in

Prioritas Dana Desa, Pilihan Atau Paksaan?

Ilustrasi. Dok: lampost.Co

Oleh: Kemal Pasya, S.IP, MPA*)

Pemerintah memiliki kepentingan yang besar untuk mengatur agar Dana Desa yang bersumber dari APBN dapat digunakan sesuai ketentuan. Mulai tahun 2015 hingga 2018 ini, prioritas penggunaan Dana Desa diarahkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pada bidang pembangunan dan bidang pemberdayaan masyarakat. Bahkan, pada tahun 2017 dan 2018 Dana Desa difokuskan untuk membiayai kegiatan yang bersifat lintas bidang seperti kegiatan produk unggulan desa, Badan Usaha Milik Desa, embung desa, dan sarana olahraga. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah prioritas Dana Desa merupakan pilihan atau paksaan?

Jawaban untuk pertanyaan tersebut dapat dianalisa pendekatan normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pilihan atau paksaan, silahkan dicerna sesuai perspektif dan kepentingan masing-masing. Tidak menutup kemungkinan pula lahir alternatif jawaban berbeda selain pilihan atau paksaan tersebut.

Kewenangan Desa

Pertama, kewenangan desa. Melalui UU Desa, saat ini desa diberikan keleluasaan untuk mengidentifikasikan rincian kewenangan yang diatur dan diurus langsung oleh desa, yakni kewenangan berdasarkan hak asal usul desa dan kewenangan lokal berskala desa. Makna “diatur” adalah, desa memiliki kekuasaan untuk menetapkan daftar kewenangan desa setelah dibahas pada musyawarah desa, disepakati antara kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa dan ditetapkan dalam Peraturan Desa.

Sedangkan makna “diurus” adalah, pemerintah desa bersama dengan masyarakat merencanakan dan melaksanakan jenis-jenis kegiatan tertentu yang sesuai dengan kewenangan desa. Idealnya, bila ada kegiatan yang bukan bagian dari kewenangan desa maka dapat dipastikan tidak dapat dibiayai oleh Dana Desa. Poin penting dari analisa ini adalah identifikasi kewenangan desa merupakan hal yang paling mendasar untuk melegitimasi dan melegalkan penggunaan Dana Desa.

Penentuan kewenangan desa ini sering dipandang remeh oleh sebagian kabupaten/kota dan gampong yang ada di Aceh. Bahkan, sejak dimulainya penerapan UU Desa mulai tahun 2015 yang lalu, wacana identifikasi dan inventarisasi daftar kewenangan desa baru bergulir sejak pertengahan tahun 2016. Prosesnya pun berlangsung panjang, di antaranya diawali dengan penyusunan draft peraturan bupati/walikota tentang daftar kewenangan gampong sebagai tindak lanjut dari terbitnya Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa. Peraturan bupati/walikota tersebut baru dapat ditetapkan apabila telah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur setelah berkoordinasi dengan Menteri.

Proses panjang ini tentu menyita waktu yang cukup lama, sehingga bukan tidak mungkin terjadi kekosongan acuan peraturan terkait kewenangan desa. Akan tetapi, agar terang batasan pembagian antara kewenangan gampong dan kewenangan kabupaten/kota, maka proses tersebut harus dilaksanakan secermat mungkin, terutama dengan melibatkan peran serta pemerintah gampong serta unsur masyarakat.

Sebagai contoh, pada Pasal 11 huruf e dalam Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 disebutkan bahwa salah satu kriteria kewenangan lokal berskala Desa adalah program atau kegiatan sektor yang telah diserahkan ke Desa. Pertimbangan terhadap kriteria tersebut akan berimplikasi pada munculnya program atau kegiatan di gampong yang dahulunya dilaksanakan oleh organisasi perangkat daerah terkait, misalnya pembangunan jalan gampong antarpemukiman ke wilayah pertanian.

Contoh berikutnya adalah kebalikan dari contoh sebelumnya. Pada Pasal 8 dalam Permendesa PDTT Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, disebutkan bahwa penetapan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan salah satu kewenangan Desa pada bidang pemerintahan. Gampong tidak dapat meminta pemerintah kabupaten/kota untuk membentuk BUM Desa dan menentukan jenis bisnisnya, layaknya BUMD milik daerah.

