in

Seniman Serbabisa Itu Meninggal saat Mempersiapkan “Ngayogjazz”

Seniman kenamaan Grego­rius Djaduk Ferianto tutup usia. Djaduk, 55 tahun, meninggal du­nia pada Rabu (13/11), pukul 02.30 WIB. Kepergian aktor, sutradara, dan musisi putra dari Bagong Kussudiardja, koreografer dan pelukis senior Indonesia, ini cukup mengejutkan pihak keluarga dan para sahabatnya. Di dunia seni, Djaduk dikenal sangat aktif berkarya. Kiprah adik kandung dari Butet Kartaredjasa ini memang sudah diakui kalangan seni di Tanah Air.

Dikenal sebagai seniman serbabisa, sejak kecil, Djaduk sudah aktif di dunia seni dari padepokan seni yang dipimpin ayahnya. Ber­sama kakaknya, Butet Kertaradjasa, Djaduk pernah ikut membesarkan membesarkan Teater Gandrik, grup teater fenomenal asal Yogya. Selain Djaduk dan Butet, teater itu juga diperkuat oleh para seniman kenamaan, seperti Heru Kesawa Murti, Jujuk Prabowo, Saptaria, Susilo Nugroho, dan lain-lain.

Sebagai seniman, Djaduk adalah musisi kotemporer Indonesia yang karya-karyanya banyak mewarnai berbagai ranah bidang kesenian. Dia menggarap komposisi, musik teater, musik film, pentas tunggal, hingga mengamen di jalanan. Se­lain bermusik, Djaduk juga dikenal sebagai aktor dan perupa.

Lahir di Yogyakarta, 19 Juli 1964, dalam bermusik, ia lebih berkon­sentrasi pada penggalian musik-musik tradisi. Djaduk adalah salah satu anggota dari kelompok musik Kua Etnika, musik humor Sinten Remen, dan Teater Gandrik. Selain bermusik, dia juga menyutradarai beberapa pertunjukan teater dan menggarap ilustrasi musik untuk sinetron di televisi.

Djaduk pernah mendirikan Kelompok Rheze yang tahun 1978 pernah dinobatkan sebagai Juara I Musik Humor Tingkat Nasional, mendirikan Kelompok Musik Kreatif Wathathitha. Pada tahun 1995, bersama dengan kakaknya, Butet Kertaradjasa dan Purwanto, mendirikan Kelompok Kesenian Kua Etnika, yang merupakan penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern. Pada tahun 1997, Djaduk mengolah musik keroncong dengan mendirikan Orkes Sinten Remen.

Salah satu hal yang pernah mengganjal Djaduk adalah la­bel lokal dan nasional. Ia pernah mengalami diskriminasi itu sejak 1979. Djaduk baru bisa masuk industri secara nasional tahun 1996, setelah muncul di acara Dua Warna RCTI. Maka ketika Djaduk banyak menerima job tingkat nasional, ia tetap bertahan sebagai orang lokal. Tak akan menetap atau berdomisili Jakarta, meski frekuensi tampil di Ibu Kota sangat tinggi. Djaduk dan kelompoknya tetap berada di Yogya.

Djaduk juga diketahui merupakan salah satu penggagas pergelar­an musik “Ngayogjazz” yang tahun ini akan diselenggarakan pada 16 November 2019.

Kakak kandung Djaduk, seni­man Butet Kertaradjasa, menilai almarhum sebagai sosok seniman pekerja keras dan disiplin dalam mempersiapkan berbagai pe­mentasan seni yang akan digelar. “Pekerja keras, penuh disiplin menyiapkan segala sesuatu secara perfectionist,” kata Butet saat ditemui di rumah duka, di Dusun Kembaran, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Rabu.

Menurut Butet, Djaduk mengem­buskan napas terakhir karena mengalami serangan jantung pada Rabu (13/11) pukul 02.30 WIB.

“Kami tidak tahu apa penyebab utama serangan jantung itu, tapi yang pasti di hari-hari terakhir, Djaduk sangat sibuk untuk latihan musik dan sedang menyiapkan Ngayogjazz,” kata dia. yzd/S-1

What do you think?

Written by Julliana Elora

Polisi Berkoordinasi soal Peredaran Air Keras

Kemarin, album baru Hivi! hingga tips diet Dewi Hughes