Tiga putri proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, yakni Meutia Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta, bakal mengikuti prosesi adat malakok di Nagari Batuampa atau Batuhampar, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Apa itu tradisi malakok? Kenapa ketiga putri Bung Hatta malakok ke Batuhampar?
“Bagi kami, Batuhampar sudah seperti tanah kelahiran. Sulit bagi kami untuk tidak mengatakan (kami) orang Minang. Di Batuhampar ini, kami ingat dengan Mak Tuo Rafiah, Mak Tuo Halimah, dan Datuak Oyah (tokoh spiritual Batuhampar).”
Itu pengakuan Profesor Meutia Hatta, putri sulung Bung Hatta kepada Padang Ekspres tahun 2012 lalu. Ahli antropologi yang pernah menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu era SBY-JK ini, memang mengganggap Batuhampar, seperti kampung halamannya sendiri.
Tentu saja, Meutia Hatta yang merupakan istri dari ekonom Profesor Sri Edi Swasono, tidak salah menganggap Batuhampar seperti kampung halamannya sendiri. Meski ibunya, Siti Rahmiati Hatta yang bernama asli Rahmi Rachim, lahir di Bandung, Jawa Barat, dan bukanberdarah Minangkabau. Tapi, ayahnya, Bung Hatta, seratus persen adalah orang Minang.
Mendiang Profesor Mestika Zed dan wartawan senior Hasril Chaniago dalam buku 101 Orang Minang di Pentas Sejarah menyebutkan, bahwa ibu Bung Hatta bernama Siti Saleha, merupakan keluarga pedagang di Bukittinggi. Sedangkan ayah Bung Hatta, Muhammad Djamil, merupakan putra kandung Syekh Abdurrahman, ulama besar asal Nagari Batuhampar.
Ketika Mohammad Djamil, ayah Bung Hatta, meninggal dunia saat Bung Hatta masih berusia delapan bulan, keluarga besar Syekh Abdurrahman, tidak memutus tali kasih dengan Bung Hatta.
Sebaliknya, Bung Hatta dan kakaknya bernama Rafiah yang dipanggil sebagai Mak Tuo Rafiah oleh Meutia Hatta dan adik-adiknya, tetap diboyong ke Batuhampar.
Bahkan, menurut mendiang Buya Syahrani Khalil “Datuak Oyah”, tokoh spritual Batuhampar yang lahir 1926 dan wafat 2021, Bung Hatta semasa kecilnya, rajin belajar ilmu agama di Batuhampar. Selain diasuh oleh kakeknya, Syekh Abdurrahman, Bung Hatta juga belajar ilmu agama kepada pamannya, Syekh Arsyad.
Cerita Buya Syahrani Khalil “Datuak Oyah” tentang Bung Hatta yang belajar ilmu agama di Batuhampar, dibenarkan oleh putri kedua Bung Hatta, yakni Gemala Hatta. Menurut Gemala dalam kunjungannya ke Batuhampar 2012 silam, hubungan antara Bung Hatta dengan Batuhampar memang tidak bisa dipisahkan.
“Di Batuhampar, Ayah memperoleh ilmu agama dari Syekh Abdurrahman (dan Syekh Arsyad). Sehingga Ayah tidak hanya menjadi tokoh Minang dan tokoh nasional, tapi dikenal di dunia. Bahkan di Rotterdam, Belanda, ada jalan bernama Mohammad Hatta. Makanya, kami berharap, tumpah darah leluhur ini (Nagari Batuhampar), dapat kita jaga bersama,” kata Gemala Hatta.
Baik Gemala Hatta, maupun kakaknya Meutia Hatta, dan adik mereka Halidah Hatta, rutin “pulang kampong” dan berziarah ke makam ulama-ulama Batuhampar. Mereka sering ditemani keluarga mendiang Profesor Dr Aziz Haily, mantan Bupati Limapuluh Kota yang mewakafkan tanah untuk pendirian Masjid Bung Hatta di pinggir jalan Sumbar-Riau, Sarilamak, Harau.
