukis masa depan. Guru adalah arsitek peradaban.

Lalu guru manakah yang patut mendapat penghormatan dan kemuliaan itu? Tentu, mereka adalah guru sejati. Itulah guru yang beriman, cerdas, berkarakter dan berhati mulia. Mereka tampil sebagai guru profesional, jadi teladan, memberi inspirasi, mencerdaskan dan mencerahkan serta mengantarkan peserta didiknya menjadi hamba yang mengenal khaliqnya.

Guru sejati tak boleh sakit, terlebih sakit ruhani. Dendam, dengki, pemarah, pengadu domba, atau tamak akan harta dan kemewahan dunia harus dijauhi guru. Sebab guru menjadi orang yang digugu dan ditiru.

Namun guru bukan malaikat. Adakalanya mereka salah dan khilaf. Tetapi, guru yang ideal mengetahui jika ia memiliki kesalahan sehingga ia tidak larut dalam kesalahannya. Jika kesalahan itu tetap berulang, ia cepat sadar sedang mengidap penyakit hati, lalu ia segera mengobatinya. Itulah kearifan seorang guru.

Guru juga manusia biasa. Karena itu, guru juga memiliki kebutuhan fisik. Mereka perlu makan dan kehidupan yang layak. Mereka berhak memperoleh kesejahteraan yang dapat menjamin kesehatan dan pendidikan anak-anaknya.

Kondisi guru di Indonesia, di satu sisi telah memperoleh penghormatan dari negara. Tunjangan sertifikasi bagi guru profesional merupakan salah satu bukti keseriusan pemerintah meningkatkan kualitas sekaligus kesejahteraan guru.

Namun di sisi lain, sejumlah problematika guru masih menunggu penyelesaiannya. Sebut saja nasib guru honorer yang memperoleh gaji sangat rendah tak manusiawi, tunjangan sertifikasi yang salah sasaran, pembinaan guru yang tidak merata, beban tugas guru yang kurang proporsional, tekanan kebijakan bermuatan politis, hingga perlindungan hukum terhadap guru yang diperlakukan secara zalim oleh oknum orang tua peserta didik. Maka jangan pelakukan guru seperti babu, jika ingin negeri ini maju.
Terlepas dari berbagai persoalan itu, guru mesti tetap semangat. Guru tidak boleh pesimis. Guru adalah benteng terakhir mewujudkan manusia paripurna (insan kamil). Profesi guru adalah pilihan. Maka lakukan tugas guru dengan sepenuh jiwa. 

Bukankah di saat memilih tugas sebagai guru, kita telah menerima amanah dari orangtua untuk mendidik anak-anak mereka? Dan mengemban amanah merupakan suatu kewajiban. Maka jadilah guru sejati.

Caranya? Belajarlah pada Sang Guru Utama, Nabi Muhammad SAW. Peran dan tugas Rasulullah SAW sebagai guru sejati dapat dilihat dari firman Allah SWT: sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (Albaqarah: 151).

Paling tidak ada lima tugas Nabi SAW sebagai guru sejati yang seharusnya dipedomani dan dikembangkan oleh guru hari ini. Pertama, tilawah, yaitu mengajar dengan membacakan ayat-ayat Allah. Membaca ayat-ayat Allah, baik yang tertulis dalam Al Quran maupun dengan mengamati fenomena alam sebagai ayat-Nya penting dilakukan, sehingga memiliki keyakinan bahwa semua ciptaan Allah memiliki keteraturan yang bersumber dari Allah, serta memandang tak satu pun ciptaan-Nya yang sia-sia.

Hal ini relevan dengan kebijakan pemerintah dewasa ini dengan “Gerakan Literasi Sekolah”. Guru dituntut untuk menjadi sosok literal dan mampu memotivasi peserta didik untuk gemar membaca. Meski guru menjadi sumber belajar, tetapi guru tak boleh berhenti membaca, menelaah dan melakukan penelitian sederhana, sehingga dalam menjalankan tugas ia tampil profesional.
Aktivis membaca harus didasari oleh tauhid, seperti yang tersirat dalam wahyu pertama diterima Nabi SAW: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dalam konteks ini, guru harus membaca agar semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Kedua, tazkiyah, yaitu menyucikan. Rasulullah SAW telah berhasil menyucikan jiwa umatnya dari segala bentuk kemusyrikan, kekafiran dan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan karena Nabi SAW sendiri memiliki jiwa yang bersih, akhlak yang mulia (Qs. Qalam ayat 4).

Dalam konteks ini, guru harus berupaya senantiasa menyucikan jiwanya. Sebab, guru yang berjiwa kotor tidak akan mampu menyucikan jiwa peserta didiknya. Inilah kunci pembentukan karakter yang kini lagi dikembangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) pasti gagal jika guru hadir tanpa karakter. Sebaliknya, PPK niscaya berhasil di tangan guru yang memiliki kebeningan hati, jiwa yang suci dan perilaku yang berbudi.

