Hari ini, 1 Agustus 2017, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) genap berusia 11 tahun. Pada hari ini, 11 tahun lalu, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani UUPA setelah disahkan oleh DPR RI pada 11 Juli 2006. Hanya dalam masa kerja 5 bulan, UUPA bagai mata air yang ditemukan dari penggalian sumur perdamaian usai konflik panjang.
Dalam perjalanannya, ternyata ada beberapa pasal UUPA tidak berguna lagi, dan itu terjadi bukan melalui proses konsultasi dengan Aceh sebagaimana diamanatkan oleh pasal 269 ayat (3) UUPA. Akibatnya, berbagai pihak di Aceh ada yang melihatnya sebagai tindakan memutilasi UUPA. Terkini, pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), (2), serta (4) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam RUU Pemilu yang disahkan DPR menimbulkan reaksi negatif berbagai kalangan di Aceh sehingga keberadaan anggota DPR RI dan DPD asal Aceh dipertanyakan, dan Forbes Aceh pun dituding tidur.
Sebelumnya, meminjam istilah yang muncul di publik, mutilasi atas UUPA juga sudah pernah terjadi, seperti pasal 256 UUPA pada Pilkada 2012. Melalui Putusan MK, posisi pasal 256 UUPA dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan menyatakan pasal ini bertentangan dengan konstitusi. Pada Pileg 2014 aturan 120 persen kuota caleg dalam pemilihan anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten dan Kota di Aceh juga sempat menjadi polemik hampir dicabut namun kemudian tidak jadi. Kepastian soal kuota 120 ini berakhir setelah KIP Aceh menerbitkan Keputusan KIP Aceh nomor 5 tahun 2013.
Pada Pilkada 2017 giliran aturan yang mengatur pencalonan narapidana juga di hilangkan. Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pencabutan tersebut atas permintaan Abdullah Puteh, bakal calon gubernur Aceh melalui judicial review.
Hilangnya Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), (2), serta (4) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dipandang lebih serius karena terjadi di proses pembentukan UU dan itu terkait dengan Aceh sehingga wajib berkonsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPRA. Berbeda dengan proses pengadilan, yang menurut pakar hukum Unsyiah, Mawardi Ismail, tidak memerlukan konsultasi dengan DPRA, apalagi jika dilakukan melalui lembaga pengadilan yang punya kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD. Jika dipandang ada kewenangan yang bertentangan dengan UUD maka ia berwenang untuk menguji.
***
11 tahun lalu, sebelum UUPA ditandatangani oleh SBY pada 1 Agustus 2006, RUU PA disahkan oleh DPR RI pada 11 Juli 2006. Saat itu, suasana pro dan kontra sangat tampak di sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI, Agung Laksono. Tiga hari kemudian, meski belum memiliki nomor, UUPA yang sudah disahkan oleh DPR RI itu oleh Ketua Pansus RUU PA Ferry Mursyidan Baldan dibawa ke Aceh oleh dan diserakankan kepada penjabat Guberenur Aceh Mustafa Abubakar, Ketua DPRD NAD Sayed Fuad Zakaria, Kapolda Irjen (Pol) Bahrumsyah Kasman, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Pangdam Iskandar Muda (IM) Mayjen TNI Supiadin, Kamis (13/7) malam. Bersama Feri, ikut juga hadir semua anggota Tim Pansus RUUPA DPR RI dan Ketua Forum bersama (Forbes) DPR RI Aceh, Dr. Ahmad Farhan Hamid.
Kebanggaan karena telah menghadirkan UUPA yang terdiri dari 273 pasal dan 44 BAB itu bukan hanya milik anggota DPR RI, usai ditandatangi oleh SBY, pada 3 Agustus 2006, penyerahan UUPA juga dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma’ruf kepada Penjabat Gubernur NAD Mustafa Abubakar di Gedung DPRD Banda Aceh.
Menteri Dalam Negeri kala itu tidak sendiri, menteri lain seperti Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi juga ikut serta. Begitu juga ikut hadir para pejabat tinggi dari ketiga departemen, serta pihak Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia yang diwakili oleh Direktur Eksekutif, M Sobari, dan National Advisor –Program Aceh, Utama Sandjaja.