“Pertalian atau hubungan kekerabatan ketiga putri Bung Hatta dengan Nagari Batuhampar, tidak putus sampai sekarang,” kata Haris Saputra dan Riki, dua tokoh muda Batuhampar kepada Padang Ekspres.
Ini juga pernah disampaikan Romi Suardi dan Asra Arafat, dua tokoh Batuhampar yang ganti-berganti menjadi wali nagari setempat. Tali kekerabatan ketiga putri Bung Hatta yang tidak putus dengan Batuhampar, membuat penduduk di nagari tersebut, menaruh hormat kepada mereka.
Makanya, pemerintah Nagari Batuhampar, bersama lembaga-lembaga nagari dan masyarakat, berencana menggelar tradisi malakok yang melibatkan langsung ketiga putri Bung Hatta. Mereka, bakal malakok ke Suku Mandahiling di Batuampa.
Lantas, apa itu malakok? Menurut penulis buku Budaya Alam Minangkabau asal Kabupaten Limapuluh Kota, Yulfian Azrial atau Yum AZ, malakok adalah suatu prosesi adat untuk menjadi orang Minang. Selain itu, malakok bisa juga dimaknai suatu prosesi adat untuk diakui sebagai anggota suatu kaum di Minangkabau.
Biasanya, prosesi malakok ini dilakukan oleh anak-anak yang lahir dari perkawinan antara pria Minangkabau dengan wanita non-Minangkabau. Karena, anak-anak tersebut, tidak dapat dimasukan ke dalam sistem kekerabatan matrilinial (menurut garis ibu) yang berlaku di Minangkabau.
Akan tetapi, banyak juga masyarakat di Sumatera Barat yang ayah dan ibunya sama-sama orang Minangkabau, tapi menjalani tradisi malakok. “Biasanya, hal ini dilakukan oleh mereka yang merantau atau mendiami suatu nagari yang bukan nagari asal mereka. Jadi, malakok ini adalah tradisi untuk membuhulkan ikatan silaturahmi,” kata Yum AZ.
Prosesi malakok sebagian bagian dari membuhulkan ikatan silaturahmi itulah yang akan dijalani ketiga putri Bung Hatta di Batuhampar. Penyelenggaraan prosesi ini didukung penuh Gubernur Sumbar Buya Mahyeldi Ansharullah yang merupakan urang sumando atau beristri ke Kabupaten Limapuluh Kota.
“Pemprov Sumbar sangat mendukung prosesi yang akan diselenggarkan di Nagari Batuhampar, melalui dukungan anggaran yang telah dialokasikan oleh Dinas Kebudayaan. Semoga, persiapannya sukses dan dapat disemarakkan seluruh pihak,” kata Mahyeldi Ansharullah di rumah jabatan Gubernur Sumbar, Kamis (9/3).
Saat itu, Mahyeldi menerima kunjungan Wali Nagari Batuhampar Asra Arafat, bersama Bupati Limapuluh Kota Safaruddin Dt Bandaro Rajo, dan panitia pelaksana prosesi malakok di Nagari Batuhampar.
Buya Mahyeldi menyebut, prosesi adat ini bakal menjadi momentum bersejarah bagi masyarakat Limapuluh Kota, khususnya masyarakat Nagari Batuhampar. Sedangkan Bupati Limapuluh Kota Safaruddin Dt Bandaro Rajo, juga menyebut, pemerintah daerah sangat mendukung prosesi malakok di Batuhampar.
Bukti dukungan itu ditandai Safaruddin dengan membawa Asisten I Herman Azmar, bersama jajaran Disdikbud, Diskominfo, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa/Nagari, dan Dinas PUPR, saat beraudiensi dengan gubernur.
Banyak pihak berharap, prosesi yang akan digelar di Batuhampar, bisa terlaksana seperti keseharian Bung Hatta semasa hidupnya. Menurut Meutia Hatta saat berada di Batuhampar pada tahun 2012 silam, Bung Hatta itu dalam kesehariannya, tidak suka seperti gincu yang hanya pemanis saja. Bung Hatta lebih memilih seperti garam, biar sedikit dalam makanan, tapi terasa. (Fajar Rillah Vesky)