in

Minangkabau Cup

Tulisan saya, setahun lalu, di Harian Umum Rakyat Sumbar dan Padang Ekspres, tepatnya Rabu, 16 Maret 2016, menyigi perihal Irman Gusman Cup 2016. Kala itu, Irman Gusman Cup digadang-gadangkan sebagai iven sepakbola terbesar di Sumatera Barat. Fakta dan datanya membuktikan, namun saya justru mengkhawatirkan kesinambungannya.

Ketika itu, kehadiran Irman Gusman Cup bagaikan setetes air di padang gersang. Ia menjadi pelepas dahaga bagi kompetisi usia muda, setelah tenggelamnya Sumantri Brojonegoro Cup, yang pada masanya diputar bagi anak-anak muda usia SLTA. Irman Gusman Cup mempertandingkan antar-kecamatan. Iven ini diikuti 179 dari 184 kecamatan di Sumbar ikut serta. 

Ada 4.600 pemain, 1.200 ofisial dari 19 kabupaten dan kota. Menariknya ada regulasi khusus untuk usia pemain. Minimal 8 pemain usia di bawah 17 tahun, sisanya U-19 dan U-23. Sasaran awal, pemain tersaring akan dibawa ke Spanyol atau pelatih asal Spanyol yang didatangkan serta dipersiapkan untuk PON XX/2020 di Papua.

Ketika itu, kejuaraannya hampir mirip dengan kejuaraan serupa, Harun Zein Cup. Pada masanya, Harun Zein Cup mempertandingkan antar nagari. Kejuaraan yang titelnya diambil dari nama mantan Gubernur Sumbar Harun Zein, dan kemudian terhenti di akhir 1980-an, dan kemudian dihidupkan kembali oleh DPD KNPI Sumbar, semasa dinahkodai Hendra Irwan Rahim, tahun 1992, namun hanya sekali saja, setelah itu kembali tak ada kabar.

Fokus tulisan saya setahun lalu, mengkritisi perihal kesinambungan. Ketika itu, saya tak yakin kalau iven tersebut akan berlanjut. Ketika itu saya mengungkapkan, sanggupkah turnamen ini bergulir lebih dari lima musim berturut? Jika berjalan konsisten, dipastikan Sumbar akan menjadi gudang sepakbola tersendiri, setidaknya mampu memenuhi kebutuhan sendiri, minimal untuk tim PON Sumbar, PSP Padang, Semen Padang. Tidak bergantung lagi pada pemain dari luar daerah atau pemain asing.

Kekhawatiran saya, agenda ini hanya berupa turnamen sesaat, putus di tengah jalan, mungkin saja terjadi. Ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan, maka komitmen bisa saja berubah. Janji insan olahraga bisa saja berganti, namun demikian kita tetap berharap agar olahraga tetaplah aktivitas yang berangkat dari sportivitas, bukan karena adanya kepentingan tertentu, apalagi jika dikarumuaktumuak-an dengan kepentingan politik.

Hopp. Ternyata, kekuatiran saya menjadi kenyataan. Persoalan yang kini dihadapi Irman Gusman, memaksa “judul” iven berganti, sementara pelaksananya tak jauh berbeda. Kini, namanya Minangkabau Cup.

Minangkabau Cup dibentang setahun setelah Irman Gusman Cup 2016. Formatnya tak jauh berbeda. Peluang mendapatkan pemain-pemain bertalenta semakin terbuka, sejalan dengan semakin terbukanya kesempatan berlaga bagi pemain-pemain muda.

Jika sebelumnya hanya juara antar kabupaten/kota yang melangkah ke babak kedua, kali ini justru diperhitungkan berdasarkan kuota. Setiap 2-8 kecamatan yang bertanding, maka 1 tim yang berhak lolos ke babak 32 besar. Jika  9-15 kecamatan, maka ada dua tiket. Jika  15-17 kecamatan, maka daerah tersebut mendapatkan jatah tiga tiket.

Kondisi ini, ternyata sebenarnya sejajar dengan regulasi Liga 1 Indonesia, yang dimulai 15 April 2017. Regulasi tersebut memberikan peluang besar bagi talenta-talenta muda Indonesia untuk bisa mencicipi kasta tertinggi sepakbola Indonesia.

Regulasi itu, di antaranya; setiap klub hanya boleh mengontrak maksimal tiga pemain asing, dua merupakan pemain non-Asia dan satu pemain Asia atau disebut aturan dua plus satu. Klub bisa memiliki empat pemain asing kalau bisa mendatangkan pesepak bola ternama atau disebut marquee player. Syarat marquee player yang ditetapkan PSSI adalah umur harus di bawah 35 tahun, pernah bermain setidaknya di tiga putaran Piala Dunia terakhir (untuk hal ini pada tahun 2006, 2010 dan 2014) dan bebas dari negara mana saja. Setiap klub diharuskan mengontrak sedikitnya lima pemain dengan umur di bawah 23 tahun (U-23). Klub wajib memainkan paling sedikit tiga orang pada setiap laga dengan total durasi sedikit-dikitnya 45 menit.

Regulasi itu adalah pintu masuk bagi pemain-pemain muda untuk bisa masuk ke skuat klub yang berlaga dan membutuhkan tenaga-tenaga muda. Sasarannya, kelak Indonesia tidak kekurangan pemain muda berpengalaman.

Harun Zein Cup yang dimulai pada era 1970-an, tak hanya memunculkan nagari-nagari yang terkenal memiliki akar sepakbola yang kuat, di antaranya Kototangah, Cangkeh (kala itu masuk Padangpariaman), Balakang Tangsi (Padang), Ampek Angkek Canduang (Agam), Tanjuangmutiara (Agam). Pemain-pemain yang dihasilkan dari ajang ini, antara lain Irawadi Uska (alm), Idrus Ali, Arif Pribadi, Syofinal, Gusril, Faisal Fahmi, Darman Manggus. Nama-nama itu menginspirasi anak-anak muda berikutnya.

Ditahun 1980, anak-anak nagari se-Sumbar yang semula membela PSP Padang, menjadi penopang utama awal berdirinya PS Semen Padang, yang berlaga di divisi I galatama. Nama-nama seperti Nil Maizar, Ramlan, Dahlan, Delvi Adri, Afdal Yusra, Aprius, Joni Effendi, Hendra Susila, Abdul Azis, Wellyansyah, Toni Tanjung, M Syukron Chaniago, merupakan anak-anak muda Sumbar yang semakin memperkokoh peta sepakbola Indonesia.

Semakin terbukanya kesempatan mengaplikasikan kemampuan di lapangan hijau, dan adanya regulasi menguntungkan di kancah sepakbola Indonesia, tentu saja memberikan motivasi tersendiri bagi generasi muda. Kini saatnya. Inilah dunia kita sesungguhnya untuk memberikan kemampuan sesungguhnya.

Dari nama, Minangkabau Cup, sudah memberikan  jaminan bahwa iven ini benar-benar menjadi milik rang Minang. Tinggal bagaimana benar-benar mengelola secara benar dan mampu menghimpun potensi yang ada di nagari ini. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Tidak Memiliki Lengan

Polri Kembalikan Hak Tanah Rakyat