Musrenbangdes

Kedua, musyawarah perencanaan pembangunan desa atau musrenbangdes. Mekanisme musrenbangdes tersebut bertujuan untuk membahas dan menyepakati program/kegiatan yang akan dilaksanakan pada masa jangka menengah dan tahunan. Ouputnya adalah RPJM Desa dan RKP Desa. Secara konseptual, RPJM Desa berfungsi sebagai milestone jangka menengah untuk mencapai visi dan misi kepala desa. Oleh sebab itu, selain mencerminkan kondisi sosial masyarakat dan potensi asli desa, RPJM Desa juga harus selaras dengan RPJM Daerah sehingga perencanaan program/kegiatan lebih terarah, tepat dan akurat. Inilah kesempatan bagi desa untuk membahas dan menyepakati poin-poin kegiatan yang menjadi prioritas untuk dibiayai dari Dana Desa, kemudian dijabarkan setiap tahun ke dalam RKP Desa.

Pada konteks Aceh, persoalan yang kerap dijumpai pada musrenbang juga tidak lepas dari kurang pahamnya gampong tentang pembagian kewenangan gampong. Tak jarang kegiatan dengan nilai kurang dari puluhan juta rupiah justru menjadi daftar usulan kepada pemerintah daerah, dan sebaliknya kegiatan yang relevan dengan kewenangan dan kebutuhan gampong walaupun nilainya besar justru tidak menjadi rencana kerja.

Proses musrenbang gampong ibarat mengurai benang kusut, memasukkan ke dalam lubang jarum dan menjadikan selembar kain rajutan yang indah. Perhatikan bagaimana aturan memandu gampong untuk melaksanakan hal tersebut. Pada Paragraf 4 Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, diuraikan dengan amat rinci tentang teknis pengkajian keadaan desa yang berangkat dari data dan penggalian gagasan masyarakat. Gampong harus bersabar untuk menemukenali potensi dan peluang pendayagunaan sumber daya yang ada, serta permasalahan terkini yang sedang dihadapi oleh gampong. Tahapan tersebut akan sangat membantu gampong untuk melahirkan rencana kegiatan yang sangat prioritas, tidak hanya sekadar agar Dana Desa terserap tetapi juga kegiatan yang menjadi solusi.

Pedoman Teknis Penggunaan Dana Desa

Ketiga, pedoman teknis penggunaan Dana Desa. Pada setiap Peraturan Menteri Desa PDTT selalu tersebut satu pasal yang memberikan wewenang bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun pedoman teknis penggunaan Dana Desa. Pedoman tersebut disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan desa, karakteristik wilayah dan kearifan lokal desa, dan keterbatasan waktu penyelenggaraan perencanaan pembangunan desa. Penting untuk menjadi perhatian bagi desa agar cermat dalam memperhatikan pedoman teknis tersebut, dikarenakan setiap desa memiliki tipologi dan potensi yang berbeda-beda. Apabila hal ini kurang dipertimbangkan, bukan tidak mungkin Dana Desa dialokasikan untuk hal-hal yang non prioritas.

Oleh sebab itu, gampong-gampong di Aceh tidak perlu berharap bahwa pedoman teknis tersebut bertentangan dengan peraturan menteri. Sama sekali tidak. Justru prioritas pada bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat itulah yang kemudian diuraikan menjadi turunan-turunan yang lebih teknis sesuai dengan kondisi masing-masing kabupaten/kota. Selama ketentuan itu ditata dengan baik, tentu akan memberi kemudahan bagi gampong untuk menentukan kegiatan prioritas yang cocok. Pun demikian, pemerintah daerah mesti memahami apabila ada prioritas kegiatan yang tidak masuk ke dalam rencana kerja untuk dibiayai dengan Dana Desa, tentunya setelah disepakati pada musrenbang dan melewati proses evaluasi oleh pemerintah daerah.

Pilihan atau Paksaan?

Berdasarkan analisa yang telah diuraikan, pendapat saya lebih condong bahwa prioritas penggunaan Dana Desa merupakan pilihan. Desa ibarat seorang pemuda yang beranjak dewasa dan ingin hidup mandiri setelah menikah. Tugas kita adalah membantu mewujudkan kemandirian tersebut tanpa mengekang sikap desa, namun tetap dalam koridor yang tertib dan indah. Bagaimana menurut anda? Apakah prioritas Dana Desa merupakan pilihan yang dipaksakan, atau terpaksa untuk memilih?

*)Penulis adalah Kepala Seksi Penguatan dan Fasilitasi Keuangan Mukim dan Gampong.Magister Administrasi Publik pada Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Komentar

What do you think?

Written by Julliana Elora

Yang Suka Travelling Wajib Baca Untuk Kecantikan Kulitmu

Kata Nurzahri Terkait Kebijakan Impor Beras Presiden Jokowi