CATATAN ARSWENDO
Saya suka cerita ini, di saat ketegangan masih mengintai kesadaraan kita untuk kembali rukun. Cerita ini, cerita dua orang sahabat, naik mobil online dengan tujuan yang sama. Dua sahabat baik yang saling mampu menahan emosi, kalaupun bicara sujud syukur, bisa berarti dua makna yang berbeda. Juga kalau menyebut kata Jumat. Apa pun bisa menjadi tanda pembeda.
Tapi dua sahabat ini bisa membahas berjarak, apalagi mereka teman lama yang tak ingin menambahi beban di usia persahabatan. Di jalan, sopir berpaling ke salah satu penumpang. “Jadi Bapak 01?”
“Lho bukan begitu. Kita semua membicarakan tanpa menjadi tersinggung terpojok kalau bicara soal semut bisa bicara…. Dengan tidak menjuruskan ke arah 01 atau 02.”
Tadi, kami berbicara berusaha tidak bergetah, tidak lengket dengan kebencian yang terus terasakan sampai selamanya. Kita akan berbaikan kembali tanggal 22 Mei, dan sehingga tak ada kebencian.”
“Dan kita kembali rukun. Bersaudara.”
Sopir mengulang pertanyaan, “Jadi Bapak 01?”
Lalu masuk bagian yang menyenangkan, kalimat sopir. “Saya ini sopir Pak. Di mana bapak mau diturunkan, di PIM 1 atau PIM2… pilihan Bapak terserah urusan Bapak. Meskipun sejak tadi Bapak berdua ngomongin itu.”
Saya suka cerita ini— ada berbagai versi, karena menyenangkan di akhirnya. Perbedaan 01 dan 02—dalam hal ini Pondok Indah Mal, mal yang pernah tren di tahun 1990. Tentu pintu masuk maupun parkir berbeda. Perbedaan yang melegakan, karena memang berbeda tempat untuk tujuan yang berbeda. Artinya berbeda namanya, namun suasana sama. Berbeda dan menyatukan.
Inilah yang melegakan. Kisah tadi mungkin mewakili gambaran masyarakat yang cemas-cemas bingung saat itu. Akankah terjadi suatu huhu-hara, atau semuanya aman seperti biasanya. Dan ketika “jawaban Pak Sopir” terdengar menjadi pendamai. Penenteram. Pada versi lain, ada closing statement dari pengemudi sewaan. “Kita tak lagi hidup di zaman 01 atau 02. Kita sudah masuk 03, Persatuan Indonesia.”
Dalam bahasa visual, diakhir ini ada tepuk tangan. Panjang dan juga jabatan tangan.
Sebagai cerita, sempurna menggugah persaudaraan, persatuan. Sebagai cerita mewadahi adanya kecemasan yang bisa–atau sudah menular, tidak diam-diam.
Bahkan menurut saya, masyarakat sendiri yang “sengaja” menciptakan “joke 01, 02, dan 03”, karena bagian dari kebijakan mereka terwadahi. Semangat berdamai menjadi keinginan yang ditularkan ke orang lain yang merasakan hal yang sama.
“Terciptanya” kisah itu merupakan teriakan perdamaian yang lebih baik di akhir dari segala kebencian, atau ancam-mengancam dalam kerusuhan yang mengerikan.
Saya suka bagian itu.
Saya suka bagian itu masih diterus-ulangkan dengan senyum, dan sesungguhnya itulah makna kebersamaan, makna persatuan.
Makna kemenangan.