in

4 Fakta Bahwa Agama dan Science Selalu Bertentangan

Perdebatan antara sains dan agama, yang secara sederhana adalah perdebatan antara pemikiran berdasarkan fakta dan keimanan, sudah sangat mendarah daging. Biasanya keduanya bertentangan dan tidak saling menjelaskan. Namun hal ini ternyata bisa dijelaskan juga oleh Sains. Karena menurut sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal PLOS One, konflik ini berakar dari struktur otak kita.

Para ilmuwan menemukan hal ini melalui penelitian secara mendalam tentang mengapa seseorang menggunakan penalaran analitis, yang punya asosiasi ke sains, serta alasan moralitas, yang erat hubungannya dengan keimanan atau agama. Berikut empat fakta tentang pertentangan mendarah daging ini.

1. Otak memiliki dua jaringan yang sifatnya bertentangan

lensaterkini.web.id – Dari sebuah studi, dapat ditunjukkan bahwa otak memiliki ‘jaringan analitis’ yang digunakan untuk berpikir kritis, serta sebuah ‘jaringan sosial’ yang menjadikan otak kita bisa lebih berempati dan lebih tertarik ke alasan moral ketimbang penalaran.

Menurut peneliti, kedua jaringan ini berlawanan, karena tiap orang akan memiliki salah satu jaringan yang lebih aktif ketimbang lainnya. Bagaimana hal ini terjadi? Dari pengalaman.

2. Pengalaman adalah yang menentukan Anda berada di ‘pihak’ mana

Menurut peneliti, berlawanannya kedua jaringan ini sangat erat kaitannya dengan pengalaman seseorang. Jika seseorang lebih banyak mengalami pengalaman yang erat dengan keimanan atau supranatural, secara otomatis otak akan menekan kinerja ‘jaringan analitis,’ sehingga otak kita tak akan berpikir kritis.

Hal ini menjelaskan mengapa orang yang percaya agama, tak terlalu tertarik terhadap sains dan hal-hal yang para ilmuwan coba untuk ‘dinalarkan.’

3. Menurut filsuf, kebenaran memang ada dua. Jadi, tak ada yang salah

lensaterkini.web.id – Penemuan ini senada dengan pemikiran seorang filosofis asal Jerman yakni Immanuel Kant. Kant menganggap ada dua buah kebenaran, yakni kebenaran empiris dan kebenaran secara moral.

“Kant membedakan antara alasan teoritis yang berhubungan dengan sais, serta alasan praktis yang berhubungan dengan moral,” ungkap Dr. Tony Jack, kepala peneliti sekaligus Profesor filosofi dan neuroscience.

“Kant menunjukkan bahwa dua tipe pemikiran ini dapat saling bertentangan, dan hal ini adalah hal yang sama dengan yang kita bisa lihat di otak kita. Sehingga, konflik ini berakar dari otak kita sendiri,” imbuhnya.

Jadi, konflik ini sebenarnya tak benar-benar nyata, namun lebih karena otak kita membingkai konteks hingga punya perbedaan yang cukup mendasar bagi orang lain. Jika kita menganut dengan teguh apa yang kita percaya, tentu tak perlu menyalahkan pemikiran orang lain, dan orang lain juga tak berhak mengatakan pemikiran kita salah.

4. Tiap orang cenderung akan memilih satu pemikiran daripada yang lain – sains atau agama, agama atau sains!

Dikarenakan dua ‘komponen’ otak yang saling menekan ini, setiap orang akan memilih satu pemikiran daripada yang lain. Jadi akan ada dua tipe orang, yakni yang percaya sains dengan segala sesuatu yang dapat dinalar, atau yang percaya keimanan. Hal inilah yang memicu konflik antara sains dan agama.

Metodologi studi yang dilakukan Profesor Jack dan tim adalah membuat delapan kali eksperimen dengan melibatkan 527 orang dewasa. Dalam eksperimen pertama, partisipan diwajibkan untuk mengisi kuisioner yang dapat mengukur tingkat pemikiran kritis dan mekanikal, yang keduanya mengukur tingkat pemikiran nalar secara analitis.

Hasil dari kuisioner ini sangat akurat, di mana seseorang yang percaya terhadap keimanan dan agama, mereka lebih berpikir secara moral ketimbang analitis. Namun hal ini tak menunjukkan bahwa cara berpikir yang satu lebih baik daripada yang lain. Cara berpikir seseorang muncul berdasarkan masalah tertentu yang dihadapi oleh seseorang.

Terimakasih Telah Berkunjung, Have FUN

What do you think?

Written by virgo

Harta Kekayaan Calon Bupati dan Wakil Bupati Aceh Singkil

Sampan Meulungkop Saat Mancing, Amiruddin Meninggal