in

Aktivis: Ada Upaya ‘Genosida Perlahan’ kepada Etnis Rohingya

Warga Muslim etnis Rohingya kembali menjadi sasaran dalam serangkaian aksi kekerasan, pemerkosaan dan pembunuhan di negara bagian Rakhine, Myanmar dalam beberapa bulan terakhir. Menurut aktivis, terdapat upaya untuk melakukan “genosida secara perlahan” terhadap etnis Rohingya di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha itu. 

Gelombang kekerasan terhadap Rohingya bermula ketika tiga pos polisi di negara bagian Rakhine diserang oleh “teroris Rohingnya” pada Oktober lalu, menewaskan sembilan polisi. Meski tidak ada bukti konkret bahwa serangan ini dilakukan oleh etnis Rohingya, militer Myanmar meluncurkan aksi kekerasan di sejumlah desa yang dihuni Rohingya, termasuk melakukan pembunuhan, pembakaran rumah dan pemerkosaan, menurut berbagai laporan media. 

Area yang menjadi pusat konflik, distrik Maungdaw, dijaga ketat oleh militer dan tertutup bagi siapapun, termasuk warga dari wilayah lain, organisasi kemanusiaan yang ingin menyalurkan bantuan, maupun awak media. Aktivis Myanmar dari lembaga Burma Human Rights Network, Kyaw Win, menilai kebijakan ini memperburuk kondisi warga Rohingya, karena mereka tidak hanya tak mendapat bantuan dari wilayah luar, namun juga tidak dapat berpergian ke desa-desa lain di distrik tersebut. 

Berbincang dengan CNN Indonesia.com, Kamis (24/11), Win memaparkan bahwa militer kerap mendatangi masing-masing desa, memaksa semua warga untuk berkumpul di satu tempat. “Tentara kemudian mengerubungi, menginterogasi, memukuli mereka, dan di banyak kasus, melakukan perkosaaan terhadap wanita,” tutur Win, berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari sumber yang berada langsung di lapangan. 

Win mengaku ia bahkan tidak dapat memastikan jumlah warga yang saat ini tinggal di Maungdaw, karena wilayah itu benar-benar tertutup. Namun, berdasarkan sumber yang berasal dari empat hingga lima desa di wilayah itu, Win menyebut terdapat sekitar 10-15 orang tewas dari tiap desa setiap kali didatangi militer. 

Reuters melaporkan setidaknya 86 warga tewas dan 30 ribu lainnya melarikan diri akibat serangkaian aksi kekerasan militer terhadap Rohingya sejak Oktober tahun ini. Sementara, Human Rights Watch (HRW) melaporkan, berdasarkan pengamatan citra satelit, sebanyak 1.250 rumah warga Rohingya di lima desa negara bagian Rakhine, Myanmar, rata dengan tanah akibat hancur terbakar atau ambruk karena serangan militer. 

Menurut laporan PBB, terdapat 30 ribu orang yang terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka dan terlantar di dalam negeri akibat aksi kekerasan ini. Terdapat juga berbagai laporan media bahwa ratusan warga etnis Rohingya berupaya melarikan diri ke Bangladesh, namun juga ditolak oleh penjaga perbatasan. 

Win mengungkapkan bahwa pemerintah dan militer Myanmar menuding bahwa warga Rohingya terlantar itu membakar rumah mereka sendiri, dengan harapan mendapatkan bantuan dari lembaga bantuan internasional. “Ini tidak masuk akal. Siapa yang ingin menghancurkan rumahnya sendiri?” tuturnya. 

Aktivis yang berbasis di London, Inggris, ini juga menuturkan bahwa warga yang tinggal di Maungdaw membutuhkan dua hal untuk berpergian ke desa lain atau kota yang lebih besar. Syarat pertama adalah surat persetujuan dari pemerintah setempat, biasa disebut “Formulir No 4”. Kedua, warga juga harus meminta menyewa jasa keamanan polisi. “Keduanya tidak gratis dan tidak murah,” kata Win. 

Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan hanya untuk berpergian ke desa lain membuat warga menyimpan berbagai bantuan yang diberikan, seperti nasi, minyak, garam dan kacang-kacangan, untuk dijual dan mendapatkan uang. Dalam proses itu, banyak sekali warga sakit yang tidak dapat dilarikan ke rumah sakit yang berada di kota atau desa lain. 

Buruknya kebijakan yang diterapkan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya membuat Win menilai ada upaya untuk meluncurkan pembantaian secara sistematik dan perlahan-lahan terhadap etnis yang paling tertindas itu. “Mereka tidak bisa bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, mengecap pendidikan rendah, dan kini mereka bahkan tidak dapat berpergian ke daerah lain,” ujar Win. “Ini disebut juga genosida perlahan, yang berupaya melemahkan etnis ini secara menyeluruh dan sistematik. Ada upaya untuk menghancurkan seluruh komunitas [Rohingya] secara perlahan,” katanya.

Win juga mengaku khawatir terhadap ketersediaan makanan di wilayah pusat konflik. Ada sekitar 12 ribu warga di desa itu, sebanyak 200 rumah dibakar. Hanya warga yang rumahnya terbakar yang menerima bantuan makanan, warga lainnya tidak. Win menyatakan, dengan kondisi itu berarti warga kelaparan. 

Merujuk kepada data dari Action Against Hunger (ACF), lembaga bantuan kemanusiaan berbasis di Perancis,Win mengungkapkan bahwa di penjuru Myanmar, ada satu unit fasailitas kesehatan untuk rata-rata 680 orang. Namun di Rakhine, hanya ada satu fasilitas kesehatan untuk rata-rata 700 ribu orang. Sehingga banyak orang tidak memiliki akses kesehatan, meski banyak LSM, termasuk MSF, mencoba memberikan bantuan. “Dunia harus tahu dan harus berbuat sesuatu untuk menghentikan ini. Mereka [militer Myanmar] berusaha menghancurkan mereka [Rohingya]. Saya sampai sekarang bingung mengapa komunitas internasional tidak berbuat sesuatu,” tuturnya.

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Riedl: ini kemenangan berarti bagi Indonesia

Steven Gerrard Memutuskan Gantung Sepatu