in

85% Perdagangan Manusia melalui Jalur Legal

YOGYAKARTA – Upaya penanganan masalah perdagangan manusia tidak bisa hanya ditempuh melalui pendekatan hukum. Sebab, justru kebanyakan kasus perdagangan manusia terjadi melalui jalur-jalur yang terlihat sah secara hukum, seperti melalui lembaga penyaluran TKI. “Faktanya, 85 persen kasus perdagangan manusia sekarang justru terjadi lewat jalur legal.

Jadi, jangan kira ketika Anda ke luar lewat jalur resmi maka Anda selamat,” kata perwakilan Indonesia dalam ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Dinna Wisnu, dalam seminar bertajuk The Politics of Producing Human Rights: Tantangan Implementasi Konvensi ASEAN Melawan Perdagangan Manusia, di Fisipol UGM Yogyakarta, pekan lalu. Di tengah derasnya pusaran globalisasi, utamanya di bidang teknologi transportasi dan informasi, negara di dunia saat ini dihadapkan pada berbagai krisis kemanusian yang mencemaskan, seperti konflik, migrasi, dan perdagangan manusia.

Tak ada satu pun negara di dunia saat ini yang lolos dari belitan persoalan tersebut, tak terkecuali negara-negara ASEAN. Bahkan, kasus perdagangan manusia kini semakin berkembang dengan penggunaan modus yang semakin beragam pula. “Perdagangan manusia berbeda dengan kejahatan biasa.

Kita harus memahami polapola rekrutmennya, karena saat ini ada berbagai modus yang terselubung,” tambah Dina. Dinna menjelaskan, saat ini perdagangan manusia dilakukan dengan berbagai modus baru, misalnya dengan kedok tawaran beasiswa atau bahkan perjalanan umrah. Karena itu, ia mengingatkan kepada masyarakat agar dapat lebih jeli meneliti aktivitas-aktivitas tersebut, juga untuk tidak mengumbar hal-hal pribadi melalui media sosial yang kerap menjadi sarana bagi pelaku untuk memilih target.

“Hati-hati dengan kerentanan kalian yang bisa dideteksi lewat Facebook dan media sosial lainnya. Itu justru bisa jadi sasaran empuk untuk mengidentifikasi ambisi kalian yang bisa dimanfaatkan,” imbuh Dinna. Di tengah persoalan yang semakin pelik ini, dia mendorong berbagai pihak untuk turut ambil bagian dalam upaya melawan perdagangan manusia dengan menyumbangkan pemikiran dan ide-ide yang dapat menjadi solusi bagi persoalan yang ada saat ini.

“Kejahatan ini luar biasa serius dan harus ditangani secara sistematis, bukan hanya oleh satu pihak. Kita tidak bisa abai. Kita harus ikut membantu bagaimana agar kebijakan bisa lebih baik agar cita-cita peoplecentered ASEAN bisa tercapai serta dirasakan masyarakat,” pungkasnya.

Tekan Kasus

Sementara itu, staf ahli Kementerian Sosial yang juga kepala Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development, Mu’man Nuryana, menyatakan bahwa akademisi memiliki tanggung jawab untuk mendukung upaya pemerintah dalam mencegah serta menekan angka kasus perdagangan manusia melalui kajian-kajian yang dilakukan.

“Tugas civitas akademik adalah dalam pendidikan HAM, bagaimana trafficking dipahami secara benar, serta merumuskan materi publikasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang rentan terhadap trafficking yang bisa diadopsi oleh pemerintah daerah,” jelasnya. Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Departemen Sosiologi UGM, Arie Sujito. Menurutnya, persoalan perdagangan manusia memang menuntut berbagai kalangan, termasuk akademisi untuk terus menggali diskursus tentang HAM, khususnya terkait upaya melawan perdagangan perempuan dan anak di kawasan ASEAN. YK/E-3

What do you think?

Written by virgo

Menag Protes Tenda Mina Terlalu Padat

Logika Terbalik Film Kartun Yang Tidak Pernah Kamu Sadari!