Respon positif terhadap kehadiran UUPA yang dihasilkan dalam waktu lima bulan kerja itu juga diperlihatkan oleh tokoh-tokoh di Aceh yang pada umumnya menyambut baik kehadiran UUPA bagi acuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Aceh paska konflik dan tsunami.
Harus dicatat, UUPA yang dibuat secara maraton itu tidak hanya melibatkan DPR RI saja. Setidaknya ada tiga pihak yang ambil bagian secara intensif yaitu Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, dan Universitas Malikussaleh. Untuk maksud yang sama DPRA membentuk Pansus XVIII. Ada pula naskah yang disusun oleh GAM dan Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF).
Khusus untuk tiga draft dari perguruan tinggi, setelah melalui 33 kali pertemuan diberbagai tempat, dan usai melalui proses pematangan di Seminar Raya pada 11 – 12 Oktober 2005 jadilah draft versi Pemerintah Provinsi. Draft ini sesudah disatukan dengan draft milik DPRD jadilah RUU PA dengan 38 BAB dan 209 pasal pada akhir November 2005. Draft inilah yang dikirim ke Mendagri pada 11 Januari 2006 untuk diusulkan kepada DPR RI dan DPD RI usai disusun ulang menjadi 40 bab dan 206 pasal.
Pemerintah menyerahkan draf RUPA tersebut ke DPR pada 11 Februari 2006. yang kemudian oleh DPR RI membentuk Panitia Khusus RUU PA pada 14 Februari 2006 dengan ketuanya Ferry Mursyidan Baldan.
***
Harus diakui, meski disambut gembira oleh berbagai pihak, kehadiran UUPA pada saat awal sangat disadari belumlah sempurna. Ketua DPR RI kala itu, Agung Laksono pernah menyatakan bahwa UUPA masih memungkinkan untuk direvisi setelah dijalankan terlebih dahulu. Bahkan, oleh pakar hukum tata negara Prof. Sri Sumantri (alm) meminta agar pasal yang mengharuskan keputusan pemerintah dan DPR yang terkait Aceh harus dilakukan konsultasi dengan DPRA dikoreksi.
Mengacu kepada UUPA itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Ketua Badan Legislasi DPR Aceh Abdullah Saleh, rencana pembentukan undang-undang oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh harus dilakukan konsultasi dan dengan pertimbangan DPR Aceh.
“Dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA, sekalipun belum ada peraturan presiden yang mengatur ketentuan mengenai tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan DPR Aceh tersebut,” jelasnya dalam forum diskusi terfokus terkait UU Pemilu yang digelar Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) Unsyiah dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh(P3KA), di Balai Senat Biro Rektor Unsyiah, Banda Aceh, Jumat (28/7).
Akibatnya, berbagai pihak melempar kemarahan kepada anggota DPR RI dan anggota DPD RI dan menilai mereka tidak cerdas menjadi wakil Aceh dalam menjaga kepentingan Aceh di pentas politik nasional. Sulaiman Abda, wakil ketua DPRA mengajak semua pihak untuk saling bahu membahu dalam menjaga kepentingan Aceh tanpa keluar dari spirit kepentingan nasional. “Untuk itulah kita semua mesti cerdas mencerdasi perkembangan politik baik di Aceh maupun di nasional,” ajaknya tanpa bersedia memperlebar siapa yang lalai dan lemah. Semua komponen yang ada di Aceh apalagi yang diberi kepercayaan harus bersedia mendedikasikan dirinya untuk mewujudkan Aceh lebih baik. “Pasti kita bisa,” tegasnya.
11 tahun sudah, apakah posisi UUPA memang tidak membutuhkan peninjauan ulang dari kita semua dengan dasar perkembangan terkini dan tantangan masa depan? Mawardi Ismail kepada aceHTrend pernah mengatakan: “Kita harus jujur, UUPA sudah berumur 11 tahun. Di Indonesia, usia UU 11 tahun itu terlalu lama untuk tidak mengalami peninjauan kembali. Misalnya, UU 32/2004 sudah diubah. Perlu perubahan karena masyarakat memang sudah berubah. Jadi, tidak boleh alergi jika ada wacana merevisi UU 11/2006. Hanya saja yang perlu dipikirkan bagaimana melakukan revisi yang lebih baik.” []