in

Agama yang Menyejukkan

Disadari atau tidak, wajah agama di tanah air sepanjang penghujung tahun lalu hingga awal tahun ini, terkesan “bermetamorfosis” ke arah yang kurang menyejukkan. Terlepas dari sejumlah peristiwa politik yang menjadi pangkal balanya, wajah  ”garang” agama tampak lebih mengemuka ketimbang wajah ramah menenteramkan. Sederetan aksi keagamaan telah dicoba giring oleh pihak-pihak tertentu terutama melalui berbagai media sosial, kepada pembentukan kesan yang mencerabut agama dari fungsi utama sebagai rahmat bagi alam dan kemanusiaan. Sebaliknya, opini publik dikonstruk untuk menjustifikasi bahwa agama lebih sebagai teror yang menakutkan. 

Dua Sisi Wajah Agama

Ibarat sekeping mata uang, agama memang memiliki dua sisi wajah yang tidak mungkin dipisahkan. Ironisnya kedua sisi itu cenderung lebih paradoks ketimbang seiring sejalan. Pada satu sisi secara idealitas normatif konseptual, agama merupakan sumber kebaikan yang memberikan kesejukan dan menjanjikan kedamaian. Namun di sisi lain, pada tataran realitas historis empiris, agama –seperti disebut di awal- justru cenderung berkelindan dengan berbagai tragedi dan ironi kemanusiaan. 

Secara konseptual, semua pemeluknya sepakat bahwa agama adalah sumber normatif yang memiliki idealitas paripurna tentang semua aspek hidup dan kehidupan. Pada aspek teologis, agama memberi jawaban atas pertanyaan metafisika dan eskatologis yang tidak akan mampu dijawab oleh empiris. Agama memberi kepuasan pula atas kegalauan psikologis yang terus menerus menghantui setiap individu tentang misteri jiwa, kematian, dan sebagainya. Demikian juga dari aspek lain, tak dapat dibantah bahwa agama adalah kebutuhan riil manusia. Karena itu, tidak ada agama yang melegitimasi kejahatan kemanusiaan apapun. Tetapi pada realitas lain, hampir sepanjang umurnya agama bergumul dengan berbagai kepentingan profan sehingga dituduh berkontribusi bahkan memicu konflik dan kekerasan di sepanjang sejarah. Karen Armstrong, penulis terkenal The Battle for God (Berperang Demi Tuhan) telah mencatat torehan hitam historis betapa agama telah bergelimang dengan gemerincing pedang dan cipratan darah.  

Berbagai bukti historis tentang keterlibatan agama dalam kekerasan itu telah melahirkan sikap skeptis, apatis, bahkan antipati terhadap agama. A.N. Wilson, misalnya, beberapa dasawarsa lalu telah menulis buku Against Religion: Why We Should Live Without It (Anti Agama: Mengapa Kita Harus Hidup Tanpanya). Terkait dengan itu pula, Sam Harris dalam bukunya The End of Faith; Religion: Terror and the Future of Reason menyebutkan bahwa agama sudah semestinya ditinggalkan umat manusia. Menurutnya, hal itu bukan karena alasan teologis, tetapi justru karena agama telah menjadi sumber kekerasan, tidak saja saat ini tetapi sejak masa lalu di setiap zaman. 

Damai dan Menyejukkan

Berangkat dari realitas dua sisi agama yang fenomenal di atas, tampaknya masa depan agama terpulang kepada umatnya sendiri. Sejatinya, seiring menumpuknya kompleksitas problematika kehidupan, maka fungsi dan peran agama semakin penting, sehingga agama semakin diminati. Banyak bukti yang menjadi argumen bahwa pada akhirnya agamalah yang menjadi tumpuan terakhir dari berbagai kekalutan hidup. Materialisme dan prilaku hedonis misalnya, hanyalah semacam obat penenang sementara yang tidak menuntaskan akar dan biang problematika. Karena itu secara teoritis konseptual, agama sangat memiliki masa depan. Murtadha Muthahhari dalam bukunya Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, mengatakan bahwa “agama adalah satu-satunya cara pemenuhan segala kebutuhan”. Will Duran seorang atheis, seperti dikutip Muthahhari menyebut bahwa “agama memiliki seratus jiwa. Sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu”.

Namun ketidakpercayaan pada agama muncul lantaran gagalnya umat beragama sendiri untuk meyakinkan misi sucinya sebagai sumber kebaikan dan kedamaian tersebut. Sebagai introspeksi, mestinya umat beragama berfikir ulang ketika ingin terus menerus menampilkan wajah agama yang terkesan garang dan menakutkan. Pemakaian atribut dan simbol yang berkonotasi kekerasan justru sangat potensial menjadi argumen pembenar atas tuduhan miring terhadap agama. Alih-alih untuk menjelaskan kebenaran agama, justru yang terbangun dalam persepsi publik adalah sebaliknya, yang akhirnya kontra produktif terhadap agama sendiri. Demikian pula orasi-orasi yang cenderung kasar, hate speech, mengumbar emosional, akan semakin memperlebar gap dengan para pencari kedamaian dan kesejukan. 

Seyyed Hossein Nasr melalui bukunya The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, berupaya menjelaskan Islam yang sebenarnya kepada masyarakat Barat yang menurutnya telah ribuan tahun terdistorsi oleh berbagai kepentingan. Pada bagian kelima buku yang diberi sub judul “Kasih Sayang dan Cinta, Kedamaian dan Keadilan”, ia menulis bahwa al Quran lebih banyak menyebutkan rahmat, belas kasih, ampunan, dan cinta Tuhan dibanding keadilan dan balasan Tuhan. Menurut Nasr, di sepanjang Sungai Gangga di Benares, orang akan mendengar kalimat Shanti, shanti, shanti, yang artinya “damai, damai, damai”. Orang Yahudi memberi salam dengan ucapan ‘shalom’, yang sama artinya dengan ‘salam’ dalam Islam. Nasr meyakinkan bahwa tidak ada agama besar yang tidak menekankan kedamaian. 

Menampilkan kembali wajah agama yang penuh kesejukan dan kedamaian, tampaknya menjadi tugas bersama umat beragama, agar agama kembali mendapat kepercayaan. Apalagi di tengah isu munculnya lagi kekuatan penentang agama seperti ateisme dan komunisme, tugas itu menjadi semakin vital dan signifikan. Jika tidak, maka sangat mungkin justru umat beragama sendirilah yang mendorong munculnya kembali kekuatan itu, ketika karena ulah mereka agama tidak diyakini lagi sebagai penyejuk yang memberi kedamaian. Na’udzubillah, wallahu a’lam. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Gerai Indosat Ooredoo Hadir di Plaza Andalas

Wali Nagari Harus Bisa Selesaikan Masalah