YOGYAKARTA – Jumlah tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi di Indonesia masih sangat rendah. Mahalnya biaya sertifikasi ditengarai menjadi penyebab permasalahan tersebut. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat tenaga kerja konstruksi di Indonesia saat ini mencapai sekitar 7,7 juta orang.
Namun, dari jumlah tersebut, tenaga kerja yang tersertifikasi baru sekitar 20 persen. Padahal, pemerintah menargetkan jumlah tenaga tersertifikasi sebesar 40 persen. “Kita harapkan 750 ribu tenaga kerja sudah memiliki sertifikasi ahli dan terampil. Pak Menteri (PUPR) mintanya 3 juta orang. Segala upaya akan kita lakukan,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Panani Kesai, dalam sosialisasi dan pendampingan pelatihan jarak jauh bidang konstruksi pada ratusan mahasiswa di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Senin (3/4).
Menurut Panani, sedikitnya tenaga kerja konstruksi bersertifikat karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Padahal, sertifikasi konstruksi sangat diperlukan agar SDM bidang konstruksi lulusan perguruan tinggi bisa memenuhi kualifikasi yang diminta.
Untuk mendapatkan sertifikasi dari lembaga asosiasi profesi disyaratkan minimal sudah satu tahun bekerja. “Umumnya lulusan teknik ketika masuk kerja belum bisa disuruh kerja.
Di perusahaan besar, mereka akan dikursuskan. Namun, di perusahaan kecil, siapa yang mau berikan kursus? Biasanya disuruh belajar sendiri,” ungkapnya. Untuk itu, Kementerian PUPR mengadakan kegiatan pelatihan dan pendampingan pembelajaran jarak jauh bidang konstruksi untuk meningkatkan wawasan dan kompetensi mahasiswa sebelum lulus.
YK/E-10