in

Tripang, Ikan Asin dan Perompakan

Pemandangan di tepi Sungai Serdang, Rantau Panjang, Bangka selatan, 1881-1882 (www.collectie.tropenmuseum.nl)

Oleh FRIEDA AMRAN

Setiap perahu berlayar besar. Setiap hari, perahu-perahu itu berlayar—tidak terlalu jauh; dan setiap malam, setiap perahu berlabuh di tepian pantai, teringat dengan tali ke sebuah tonggak. Perahu-perahu yang kecil biasanya dinaikkan sama sekali ke atas pasir di darat. Kalau tersedia, perahu-perahu itu berlindung di teluk-teluk kecil atau muara-muara sungai.

Orang Rayad mencari dan membuat makanan dengan bahan-bahan yang disediakan oleh laut: ikan, kepiting atau aneka kerang. Semua itu dimakan tanpa pilih-pilih, tetapi yang sangat disukai sebetulnya sayur-mayur dan nasi. Horsfield terperangah melihat banyaknya makanan yang dapat dihabiskan oleh Orang Laut: jauh lebih banyak daripada makanan yang biasa dihabiskan oleh Orang Melayu. Makanan yang terbuat dari ikan barangkali kurang memberikan rasa kenyang. Nasi dan sayur-mayur memadatkan isi perut. Itu digaan Horsfield.

Tempat-tempat yang pernah ditinggali oleh Orang Laut selalu mudah dikenali karena banyak menunjukkan sampah dapur berupa sisa-sisa ikan, tumpukan kulit kerang dan sebagainya. Dari jauh, tempat-tempat itu sudah tercium oleh baunya yang terbawa angin. Kebersihan bukanlah hal yang tampaknya dianggap penting oleh Orang Laut. Banyak di antara mereka yang dirundung penyakit kulit dan gangguan pencernaan.

Segala pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan sehari-hari berkaitan dengan lingkungan tempat tinggal mereka: memancing atau menyiapkan keperluan untuk memancing. Kaum perempuan bertugas mengolah dan menyiapkan sejenis daun pandanus untuk dijadikan layar. Orang Laut yang tinggal menetap mengembangkan industri kecil-kecilan, yaitu mengeringkan dan mengasinkan ikan. Ini dipertukarkan untuk memperoleh beras dan keperluan hidup lainnya.

Di Teluk Klabbet, beberapa perahu kecil memburu tripang (Holothuria). Binatang laut itu ditusuk dengan tombak-tombak yang tajam. Setelah direbus dan dikeringkan, tripang itu laku dibeli orang Cina yang menggemarinya. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan tripang itu lumayan banyak. Orang Laut juga memperoleh penghasilan dari usaha meramu agar-agar yang banyak digunakan bahan untuk makanan rakyat setempat.

Sebagian besar orang Rayad yang tinggal di sekitaran Banka telah memeluk agama Islam. Yang berkelana di laut sekitar Banka masih kafir. Prilaku, gaya hidup dan kebiasaan sehari-hari mereka tidak se’halus’ orang Melayu pada umumnya. Mereka berkulit coklat gelap, berperawakan gagah, bertenaga kuat dan piawai memainkan alat-alat dan persenjataan untuk mempertahankan diri. Banyak orang menggambarkan Orang Laut sebagai orang yang licik, lihay, berani dan cergas berusaha. Sifat-sifat ini memang diperlukan untuk menjalankan tantangan dan permasalahan dalam kehidupan mereka di atas laut. Namun, (sayangnya) seringkali mereka mengejawantahkan sifat-sifat itu tanpa peduli pengaruhnya pada orang lain. Jika kesempatan terbuka, mereka menyergap perahu-perahu yang lebih  kecil, merampas segala barang yang dibawanya dan membunuh setiap orang di atasnya. Perikanan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perompakan merupakan profesi yang lebih tetap dan pekerjaan ini didukung oleh kerabat kesultanan Rhio dan Linga yang mendapatkan keuntungan dari kiprah mereka di laut. Bahkan, ada pula yang menawarkan dukungan finansial agar usaha merompak itu semakin maju, dengan syarat pembagian hasil perompakan.

