Kemiskinan bisa melahirkan berbagai penyakit yang menimpa anak-anak Indonesia.
MAGELANG – Setengah dari jumlah anak Indonesia yang kini mencapai sekitar 87 juta mengalami gangguan mental, psikis, atau kejiwaan. Hal ini harus menjadi perhatian serius secara nasional.
“Kondisi itu harus menjadi perhatian serius secara nasional karena anak merupakan investasi masa depan bangsa dan negara,” kata konsultan psikiatrik Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Soeroyo, Magelang, M Edith Humris, saat menerima kunjungan rombangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan wartawan, di Magelang, Jawa Tengah, Jumat (29/12) .
Edisth menambahkan, kondisi tersebut makin memprihatinkan karena para orang tua tidak menyadari bahwa anakanaknya mengalami penderitaan gangguan mental, walau belum tentu mereka menderita sakit jiwa.
Menurut profesor yang sudah bekerja selama 40 tahun menjadi dokter dan 10 tahun di RSJ Magelang ini, kasus yang menimpa anak-anak Indonesia tersebut banyak penyebabnya, di antaranya kemiskinan, kesehatan tidak terjaga atau ekonomi rumah tangga sangat lemah.
Sebab lain bisa saja karena adanya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, lanjut dia, anakanak juga rentan penyakit retardasi mental. Ini bisa dilihat secara fisik, misalnya, sudah dua tahun belum bisa jalan.
“Anak-anak penderita retardasi tak bisa disembuhkan. Mereka perlu pendampingan terus agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi,” katanya. Retardasi adalah ketidakmampuan yang ditandai dengan fungsi intelektual di bawah rata-rata dan rendahnya kemampuan untuk menyesuaikan diri.
Untuk mencegah agar hal tersebut tidak terjadi, kata dia, selama anak masih dalam kandungan (hamil) harus dirawat secara teratur, misalnya periksa ke puskesmas atau dokter. “Dengan begitu, kesehatan kandungan bisa terus terpantau,” ujar Edith.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama RSJ Soeroyo, Endang Widyaswati, mengatakan saat ini gangguan kesehatan mental anak dan remaja memang tengah ngetren. Ini bisa disebabkan aneka latar belakang di antaranya bullying, kekerasan, pemerkosaan, dan sebab lainnya.
Bahaya Narkoba
Sementara itu, Kepala Dinas PPPA Kota Magelang, Wulandari, mengatakan saat ini yang mengkhawatirkan tetep bahaya narkoba. Namun, untuk Kota Magelang perkembangan difabel jadi masalah utama karena meningkat cukup tinggi.
Misalnya, tahun lalu baru 20 anak, kini meningkat jadi 100. “Tapi ini memang termasuk anak kurus dan hedrosefalus,” tandasnya. Dia menambahkan bahwa pihaknya akan terus fokus membersihkan atau mengatasi berbagai masalah yang dihadapi anak-anak.
Wulandari optimistis hal tersebut bisa berjalan dengan baik karena berbagai pihak komit bekerja sama mengatasi problem anak. “Bantuan datang dari pemkot terutama wali kota, wakil wali kota, Komisi Pengawasan Aids, media, dan masyarakat,” katanya.
Selain itu, lanjut Wulandari, pihaknya juga bermitra dengan Balai Kesehatan Masyarakat Wilayah Magelang untuk penanganan HIV/Aids, Klinik Berhenti Merokok dan Konseling, serta TBC Anak. “Pelayanan HIV/Aids di sini termasuk yang terbaik.
Tempatnya nyaman, enak, bersih, dan dingin,” tambahnya. Menurut petugas Balai, Mariana, penderita HIV kebanyakan masih muda, belasan tahun. Tiap bulan berbeda angkanya yang berobat HIV. Misalnya, bulan ini hanya 60, sementara bulan lalu mencapai 100 orang.
Mariana menambahkan, di Balai juga ada ruang bermain anak. “Malahan kalau anak sesak napas bisa diperiksa sambil bermain karena di ruangan itu dilengkapi alat-alat periksa,” tambahnya. wid/E-3