Ketiga, ta’lim al-kitab, yaitu mengajarkan kitab, Al Quran. Inilah mukjizat terbesar Nabi SAW. Dengan Al Quran, Allah menuntun manusia untuk memperoleh hidayah-Nya, sehingga benih-benih kasih sayang tumbuh mekar dalam dada setiap mukmin. Umat pun tampil membawa rahmat bagi segenap alam.

Guru sejati juga bertugas mengajarkan pesan Al Quran kepada peserta didiknya. Apa pun mata pelajaran yang diampu oleh guru, hendaklah diintegrasikan dengan ayat-ayat Allah SWT. Hal ini relevan dengan kurikulum 2013 yang memperhatikan sikap spiritual pada Kompetensi Inti satu (KI 1). Sikap spiritual peserta didik akan mudah terbentuk melalui pendidikan agama. Sementara dasar utama ajaran agama Islam adalah Al Quran. Maka ilmu yang diajarkan oleh setiap guru hendaknya terkait dengan pesan-pesan mulia Al Quran.

Dalam hal ini, guru yang beragama Islam dapat bekerja sama dengan guru PAI untuk merumuskan pola pembelajaran terintegrasi dengan ayat-ayat atau pesan-pesan Al Quran. Begitu pula gerakan literasi di sekolah dapat dikembangkan dengan melakukan kajian terhadap ayat-ayat Al Quran, sebab negeri ini akan berjaya jika rakyatnya dekat dengan kitab sucinya.

Keempat, ta’lim al-hikmah, yaitu mengajarkan hikmah. Dalam tafsir Ibn Katsir, hikmah berarti Sunnah. Rasulullah SAW mengajar manusia dengan ucapan dan tindakannya yang sesuai dengan Al Quran. Itulah hadis yang juga menjadi pegangan hidup manusia.
Sementara Imam Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa hikmah adalah kecocokan perbuatan dengan ilmu, maka siapa yang serasi antara perbuatan dengan ilmunya, berarti ia telah mendapat hikmah.

Guru sejati juga mengajar peserta didiknya dengan hikmah. Ini bermakna bahwa guru harus meneladani perilaku Nabi SAW dengan mempedomani sunahnya. Guru juga mesti memiliki integritas kepribadian; satu antara perkataan, pemikiran dan perbuatan. Perilaku guru harus selaras dengan keilmuan yang dimilikinya. Jadilah guru teladan, sehingga peserta didik memiliki panutan dalam memperoleh hikmah.

Dalam surat QS. Al-Baqarah: 269 dijelaskan bahwa hikmah diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Mereka termasuk dalam kategori ulul albab. Adapun karakter ulul albab adalah mereka yang senantiasa berzikir dan berpikir (QS. Ali Imran: 190-191). Maka di antara upaya guru mendidik peserta didiknya dengan hikmah adalah dengan melatih zikir dan pikir.

Kelima, ta’lim ma lam takunu ta’lamun, yaitu mengajarkan apa-apa yang belum kamu ketahui. Nabi SAW adalah pendidik sejati yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada umatnya berdasarkan tuntunan wahyu yang ia terima. Sebelumnya masyarakat jahiliyah tenggelam dalam kedunguan akidah, tertutupnya hati nurani dan menjadi pemuja kemewahan dunia. Lalu, Nabi SAW mendidik manusia untuk mengetahui hakikat diri dan pencipta-Nya. Umat manusia pun mengenal Allah dan memahami cara mengabdikan diri pada-Nya.

Guru sejati penuh dengan kreasi dan inovasi. Ia dapat mengajarkan sesuatu yang benar-benar asing, belum diketahui oleh peserta didiknya. Hal ini memicu inovasi, penemuan-penemuan produk teknologi, atau konsep-konsep baru yang bermanfaat, mempermudah dan membantu kehidupan manusia sehari-hari.

Lima peran dan tugas Rasulullah SAW sebagai guru sejati dalam surat Al-Baqarah ayat 151 di atas menjadi pelajaran berharga bagi guru Indonesia. Keteladanan Nabi SAW sebagai pendidik tidak hanya menjadi contoh bagi guru muslim semata, tetapi bagi seluruh guru Indonesia. Sebab, Nabi SAW menginspirasi dunia untuk membangun peradaban bernilai tinggi, seperti masyarakat madani yang memancarkan cahaya kedamaian dan kebahagiaan (madinah al-munawwarah).

Mari menghormati guru dengan mengamalkan ilmu yang ia berikan dan mendoakan agar Allah SWT memberikan kemuliaan dan kebahagiaan pada mereka. Selamat Hari Guru! (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

235 Orang Tewas, Ratusan Terluka

Pertalite SPBU Matoaia Bercampur Air