in

Akhiri Praktik “Rent Seeking” yang Besarkan Monopolistik

» Ratusan juta rakyat RI bergantung pada segelintir pedagang.

» Regulasi di Kemendag dan Kementan harus segera direvisi.

JAKARTA – Salah satu yang menye­babkan lembaga-lembaga keuangan global belum percaya sepenuhnya pada Indonesia adalah sistem tata kelola yang kurang transparan karena perilaku ok­num birokrat dan segelintir kelompok tertentu yang selama ini mengambil ke­untungan pribadi memanfaatkan regu­lasi yang tumpang tindih.

Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Sal­amudin Daeng, di Jakarta, Jumat (28/8), mengatakan situasi yang sedemikian rumit itu memang sulit diselesaikan hanya dengan pendekatan ekonomi se­perti melakukan deregulasi, tetapi harus diperkuat dengan kemauan politik dari pemerintah untuk menghapus praktik-praktik seperti impor pangan yang men­jadi lahan mencari keuntungan para pencari rente (rent seeking).

“Banyak aturan yang tumpang tin­dih, sehingga bagi saya saat ini solusinya kalau menteri yang membidangi tidak mampu mengubah aturan yang meng­untungkan pencari rente, mending di­ganti,” kata Salamuddin.

Presiden Jokowi dalam pidatonya pada hari antikorupsi menekankan pentingnya mereformasi birokrasi yang terlalu berjenjang dan banyak divisi, se­hingga harus disederhanakan.

“Terlalu banyak eselon semakin mem­perpanjang birokrasi, memecah anggaran dari unit-unit kecil yang sulit pengawasan­nya, dan anggaran akan habis digunakan untuk rutinitas saja,” kata Jokowi.

Kepala Negara mengingatkan bahwa reformasi birokrasi juga erat kaitannya dengan perizinan dan tata niaga yang juga harus memperoleh perhatian khu­sus. Sebab, yang berkepentingan terha­dap perizinan bukan hanya pengusaha besar, tetapi juga 60 juta lebih pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang menopang perekonomian.

Sebab itu, sistem perizinan dan tata niaga yang memberi kesempatan bagi para pengambil rente, kata Presiden, harus segera dirombak. Salah satunya dengan menerapkan penyederhanaan birokrasi dan pemanfaatan teknologi informasi yang semakin meningkatkan transparansi dan kemudahan bagi ma­syarakat, terutama tata niaga yang me­nyangkut fondasi kehidupan masyara­kat, terkait pangan, obat, dan energi.

“Rakyat menjadi korban akhir dari tata niaga yang tidak sehat. Rakyat harus menanggung harga yang mahal akibat dari tata niaga yang tidak sehat,” tegas Presiden.

Lebih lanjut, Salamuddin menga­takan dengan mengakhiri praktik rent seeking seperti yang dimaksudkan Pre­siden, maka kepercayaan dunia inter­nasional semakin baik.

“Praktik rent seeking selama ini ha­nya membesarkan sistem monopolistik. Contohnya di impor pangan itu dikuasai oleh oknum pedagang, sehingga ratusan juta penduduk Indonesia hanya bergan­tung pada segelintir pedagang. Ini harus diakhiri,” kata Salamuddin.

Evaluasi Regulasi

Pengamat Ekonomi, Bhima Yudisthi­ra, secara terpisah mengatakan ajakan Presiden tersebut seharusnya jadi mo­mentum meningkatkan pengawasan dan mengevaluasi regulasi yang selama ini menguntungkan para rent seeking.

“Impor beras, misalnya, sampai dua juta ton pada 2018. Padahal, kita tidak membutuhkan beras, akibatnya ber­asnya busuk. Artinya, justru di internal pemerintah sendiri, antara kementerian dan lembaga, banyak yang menerbitkan regulasi-regulasi yang menyediakan tem­pat bagi rent seeking. Nah, ini yang mem­buat harga pangan sampai di level kon­sumen lebih mahal dibandingan dengan negara-negara lainnya,” kata Bhima.

Selain itu, impor pangan juga memi­liki ruang untuk perilaku-perilaku yang sifatnya koruptif. Jika ditelusuri awalnya dari regulasi yang ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan di Ke­menterian Pertanian (Kementan).

“Dari situ, perizinan untuk impor pa­ngan itu ketahuan apa berdasarkan dari kebutuhan riil, data yang riil atau ma­sih dimanfaatkan oleh para pemburu rente,” kata staf pengajar UGM tersebut.

Menurut Bhima, data pangan yang ada banyak yang tidak valid, hanya be­ras yang akurat, sementara komoditas lainnya, seperti jagung, daging, ayam, telur tidak valid sehingga rentan diman­faatkan oleh para pemburu rente untuk meraup keuntungan besar.

Belum lagi, pembentukan harga dari petani ke konsumen, rantainya sangat panjang. Beras bisa lebih dari 6 atau 7 rantai pasokan. n ers/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dandrem 044/Gapo Gelar Gowes

Jokowi Puji Desain Arsitektur Bandara Baru Yogya