Lama-kelamaan, perkawinan campur di antara Orang Laut dengan orang-orang Melayu atau Cina semakin sering terjadi. Perkawinan dengan anak-anak perempuan para kepala adat membuka kesempatan bagi Si Menantu untuk menjadi pemimpin atau tokoh terkemuka di tempat itu. Hal ini, misalnya saja, juga dilakukan oleh Panglima Raman. Banyak warga desa Kampak, permukiman utama orang Rayad di Banka, merupakan orang Cina yang telah menikah dengan perempuan desa itu dan kemudian mengembangkan hidup di antara kerabat-kerabat barunya. Ketika Horsfield di Banka, tokoh utama di sana merupakan keturunan dari perkawinan campuran seperti itu: ayahnya berbangsa Cina yang berkerabat dengan orang Rayad melalui hubungan perkawinan. Lelaki itu sendiri semakin menguatkan jaringannya dengan menikahi anak perempuan kepala adat di desa tempatnya tinggal.

Barangkali tak salah kalau ada yang mengatakan bahwa Demang Minyak merupakan orang yang paling terkenal di Pulau Banka. Demang Minyak lahir di Sungie Ulu sekitar 50 tahun sebelum Horsfield bertemu dengannya (Catatan FA: jadi sekitar tahyn 1763). Ketika ia lahir, belum ada permukiman tetap di Sungie Ulu, tetapi tempat itu sudah menjadi markas utama orang Rayad di Banka. Di masa mudanya, ia dikenal sebagai pemuda yang lincah dan biasa berkeliling pulau bersama sekelompok seniman penghibur. Setelah dewasa, kemampuan dan kegesitannya menarik perhatian  utusan-utusan Sultan yang datang dari Palembang. Demang Minyak membantu mereka mendirikan permukiman di Jebus. Sebagai tanda terima kasih, Demang Minyak kemudian diundang audiensi ke Kesultanan di Palembang. Oleh sebab ia berpengaruh besar di dalam lingkungan orang Rayad (antara lain, karena ia menikahi anak perempuan kepala orang Rayad), ia pun diangkat sebagai perwakilan Kesultanan Palembang dan diangerahi gelar Demang Surantakka.

Sehari-hari, ia dipanggil Demang Minyak; tetapi lelaki ini sebetulnya pantas pula menyandang gelar Panglima Raman dari Banka karena secara harfiah, gelar itu berarti pemimpin besar. Bias negatif dari kedudukan sebagai pemimpin tertinggi kelompok masyarakat yang ditakuti menjadi pupus oleh pengangkatannya sebagai utusan resmi Palembang. Demang Minyak memiliki banyak kelebihan yang diwarisinya dari keluarga ibundanya, ditambah dengan kelebihan-kelebihan dari budaya Cina. Kelebihan-kelebihan itu memberikan banyak keuntungan baginya bila ia hendak berkiprah sebagai perompak. Namun, dalam hidupnya yang panjang dan produktif, ia bergiat menentang dan menumpas para perompak. Prestasi terbesarnya sebagai utusan Palembang adalah mengalahkan Panglima Raman dalam pertempuran di utara Pulau Banka. Setelah keok oleh Demang Minyak, Panglima Raman pindah ke Linga dan kemudian, tidak lagi menampakkan diri di atas laut.

Demang Minyak tidak berhenti. Di kemudian hari, ia bergiat mengendalikan kegiatan pukat di sekitaran Banka. Perahu dan kapal-kapal miliknya sendiri dan milik orang Rayad cocok untuk melakukan hal itu.

Pustaka Acuan: Thomas Horsfield, M.D.  “Report on the Island of Banka,” dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Vol. 2. Tempat-tahun (hal. 299 – ..)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Jalinsum Lampung makin padat jelang Natal dan libur

Nilai-Nilai Perjuangan Ibu Jadi Teladan ASN